Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang
Dalam era teknologi yang semakin maju, kebenaran bisa jadi sebuah ilusi yang dirancang oleh mesin. Kebenaran yang sejatinya jadi sulit ditemukan, bahkan kebenaran justru telah melampaui kebenaran yang sesungguhnya (post truth). Kehidupan banyak dikendalikan oleh mesin algoritma digital dalam banyak urusan, termasuk urusan dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang prosesnya sedang berjalan saat ini.
Komunikasi digital lewat internet dan media sosial (medsos) banyak dikendalikan oleh algoritma digital. Dalam urusan kehidupan sehari-hari, tak sedikit orang disetir oleh algoritma digital. Urusan pencarian informasi tentang pemimpin dalam kontestasi Pilkada juga tak lepas dari campur tangan mesin algoritma. Algoritma Pilkada bekerja melalui aneka narasi dan konten digital yang sedang dicari banyak orang.
Samuel Whooley (2020) dalam bukunya berjudul “The Reality Game” memaparkan bahwa gelombang teknologi baru telah mengaburkan batas antara kenyataan dan kebohongan. Beragam informasi terkait Pilkada di internet dan medsos tersaji tak jarang merupakan hasil dari permainan realitas di ruang maya tersebut. Realitas yang sesungguhnya bisa saja kabur dan muncul realitas baru dan realitas yang berlebihan (hyper reality).
Algoritma
Algoritma adalah serangkaian instruksi yang tanpa kita sadari mempengaruhi apa yang kita lihat, baca, dan interaksikan di dunia maya. Setiap postingan yang muncul di medsos atau aneka konten di internet, semua ditentukan oleh algoritma yang bekerja di belakang layar. Mesin algoritma digital bekerja by design alias tidak netral. Mesin algoritma digital itu bisa bekerja guna menguntungkan pihak tertentu.
Informasi palsu atau menyesatkan tentang Pilkada misalnya, sering muncul memicu keterlibatan emosional ketimbang rasional. Perang informasi Pilkada telah terjadi lewat aneka platform medsos seperti Facebook (Meta), Instagram (IG), Twitter (X), YouTube, dan TikTok. Beragam platform medsos telah menjadi medan pertempuran dimana kebenaran dan kebohongan saling bersaing untuk memenangkan perhatian kita.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Oxford Internet Institute (2019), seperti dikutip Whooley (2020) bahwa lebih dari 70 negara di dunia telah menggunakan disinformasi berbasis teknologi untuk mempengaruhi opini publik. Banyak pihak dengan agenda tertentu menggunakan bot, troll, dan algoritma untuk menyebarkan propaganda dan mengacaukan kenyataan.
Aneka bot dan troll otomatis dalam menyebarkan pesan yang sama di berbagai platform dan menciptakan ilusi bahwa informasi tersebut adalah kebenaran. Dalam situasi seperti ini, menuntut masyarakat kritis dan waspada terhadap informasi yang kita konsumsi secara digital. Karena di balik layar, algoritma akan terus bekerja mengarahkan konten kepada kita tak peduli itu sesuatu yang benar atau salah.
Algoritma Bekerja
Algoritma digital sangat mempengaruhi kontestasi politik dengan membentuk cara pemilih menerima, memahami, dan merespon informasi politik. Hal ini bisa terjadi lewat algoritma filter bubble (gelembung isolasi informasi).
Lewat algoritma dan mesin pencari akan menyaring informasi sesuai dengan minat, perilaku, dan preferensi pengguna. Akibatnya, calon pemilih sering kali hanya melihat konten yang sesuai dengan pandangan atau keyakinan mereka, menciptakan filter bubble yang mempersempit perspektif mereka dan memperkuat bias.
Algoritma juga dapat menentukan trending topics di beragam platform medsos dan dapat mengangkat isu-isu tertentu ke permukaan, mempengaruhi wacana publik dan agenda politik. Kandidat atau isu yang memperoleh perhatian lebih dari algoritma memiliki kesempatan lebih besar menjadi pusat diskusi, walaupun isu yang muncul bukanlah hal penting dan bermanfaat bagi publik.
Algoritma memungkinkan penyampaian pesan komunikasi politik yang disesuaikan dengan karakteristik individu atau kelompok tertentu. Positifnya, cara ini dapat menargetkan pemilih dengan pesan yang dipersonalisasi berdasarkan riwayat pencarian, data perilaku, atau ketertarikan mereka. Metode ini dapat meningkatkan efektivitas kampanye, namun juga bisa berisiko dapat menyebarkan informasi yang manipulatif pada kelompok tertentu.
Secara umum algoritma digital memainkan peran sangat penting dalam kontestasi Pilkada. Melalui algoritma dapat menentukan informasi yang dijangkau pemilih, menguatkan bias dan opini mereka, serta mempengaruhi persepsi terhadap kandidat dan isu politik tertentu. Algoritma bisa jadi elemen penting dalam kontestasi Pilkada, namun algoritma juga menghadirkan risiko terjadinya manipulasi yang dapat merusak kualitas demokrasi.
Munculnya disinformasi yang terkait dengan kandidat atau isu lokal bisa tersebar luas karena algoritma sering lebih mempromosikan konten yang dapat memancing emosi atau menarik perhatian. Hal ini dapat berdampak negatif pada pemahaman calon pemilih tentang kandidat dan membuat mereka lebih sulit membedakan fakta dari informasi yang menyesatkan. Melalui algoritma juga dapat menciptakan ilusi dukungan, kebencian, dan mempengaruhi opini publik.
Untuk itu masyarakat perlu memperkuat kemampuan literasi digital dengan lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima di medsos dan platform digital lainnya. Masyarakat perlu punya kemampuan memahami cara kerja algoritma, mengenali disinformasi, dan mengetahui perbedaan antara sumber terpercaya dan yang abal-abal. Kewaspadaan, partisipasi aktif, dan keterlibatan kolektif masyarakat dalam menjaga kualitas informasi dapat mewujudkan Pilkada yang berintegritas dan berkualitas. (*)