Dinamika stabilitas bangsa Indonesia diwarnai pasang surut. Tingkat kesadaran nasional yang tumbuh serta suasana yang semakin menyusahkan dan menyengsarakan rakyat, ikut andil sebagai pemantik dinamika stabilitas negeri ini. Dinamika ini adalah konsekuensi logis dari sebuah negara yang mengikrarkan diri sebagai negara demokrasi dalam menjalankan kekuasaannya.
Pada perayaan hari kemerdekaan tahun ini selain suasana kegembiraan dan kebahagiaan, juga diwarnai suasana yang memanas dengan digelarnya gelombang protes dan demontrasi dari masyarakat. Hal ini seolah-olah menyampaikan pesan, bahwa seluruh kekecewaan dan kemarahan rakyat telah mendapatkan momentumnya untuk diluapkan dan ditumpahkan. Kemarahan ini sejatinya adalah akumulasi kekecewaan rakyat.
Jika dikatakan gelombang demontrasi ini telah membuat kerusakan, sejatinyalah kerusakan sistem di negeri ini jauh lebih dulu terjadi dan parah. Jika dilihat dari sisi hukum kausalitas, jika ada akibat pasti ada sebab, tentu lebih dahulu sebab dari akibat. Di sisi lain, jika dilihat dari hukum keseimbangan dalam ilmu fisika, setiap ada aksi pasti akan ada reaksi, sampai terjadinya keseimbangan.
Lebih dahulu manakah terjadinya reaksi gelombang protes rakyat yang diwujudkan dalam demonstrasi dengan aksi perusakan sistem secara terstruktur, sistematik dan masif oleh pengelola negara ini? Dari dua hukum tadi, kita akan menemukan jawabannya bahwa rakyat Indonesia terbukti adalah masyarakat yang sangat sabar.
Mari kita ingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah meresahkan masyarakat. Kenaikan PPN menjadi 12 persen. Daya beli masyarakat pun menurun karena kenaikan PPN berimbas terhadap kenaikan harga barang dan jasa. Diinformasikan kebijakan penyitaan kendaraan bermotor jika tidak membayar pajak selama dua tahun, di saat DPR tidak memenuhi tuntutan rakyat untuk mengesahkan UU Perampasan aset bagi koruptor. Pencabutan pagar laut yang berjalan tidak optimal. Kenaikan PBB lebih dari 100 persen di hampir semua wilayah Indonesia. Kebijakan pemblokiran uang rakyat di rekening BANK oleh PPATK karena tidak ada aktivitas di rekening selama tiga bulan. Kebijakan pengambil alihan lahan yang terlantar selama dua tahun kepada negara. Tunjangan gaji anggota DPR yang fantastik.
Di sisi lain, sikap dan ucapan pejabat yang tidak pantas, semakin menyempurnakan kesengsaraan rakyat. Sangat tidak pantas seorang menteri mengatakan “memang mbahmu bisa bikin tanah….” Seorang wakil rakyat mengatakan tolol kepada masyarakat yang melakukan demonstrasi. Serta sikap hedonisme pejabat negara yang dipertontonkan ke media publik di saat rakyat sedang dirundung kemiskinan.
Mari kita ulas salah satu tuntutan rakyat yang disuarakan dalam demonstrasi akhir-akhir ini, yaitu bubarkan DPR. Kita mulai dari peran DRP (parleman) pada sebuah negara. Syarat berdirinya negara secara internasional menurut konvensi Montevideo (1933) ada empat. Yaitu adanya Penduduk, Wilayah yang ditentukan, Adanya pemerintah dan Mendapat dukungan dari negara merdeka lainnya.
Dari semua syarat berdirinya sebuah negara tersebut, tidak mensyaratkan adanya parlemen. Kesimpulannya negara tetap utuh dan eksis secara internasional walaupun tidak memiliki parlemen. Tetapi secara internal negara ini memiliki sejarah yang berhubungan dengan keberadaan parlemen. Pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam rapatnya, PPKI menghasilkan tiga keputusan yang salah satunya adalah pembentukan KNIP sebagai pembantu presiden sebelum terbentuknya parlemen.
Yang menjadi permasalahan, apakah fungsi internal DPR itu berjalan optimal? Dalam trias politika DPR memegang kekuasaan legislatif dan sesuai fungsinya DPR adalah wakil rakyat yang harus mampu mengemban amanat penderitaan rakyat.
Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami proses pembubaran lembaga negara, demi menjaga keutuhan dan kesatuan Negara. Presiden Sukarno dalam dekritnya pada 5 Juli 1959 telah membubarkan konstituante, badan yang dibentuk melalui Pemilu 1955 dan bertugas menyusun Undang Undang Dasar menggantikan UUDS 1950. Karena badan ini gagal dalam menunaikan tugasnya sehingga membahayakan keutuhan dan kesatuan negara, maka Presiden membubarkannya.
Presiden Gus Dur pada 23 Juli 2001 juga mengeluarkan dekrit membubarkan DPR. Walaupun secara politik dekrit Presiden Gus Dur ini mengalami kekalahan tetapi dari sisi sejarah, sebuah keputusan harus dikeluarkan untuk menjamin keutuhan negara dan kehidupan masyarakat yang makmur dalam keadilan.
Semua kejadian ini sangat tidak kita harapkan. Salah satunya adalah tindakan perusakan, khususnya pada fasilitas umum dan bangunan pribadi. Hal ini tentunya bukan tujuan dari demonstrasi. Mahasiswa, buruh dan masyarakat adalah warga negara. Begitu pula aparat kepolisian juga merupakan warga negara yang mengemban tugas untuk menjaga keamanan negara.
Sebagai pimpinan di negeri ini jangan mengeluarkan kebijakan yang justru mengadu domba semua anak bangsa. Dalam cerita, sang Aji Saka telah salah memberikan instruksi tugas kepada dua muridnya yaitu Dora dan Sembada. Dalam menunaikan tugas tersebut, ke dua murid Aji Saka meninggal karena sama-sama memegang dan menjalankan tugasnya. Di satu sisi, mahasiswa, buruh dan masyarakat menyuarakan tuntutannya atas semua ketidak adilan yang terjadi. Di sisi lain aparat keamanan mengemban tugas untuk menjaga keamanan dan stabilitas negeri ini. Solusinya pemerintah dan DPR selain harus membuat kebijakan yang mampu mengakomodir kepentingan rakyat, juga harus bersikap simpatik dan empatik terhadap rakyat. Sehingga tidak terjadi gelombang protes yang akan mengadu sesama anak bangsa.(*)