spot_img
Thursday, May 16, 2024
spot_img

Aku, Raisa dan Persahabatan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Cerpen Oleh Aqil Azizi

Pagi itu, seluruh pasang mata menatap sesosok murid perempuan yang berjalan anggun bersama Bu Maya. Murid tersebut berjalan malu-malu di belakang Bu Maya. Tepat di tengah kelas, Bu Maya berhenti. Demikian juga murid perempuan tersebut.

“Murid-murid, hari ini kita akan bertemu dengan seorang teman baru. Silakan memperkenalkan diri.”, ucap Bu Maya membuka perjumpaanku dan teman-temanku dengan sang murid baru yang baru saja tiba bersama Bu Maya.

“Terima kasih, bu. Hai teman-teman. Namaku Raisa. Senang bertemu dengan kalian semua. Dan mohon bantuan teman-teman sekalian buat aku ya.”, ucap Raisa memperkenalkan dirinya.

“Nah, mulai sekarang Raisa akan belajar bersama kita. Jadi, bantu Raisa untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru ya. Bisa?”

“Bisa, bu.”, jawab teman-temanku, termasuk aku.

“Bu, biarkan Raisa duduk di sini bersamaku. Kebetulan meja dan kursi di sebelahku masih kosong.”, ujarku setelah mengangkat tanganku sebagai tanda permintaan izinku untuk berbicara.

Meja dan kursi di sebelahku memang kosong, karena kepindahan Quin sahabatku yang kini tak lagi bersekolah denganku karena dia harus mengikuti kepindahan kedua orangtuanya yang dipindah-tugaskan oleh perusahaannya. Aku masih dilingkupi kesedihan karena kepindahan Quin yang terjadi belum lama ini. Namun aku tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Barangkali dengan kehadiran Raisa yang akan duduk di sampingku, aku berharap Raisa bisa menjadi pengganti Quin bagiku.

“Oke, Raisa. Silakan duduk di samping Amira”

“Terima kasih, bu”

Kemudian Raisa berjalan menuju ke arahku. Sesampainya di dekatku, Raisa duduk kemudian melemparkan senyumnya kepadaku sembari mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman denganku.

“Hai, Amira. Terima kasih telah mempersilakan aku duduk di dekatmu. Aku harap kita bisa bersahabat dekat.”

“Hai juga. Aku juga sama. Aku senang bisa berkenalan denganmu. Aku juga berharap begitu, bisa menjadi sahabatmu.”, jawabku sembari menjabat tangannya.

Sejak saat itu, Raisa duduk bersama di sampingku, menggatikan posisi Quin, dan aku berharap kehadiran Raisa bisa melengahkanku dari bayangan Quin

***

Waktu terus berjalan sejak kehadiran Raisa di kelasku. Kehadiran Raisa memberikan warna baru bagiku dan teman-teman sekelasku. Raisa adalah murid yang ramah dan mudah bergaul dengan siapapun. Keramahannya membuatnya seolah tak memiliki batas dalam pergaulan.

Dia bisa menempatkan dirinya pada posisi yang tepat dengan siapa saja tanpa pandang bulu. Raisa juga seringkali melemparkan candaan-candaan yang membuat orang yang berbicara dengannya tertawa dan terhibur. Raisa juga bisa bertindak sebagai seorang yang bijak dalam menyampaikan ide dan buah pikirannya dalam diskusi dan musyawarah.

Raisa adalah seorang murid yang berbakat. Setahuku, Raisa berbakat dalam menggambar dan menulis cerita. Aku mengetahui bakat menggambar Raisa saat aku melihat Raisa mencoret-coret buku sketsa yang selalu dia bawa. Saat waktu luang seusai mengerjakan tugas sekolah, Raisa mengeluarkan buku sketsanya dan mulai menggoreskan tintanya untuk membuat berbagai gambar yang bagus. Raisa juga pernah menunjukkan kepadaku sebuah buku yang berisikan kumpulan cerita yang dia tuliskan sendiri.

Saat kutanyakan kepada Raisa tentang asal muasal bakat-bakatnya tersebut, dia menjawab, “Ayahku sangat berbakat dalam menggambar. Sejak kecil aku diajari oleh ayahku menggambar. Bahkan kami sering menggambar bersama. Ayahku juga seorang penulis.

Banyak sekali buku yang telah ayahku tulis. Selain menulis buku, ayahku juga banyak menulis cerita pendek. Aku sering sekali membaca cerita-cerita yang ditulis oleh ayahku. Selain itu, ayahku juga suka membelikanku buku, termasuk buku cerita seperti novel, komik, dan cerita bergambar. Mungkin bakat ayahku turun kepadaku”

“Di sekolahku sebelumnya, aku juga memiliki seorang guru yang cukup mahir dalam menulis cerita. Aku dan guruku tersebut sering bertukar pikiran tentang dunia tulis menulis. Aku merasa salut dengan guruku tersebut. Beliau tidak pernah merasa keberatan untuk mengajariku cara menulis cerita yang baik.”, lanjut Raisa menerangkan.

