Penulis: Teddy, ASN.
Di pertengahan tahun 2022, kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksi masih di kisaran 5 persen. Hal ini didorong oleh mulai menggeliatnya perekonomian karena pandemi COVID-19 yang lebih terkelola dan sudah mulai melandai. Namun demikian, saat ini kita diperhadapkan dengan tantangan dinamika global akibat panasnya tensi geopolitik antara Rusia-Ukraina yang belum kunjung berakhir dan berdampak pada ancaman resesi di berbagai negara.
Tren inflasi yang melanda dunia, diikuti pelemahan ekonomi global dinilai oleh beberapa ekonom tak banyak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang banyak mengandalkan konsumsi domestik. Namun demikian harus dipastikan kinerja konsumsi tetap baik. Struktur ekonomi Indonesia yang lebih dominan ditopang konsumsi domestik membuat potensi Indonesia terseret arus resesi global relative lebih rendah.
Tahun 2022, Ekonom meyakini Indonesia masih aman dari resesi. Namun, proyeksi stagflasi dan resesi perekonomian global tersebut tetap harus diwaspadai, terutama dampaknya bagi Indonesia pada tahun 2023 mendatang.
Pada semester I TA 2022, kebijakan pemulihan ekonomi nasional yang dijalankan pemerintah dan adanya windfall profit atas lonjakan harga komoditas telah mendominasi kenaikan yang signifikan pada pendapatan negara dalam APBN. Kementerian Keuangan mencatat pendapatan negara periode Semester I TA 2022 mencapai Rp 1.317,2 triliun atau 58,1 persen dari target Perubahan APBN sebagaimana tertuang dalam Perpres 98/2022. Tumbuh sebesar 48,5 persen dibandingkan periode sama di TA 2021 lalu.
Sementara itu realisasi belanja negara pada APBN telah mencapai Rp 1.243,6 triliun atau 40,0 persen dari pagu Perpres 98/2022 atau tumbuh 6,3 persen dibandingkan periode tahun lalu. Alhasil, APBN mencapai surplus sebesar Rp 73,6 triliun pada semester I TA 2022 atau mencapai 0,39 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Sedangkan defisit anggaran TA 2022 ditargetkan menurun dari 4,85 persen menjadi 4,50 persen PDB.
Kinerja APBN di semester I TA.2022 ini mencerminkan fondasi perekonomian Indonesia masih terjaga di tengah meningkatnya eskalasi tensi geopolitik, lonjakan harga komoditas dan tekanan inflasi global yang melanda dunia. Kekuatan fundamental ekonomi Indonesia ini diharapkan dapat menjadi bekal dalam menghadapi risiko ketidakpastian ekonomi global di sisa TA 2022 dan menghadapi TA 2023 mendatang yang masih dibayangi ketidakpastian.
Sejumlah variabel untuk menghitung potensi resesi seperti nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, penjualan kendaraan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), konsumsi semen, ekspor non-migas dan rasio simpan-pinjam di Tanah Air memang masih menunjukkan sinyal bahwa ekonomi Indonesia bergerak ekspansif.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI juga merilis proyeksi bahwa perekonomian Indonesia pada triwulan II tahun 2022 akan tumbuh 5,07 persen atau di kisaran 5,04-5,09 persen. Sedangkan, LPEM FEB UI memperkirakan ekonomi Indonesia pada akhir 2022 bisa tumbuh 5 persen. Hal ini ditopang adanya keyakinan bahwa konsumsi masyarakat akan terus tumbuh pada paruh semester II TA 2022.
Kita patut bersyukur, bahwa kebijakan APBN yang telah diambil pemerintah di TA 2021 terbukti mampu membawa Indonesia menjadi 4 negara terbaik dalam penanggulangan pandemi COVID-19. Bahkan, APBN 2021 mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dari posisi terkontraksi 2,07 persen di tahun sebelumnya menjadi tumbuh 3,69 persen.
Respon kebijakan dan kesigapan pemerintah di awal tahun 2022 serta adanya dukungan adaptasi masyarakat terhadap pandemi melalui program vaksinasi, terbukti dapat mendorong keberlanjutan tren pemulihan ekonomi nasional. Pada Triwulan I TA 2022, walau dilanda gelombang COVID-19 varian Omicron, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh melampaui level prapandemi yaitu mencapai 5,0 persen. Capaian ini ditopang oleh penguatan konsumsi rumah tangga yang pada semester I TA 2022 diproyeksi berada pada kisaran 4,5 – 4,8 persen (yoy), sejalan dengan kembali normalnya aktivitas masyarakat.
Sri Mulyani Indrawati, Menkeu RI dalam konferensi pers APBN KITA di bulan Juli 2022 menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak lagi bergantung kepada APBN seperti pada saat awal pandemi, namun kembali ke variabel utama yaitu konsumsi, investasi dan ekspor.
Survei Bloomberg terhadap para ekonom dunia, mengungkapkan tingkat risiko resesi Indonesia hanya 3 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan mayoritas negara di dunia. Sebuah negara dikategorikan rentan menghadapi resesi jika angka risiko mencapai 70 persen. Kondisi ini akan ditopang pertumbuhan konsumsi masyarakat dan perbaikan kinerja industri manufaktur.
Ekonom Hendri Saparini, pendiri Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia dalam satu diskusi mengungkapkan bahwa Indonesia tetap perlu waspada, karena bauran kebijakan fiskal dan moneter saja tak cukup untuk menghalau gejolak eksternal. Gejolak ekonomi global sewaktu-waktu bisa menguji soliditas serta stabilitas ekonomi Indonesia. Karenanya, produktivitas dan kinerja sektor riil sebagai penggerak aktivitas ekonomi perlu dirangsang, terutama untuk pemenuhan permintaan domestik.
