spot_img
Saturday, April 27, 2024
spot_img

Ancaman Banjir Dan Kegagalan Fokus Penanganan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Memasuki semester kedua tahun 2022 kondisi klimatologi dunia tampaknya semakin terdisrupsi oleh perubahan iklim yang mendera sebagian besar wilayah. Gelombang panas yang mendera sebagian benua eropa dan asia yang telah merenggut ribuan jiwa menjadi bukti betapa iklim bumi kita mulai tak bersahabat dengan penghuninya. 

Belum lagi banjir besar yang melanda beberapa kawasan di China dan Australia medio tahun ini telah menyebabkan kerugian harta benda dan nyawa penduduk (www.tempo.co; 3 Juli 2022 dan www.merdeka.com; 23 Juni 2022). Kasus-kasus bencana ekstrim yang terungkap di media massa ini diduga kuat hanyalah puncak gunung es dari lonjakan bencana akibat perubahan iklim yang berdampak buruk bagi umat manusia.

Lalu bagaimana dengan di tanah air? Tampaknya kondisi kebencanaan di Indonesia pun berada dalam situasi yang kurang menggembirakan. Berdasarkan data dari BNPB sampai dengan tanggal 28 Juli 2022 telah terjadi 2.125 kejadian bencana di seantero negeri yang menyebabkan 117 jiwa meninggal dunia, 702 luka-luka, 16 hilang, dan 2.546.146 jiwa terdampak (menderita/mengungsi) (https://gis.bnpb.go.id/; di akses tanggal 28 Juli 2022). Di antara sebagian bencana tersebut termasuk Kota Malang yang menyumbang 201 kejadian bencana dengan 2.113 korban terdampak (BPBD Kota Malang; 2022).

Kota Malang adalah kota dengan pertumbuhan PDRB terbesar di Provinsi Jawa Timur dalam tahun 2021 yakni sebesar 4,05 persen (Jawa Timur Dalam Angka, BPS: 2022) sehingga bencana yang menimpa kota ini akan berdampak secara langsung terhadap income per kapita penduduknya maupun produk domestik bruto dari wilayah berkenaan karena bencana akan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakatnya.

Berdasarkan data kejadian bencana yang terungkap dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya tersimpan potensi bahaya yang cukup mengkhawatirkan. Mengapa demikian? Hal ini tak lain karena ada trend peningkatan kejadian bencana khususnya untuk banjir.

Pada tahun 2018 tercatat hanya terjadi sembilan kali kejadian banjir, tahun 2019 melonjak menjadi 67 kali kejadian, pada tahun 2020 sedikit menurun menjadi 54 kali kejadian, dan pada tahun 2021 kembali meningkat menjadi 92 kali kejadian. Selanjutnya sampai dengan akhir Juni 2022 telah terjadi 61 kali kejadian banjir (BPBD Kota Malang; 2022).

Adanya trend peningkatan kejadian banjir ini seharusnya perlu untuk diberi atensi yang memadai karena bisa jadi eskalasi kejadian diakibatkan oleh kegagalan dalam melihat akar masalah plus ditambah paradigma penanganan yang masih seringkali respon oriented.

Banjir dapat diartikan sebagai meluapnya air dari saluran atau penampang yang disediakan. Air di sini merupakan air hujan sementara saluran atau penampang air merupakan segala bentuk tempat mengalirnya air baik natural seperti sungai dan kali maupun buatan seperti drainase, irigasi, waduk, dan sebagainya.

Saat air tercurah di muka bumi maka ada dua proses utama berikutnya yakni: terserap ke dalam tanah untuk keluar menjadi air permukaan, dan mengalir di atas permukaan untuk secara langsung menuju ke sungai/ kali yang selanjutnya mengalir ke laut dan menguap menjadi awan yang akan terkondensasi menjadi hujan.

Dari siklus ini kita dapat melihat bahwa manajemen air hujan untuk penanggulangan banjir seharusnya berfokus terhadap dua hal yakni: maksimalisasi penyerapan air hujan ke dalam tanah untuk bermanfaat secara ekologis bagi mahluk hidup, dan mengalirkan sisa air yang tidak terserap tersebut melalui saluran-saluran yang terintegrasi dan berdaya guna (ekodrainase).

Lalu bagaimana pola penanganan banjir yang dilakukan pemerintah daerah selaku stakeholder utama dalam manajemen bencana? Dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Malang Tahun Anggaran 2023 telah tercantum Program Pengelolaan dan Pengembangan Sistem Drainase yang dianggarkan sebesar Rp 59,7 miliar untuk pelaksanaan pembangunan dan rehabilitasi drainase sepanjang 13,706 kilometer.

Namun dalam dokumen yang sama belum tersaji anggaran untuk ekstensifikasi penampungan air hujan baik berupa embung / bozem maupun kolam-kolam atau rainwater storage facility yang dapat mendukung fungsi ekologis selain mengurangi risiko banjir.

Demikian pula dengan total luasan Ruang Terbuka Hijau yang dapat menjadi area serapan air hujan untuk meminimalisir beban kepada drainase hanya ditargetkan sebesar 8,23 persen pada tahun 2023 dari nominal 20 persen yang seharusnya tersedia. Tahun 2023 tampaknya akan menjadi tahun bagi infrastruktur karena selain drainase juga dilaksanakan pembangunan dan rehabilitasi jalan dan jembatan dalam Program Penyelenggaraan Jalan yang menyedot anggaran sebesar Rp 238,2 miliar (RKPD Kota Malang Tahun 2023; Bappeda: 2022).

Masih rendahnya upaya pemerintah untuk memperluas Ruang Terbuka Hijau (area vegetasi) dan Ruang Terbuka Biru (area / hamparan air) merupakan jalan terjal yang masih harus dilalui oleh warga Kota Malang untuk menikmati lingkungan yang nyaman dan bebas banjir.

Karena pengendalian banjir yang masih berfokus pada infrastruktur percepatan penyaluran air ke sungai / kali (dengan konsep drainase konvensional) hanya akan menyedot anggaran yang besar namun rendah efektifitas karena belum mengatasi akar masalah. Yakni pada besarnya volume air limpasan yang harus ditanggung oleh drainase ditambah dengan keterbatasan lahan tepi jalan untuk memperluas saluran drainase mengikuti penambahan debit air hujan.

Seharusnya fokus lebih diarahkan kepada upaya mengurangi beban drainase dengan menahan laju air limpasan melalui pembuatan kantong-kantor air. Seperti embung/bozem, kolam, water storage facility, dan sejenisnya yang dilaksanakan secara massif oleh pemerintah – seperti yang telah dilakukan oleh Kota Surabaya dengan membangun 80 bozem sampai dengan tahun 2021 (https://radarsurabaya.jawapos.com; 10/12/2021) – agar hujan yang turun bermanfaat bagi kemaslahatan seluruh generasi, bukannya membawa bencana bagi umat manusia.

Musim penghujan sudah menjelang, jangan sampai bencana hanya menjadi topik bahasan saat kejadian menerjang namun saat bahaya sudah membayang di depan mata kita gagal fokus dalam rencana penanggulangannya. Sudah seharusnya paradigma penanggulangan banjir oleh pemerintah berubah ke arah pencegahan dan mitigasi. Tidak hanya berkutat pada merespon kejadian bencana sehingga pembangunan yang berkelanjutan benar-benar terealisir dalam aksi nyata bukan hanya dalam retorika.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img