Raisa juga seorang murid yang pandai dalam banyak bidang pelajaran. Dari obrolanku dengannya, aku jadi tahu bahwa Raisa adalah seorang juara kelas di sekolahnya dahulu. Dengan kepandaian yang dimilikinya, Raisa tidak merasa canggung untuk membantu siapapun yang mengalami kesulitan dalam belajar.

Tangannya selalu terasa ringan untuk membantu teman-temannya. Wajar saja jika Raisa disayangi oleh semua orang. Semua orang ingin selalu berada di dekat Raisa. Kedekatan semua orang dengan Raisa justru menimbulkan perasaan cemburu.

Berbeda dengan Quin, sahabatku. Bisa dikatakan aku dan Quin seperti dua orang yang bersaudara. Kami berdua seringkali menghabiskan waktu bersama. Bukan hanya saat di sekolah saja, di rumah juga demikian.

Aku dan Quin juga sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Saat kami bersama di akhir pekan, aku dan Quin seringkali bepergian bersama atau sekedar saling berkunjung ke rumah. Sayangnya, aku tidak bisa melakukannya lagi saat ini. Saat mengingat masa-masa itu, aku jadi rindu pada sahabatku, Quin.

Perasaan cemburuku pada Raisa tumbuh karena aku sudah menganggapnya istimewa, dan berusaha untuk menjadikan Raisa sahabat sebagaimana aku bersahabat dengan Quin. Namun, Raisa bukanlah Quin yang aku kenal.

Raisa dan Quin adalah orang yang berbeda. Perbedaan tersebut membuatku merasa kesulitan untuk bisa menghabiskan waktuku dengan Raisa hanya berdua saja. Rasa rinduku kepada sahabatku Quin muncul kembali. Aku kembali merindukan sosok Quin yang dulu selalu berusaha untuk meluangkan waktu bersamaku. Andai saja Quin masih berada di sini, mungkin aku tidak merasakan kesepian seperti sekarang ini.

***

Suatu hari,

“Amira, aku ingin mengobrol denganmu secara empat mata. Bisa, gak?”, Raisa memintaku untuk mengobrol secara pribadi. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban iya.

“Kalau nanti pas istirahat, gimana?”, lanjut Raisa. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.

Saat istirahat tiba, Raisa mengajakku ke kantin dan mentraktirku sebelum akhirnya aku dan dia duduk berdua di salah satu sudut sekolahku. Kami hanya berdua. Tampaknya ada hal serius yang Raisa ingin bicarakan denganku.

“Cha, makasih ya udah mentraktirku.”, ucap terima kasihku kepada Raisa sembari menikmati jajanan yang tadi dibeli di kantin. “Iya, sama-sama.”, jawab Raisa yang juga menikmati jajanan yang tadi dibeli di kantin.

“Eh, emangnya kamu mau ngobrolin apa denganku?”, tanyaku serius.

“Sebelumnya aku minta maaf kalau nantinya aku menyinggung soal kamu. Tapi aku harap, kamu tidak perlu tersinggung tentang apa yang kita akan bicarakan.”

“Ini soal kamu, Amira. Aku mencari-cari informasi tentang kamu kepada teman-teman kita.”

“Amira, aku tahu kamu dulu bersahabat dengan Quin. Dan sebagai dua orang yang bersahabat, kamu banyak sekali menghabiskan waktu bersama dengan Quin. Kamu tau tidak bagaimana pandangan teman-teman yang lain tentang kamu dan Quin?”

“Hmm.. Aku sih biasa-biasa aja.”, aku mulai menjawab perkataan Raisa. “Aku pikir kalau seseorang lebih memilih menghabiskan waktu dengan seorang sahabatnya itu sah-sah aja sih. Dan aku tidak pernah memusingkan tentang kata orang lain kepadaku.”, kataku.

Raisa hanya mengangguk pelan setelah menyimak perkataanku tersebut.

“Saat Quin pergi, kamu lebih tertutup dan jarang bergaul dengan teman-teman yang lain, seolah kamu menarik diri dari pergaulan. Itu informasi yang aku dapatkan dari teman-teman yang lain, Amira. Gimana menurutmu?”, lanjut Raisa seolah menginterogasiku layaknya seorang detektif.

“Aku biasa aja sih. Karena aku gak punya keperluan dengan orang lain. Jadi, ya gitu deh. Kalau seperti itu penilaian teman-teman yang lain, ya sah-sah saja. Itukan pemikiran orang lain yang gak bisa aku kendalikan.”, jawabku sekenanya.

Memang, aku mengakui sejak kepergian Quin aku belum mendapatkan sosok sahabat yang sefrekuensi seperti sosok Quin. Aku dan Quin memiliki banyak kesamaan, dan hubungan emosional yang kami jalin selama ini berhasil membuat kami menjadi sahabat dekat. Dan aku tidak mendapati kesamaan seperti Quin pada orang lain. Ditambah lagi, aku suka memilih-milih dalam berteman. Mungkin karena itu orang lain menilaiku sebagai sosok yang tertutup dan tidak mudah bergaul. Dan lagi-lagi, Raisa hanya mengangguk-angguk pelan setelah mendengarkan jawabanku.