Ketidakpastian geopolitik global tentunya berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Adanya tekanan inflasi global yang terkerek akibat tingginya harga komoditas. Kenaikan ini dipicu adanya gangguan rantai pasok yang terus berlanjut selama konflik Rusia dan Ukraina belum kunjung berakhir.
Selain itu, kita dihadapkan pada ancaman perubahan iklim dan belum berakhirnya pandemi COVID-19 yang turut memperluas kebijakan proteksionisme dari negara-negara penghasil, terutama di bidang pangan dan energi. Hal ini tentunya akan berimbas pada pelemahan konsumsi nasional yang masih cukup tinggi kebergantungannya pada beberapa jenis komoditas pangan impor.
Karenanya perlu dipertimbangkan untuk menggalakkan intensifikasi pertanian guna menggantikan pasokan komoditas pangan impor yang mulai menipis akibat proteksionisme tersebut. Contohnya, dengan meningkatkan luas tanam sorgum di dalam negeri sebagai pengganti gandum ekspor.
Dalam upaya mengantisipasi krisis energi, maka APBN tetap perlu menjadi bantalan agar lonjakan harga energi dunia tidak berdampak pada harga bahan bakar minyak (BBM), elpiji ataupun tarif dasar listrik. Dan ini pastinya perlu dilakukan perhitungan subsidi energi yang tepat sekaligus pemberian subsidi yang tepat sasaran.
Kita tahu bahwa salah satu sumber inflasi global dunia adalah komoditas pangan dan energi. Harapannya dengan menahan lonjakan harga kedua komoditas ini, maka inflasi domestik dapat dikendalikan. Karenanya upaya Pemerintah dan Tim Pengendali Inflasi melakukan evaluasi guna menjaga stabilitas harga bahan pokok di pasar agar tidak turut mengerek inflasi domestik perlu terus dilakukan secara berkesinambungan.
Krisis dan risiko resesi yang dialami beberapa negara juga dipicu sejumlah faktor. Terutama tidak terkendalinya inflasi dan keterbatasan ruang fiskal yang membuat para pemangku kebijakan gagal mengendalikan konsumsi, karenanya pemerintah juga perlu menjaga ketahanan ruang fiskal yang banyak tersedot untuk subsidi energi.
Sesuai Amanat Perppu No. 1/2020 atau UU No. 2/2020 bahwa defisit fiskal akan kembali berada di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Untuk itu, pemberian subsidi energi perlu dihitung secara cermat dan penerapannya juga harus tepat sasaran dengan tetap menjaga kondusivitas masyarakat di dalam negeri.
Bauran kebijakan fiskal dan moneter tentu tidaklah cukup untuk menghalau ancaman imbas resesi bagi perekonomian nasional. Mengingat, investasi juga merupakan sumber pertumbuhan ekonomi nasional nomor dua setelah konsumsi. Untuk itu perlu juga digali investasi skala kecil dan menengah dalam bentuk upaya pengembangan UMKM agar bisa tetap produktif sekaligus dapat membuka dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Mendorong investasi skala kecil dan menengah merupakan salah satu strategi untuk keluar dari tekanan resesi yang inklusif dan berkelanjutan yang sangat efektif dalam penciptaan pasar dan lapangan pekerjaan. Pertumbuhan investasi skala kecil dan menengah di banyak daerah pastinya akan memicu industrialisasi skala menengah, pada akhirnya dapat mendorong konsumsi masyarakat di daerah.
Di Indonesia, jumlah wirausaha masih di bawah 4 persen dari jumlah penduduk, jauh di bawah negara-negara dengan jumlah penduduk besar, seperti China dan India yang rasio jumlah wirausaha terhadap jumlah penduduk mencapai 11 persen – 12 persen. Tentunya kebijakan yang tepat untuk menggerakkan sektor riil melalui wirausaha sangatlah strategis mengingat peluang Indonesia sangat besar karena ditopang bonus demografi.
Untuk menghasilkan dampak yang lebih masif, juga dapat diambil kebijakan yang bertujuan menjaga daya beli dan pertumbuhan konsumsi masyarakat dengan kebijakan yang mendorong geliat pertumbuhan UMKM. Misalnya, untuk produk-produk kegiatan bansos yang disalurkan pemerintah hanya boleh menggunakan produk UMKM dalam negeri.
Korporatisasi sektor pertanian juga bisa menjadi daya ungkit pemberdayaan ekonomi masyarakat, sekaligus dalam rangka mencukupi kebutuhan komoditas pangan dalam negeri yang terimbas adanya gangguan rantai pasok global. Apabila ini dilakukan secara masif di banyak daerah, maka peluang swasembada berbagai komoditas pangan akan semakin terbuka. Saat ini yang diperlukan adalah meningkatkan kapasitas petani serta membuka pasar-pasar baru agar serapan produk pertanian di dalam negeri semakin meningkat dan lancar.
Pemerintah di daerah tentunya juga perlu mengantisipasi ancaman resesi dunia yang berpotensi berdampak bagi Indonesia. Di antaranya dengan memetakan dan mengembangkan potensi berbagai sektor unggulan di daerah baik pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, wisata, industri usaha kecil menengah dan lain sebagainya.
Termasuk juga menerapkan kebijakan yang menunjukan keberpihakan kepada pelaku wirausaha UMKM di daerah melalui kegiatan pendampingan, pemberian akses pembiayaan atau penguatan modal agar dapat meningkatkan kapasitas produksinya. Membuka peluang pasar dan kesempatan kerja bagi masyarakat sekaligus meminimalisir ketergantungan pada pasokan pangan dari luar negeri dan mengupayakan pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri.(*)