“Satu lagi, terakhir. Mungkin ini hanya perasaanku saja. Aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dariku, Amira. Apakah karena aku gak bisa seperti Quin dan gak sesuai dengan ekspektasimu?”, pertanyaan terakhir yang diajukan oleh Raisa seolah menyekat tenggorokanku. Aku tak bisa berkata-kata lagi untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam batin kuberkata, “Bagaimana dia bisa tau?”

Kulihat, Raisa malah melempar senyumnya kepadaku setelah mengajukan pertanyaan sulit tersebut. Kemudian dia melanjutkan perkataannya.

“Amira, aku gak akan lupa dengan apa yang kamu lakukan untukku saat hari pertama aku datang ke kelas kita. Saat itu kamu adalah orang pertama yang menerimaku. Sejak saat itu sampai sekarang aku selalu menganggapmu sebagai seorang sahabat. Dan aku berharap persahabatan kita terus terjalin langgeng hingga nanti.”

“Amira, aku memang tidak sama seperti sahabatmu, Quin. Tapi bukankah seseorang bisa menjadi seorang sahabat sesuai dengan karakternya masing-masing? Aku yang kamu kenal ya begini adanya. Aku gak bisa menjadi orang lain, dan aku juga gak mau seperti orang lain. Jadi, biarkan aku menjadi sahabatmu sesuai dengan cara dan kepribadianku sendiri.”

“Setelah kepergian Quin, kamu selalu merasakan kesepian. Demikian juga setelah aku datang, kamu masih saja menginginkan sosok seperti Quin hadir di sebelahmu. Amira, kamu tau tidak saat aku datang ke sekolah ini, aku juga meninggalkan sahabat-sahabatku di sekolahku sebelumnya? Aku juga meninggalkan seorang guru yang sangat baik yang senantiasa memberiku support terhadap bakat menulisku.

Aku tidak hanya kehilangan satu orang sahabat akibat dari kepindahanku ke sekolah ini. Namun, aku tidak ingin terjebak dalam bayangan masa laluku. Aku yakin, bahwa aku akan bisa menjalin persahabatan dengan orang-orang yang baru kukenal di sekolah ini. Dan orang pertama yang kukenal di sekolah ini adalah kamu, Amira. Kamulah sahabat pertamaku.”

Entah bagaimana, perkataan Raisa barusan begitu mengena di hatiku. Ada perasaan haru, senang, dan perasaan-perasaan lain yang bercampur aduk di dadaku. Ya, mungkin selama ini aku begitu naif dan seperti menutup mata akan kehadiran teman-teman di sekitarku, termasuk Raisa. Aku hanya terdiam, menyimak setiap kalimat yang diucapkan Raisa kepadaku.

“Amira, kamu memiliki teman-teman yang baik. Hanya saja kamu tidak merasakan kehadiran mereka, karena kamu terus terjebak di dalam bayangan sahabatmu, Quin. Aku yakin, kalau kamu membuka hatimu untuk teman-temanmu itu, kamu tidak akan merasa kesepian lagi. Dan merekapun tidak akan keberatan membantumu bila kamu memerlukan bantuan.”

Kalimat-kalimat yang diucapkan Raisa kepadaku menyadarkanku bahwa selama ini aku menutup diri dari teman-temanku, dan aku masih terpaku pada sosok sahabat yang sudah tidak berada di sini bersamaku, serta mengacuhkan seorang sahabat yang begitu baik kepadaku seperti Raisa.

Kuraih telapak tangan Raisa, kemudian kugenggam erat. Kukatakan kepadanya, “Cha. Makasih sudah mengingatkanku dari kesalahan-kesalahanku. Kamu benar, Cha. Semua yang kamu katakan kepadaku itu benar. Selama ini aku terlalu naif dan egois kepadamu dan kepada semua orang. Sekarang, bantu aku, Cha. Bantu aku memaknai persahabatan.”

Raisa tersenyum kepadaku. Kedua tangannya berbalik menggenggam kedua telapak tanganku. “Tentu, Amira. Aku akan berusaha menjadi sahabat yang baik untukmu.”

***

Keesokan pagi, aku berjalan menelusuri lorong sekolah untuk menuju ke kelasku. Sesampainya di kelas, aku melihat Raisa dan beberapa orang teman berkumpul bersama. Saat melihatku, Raisa menghampiriku, meraih tanganku, kemudian membawaku ke kumpulan tersebut. Dengan maksud bercanda, dia berkata, “Teman-teman, perkenalkan. Ini teman baru kita, namanya Amira. Amira, silakan perkenalkan dirimu”. Seketika itu juga teman-temanku menimpali, “Sudah kenaaal”. Lalu gelak tawa kami menggema.

Pagi itu, aku bertekad untuk menjadi seorang pribadi yang baru, Amira yang baru. Amira yang lebih baik.

(*/cerpenku/bua)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img