Saat masih kanak-kanak, saya sering mendapati adegan penculikan di sederet yang menampilkan sebuah koper dengan uang ratusan bahkan miliaran uang di dalamnya. Ketika itu, saya tidak bisa membayangkan, berapa banyak mainan tamiya, lego, atau bahkan bola sepak yang bisa saya beli dengan menggunakan sekoper uang. Tentu masa kanak-kanak saya akan menjadi lebih indah dan berwarna.
Menariknya, perasaan itu juga muncul saat membaca berita terkait dugaan korupsi PT Timah Tbk yang menggemparkan jagat media belakangan ini. Tidak tanggung-tanggung, potensi kerugian yang dialami negara mencapai angka yang fantastis, yakni Rp 271 triliun. Bayangkan, apa yang bisa kita lakukan dengan uang sebanyak itu. Berbagai program dan kontribusi mungkin bisa dijalankan oleh pemerintah untuk memajukan Indonesia jika memiliki dana tersebut. Misalnya saja jika uang korupsi Rp 271 triliun itu digunakan untuk memberi subsidi bagi orang-orang miskin di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2023 berada di kisaran 25,90 juta orang. Maka, jika memanfaatkan Rp 271 triliun, tiap warga miskin di Indonesia bisa mendapatkan subsidi sekitar Rp 10 juta sebagai modal usaha atau untuk biaya hidup. Sebuah perhitungan yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Jumlah itu juga jauh lebih besar dibandingkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Bangka Belitung yang menjadi daerah penghasil timah terbesar di Indonesia. Jika uang korupsi tersebut digunakan untuk membiayai APBD setempat, maka dana tersebut bisa digunakan untuk membiayai selama 100 tahun, mengingat APBD 2023 bangka Belitung ‘hanya’ di kisaran 2,5 triliun rupiah.
Uang Rp 271 triliun tersebut juga dapat dipakai untuk membantu dua pertiga dari biaya pembangunan ibu kota negara Indonesia yang mencapai Rp 400 triliun. Tentu ada banyak hal lain yang bisa dilakukan dengan uang sebanyak itu. Bahkan meme-meme lucu yang menyindir tentang kasus korupsi ini sudah bertebaran di media sosial.
Nada-nada satir juga bermunculan terkait ruwetnya dan banyaknya kasus korupsi di Indonesia. Seakan-akan budaya korupsi sudah mengakar di dalam tubuh Indonesia. Tapi apakah tidak ada usaha pemerintah untuk mengatasinya?
Akankah Hukuman Mati Efektif?
Berbagai cara sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah praktik korupsi. Mulai dari penguatan regulasi dan hukum, sosialisasi, hingga memasukkan materi anti korupsi dalam kurikulum pendidikan. Salah satu yang dinilai mampu menekan angka korupsi, khususnya dalam pemerintahan adalah upaya digitalisasi pemerintahan yang tertuang dalam peraturan presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
Perpres ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pelayanan sekaligus bisa meningkatkan akuntabilitas serta transparansi. Berbagai data dibuka sehingga masyarakat bisa dengan mudah mengaksesnya. Selain itu juga memungkinkan masyarakat untuk mengawasi kinerja institusi sehingga menekan angka korupsi. Sayangnya, upaya itu dirasa belum maksimal karena berbagai faktor.
Beberapa pihak juga menawarkan solusi ekstrem yakni pemberlakuan hukuman mati untuk koruptor. Faktanya, hukuman mati sudah tertulis dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun ancaman pidana mati bagi pelaku korupsi baru bisa dijatuhkan jika syarat-syaratnya terpenuhi. Adapun dalam penjelasannya, pidana mati baru bisa diberikan apabila tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya. Yakni saat terjadi bencana alam nasional, pengulangan, atau ketika negara dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter.
Banyak pihak yang menilai bahwa syarat ini menjadi penghambat dilaksanakannya hukuman mati untuk koruptor. Padahal hukuman mati bisa saja menjadi cara efektif untuk menanggulangi korupsi di Indonesia. Hal itu tak lepas dari efek jeranya yang kuat.
Pemberlakukan hukuman mati dinilai bisa menjadi pertimbangan besar bagi mereka yang merencanakan korupsi. Masyarakat luas juga bisa melihat dan merasakan efek jera ini sehingga semakin takut untuk melakukan korupsi.
Selain itu, hukuman mati untuk koruptor dapat berkontribusi membersihkan dan memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan dan hukum. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah yang meningkat otomatis memperkuat kepatuhannya terhadap hukum yang berlaku.
Meski begitu, tantangan dan pendapat kontra juga perlu dipertimbangkan sebelum memberlakukan hukuman mati untuk koruptor. Sebagian ahli berpendapat bahwa hukuman mati tidak begitu efektif mencegah korupsi. Seringkali faktor-faktor lain seperti ekonomi, kurangnya kesadaran moral, dan adanya peluang lebih berpengaruh.
Hukuman mati juga dinilai menyalahi dan melanggar hak asasi manusia untuk hidup. Hal ini juga diperparah dengan risiko kesalahan yang mungkin terjadi. Ada kemungkinan seseorang dihukum mati, padahal ada kesalahan atau kesalahpahaman dalam proses hukumnya. Apalagi melihat keadaan sistem hukum di Indonesia yang tidak konsisten. Hukuman seringkali dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kekayaan, status sosial, kekuatan politik, dan lainnya.
Terakhir, penulis ingin menekankan bahwa Rp 271 triliun kerugian negara bukanlah angka yang kecil. Ada banyak hal bermanfaat yang bisa dilakukan dengan uang sebanyak itu. Maka, perlu adanya upaya konkret dan cepat dari pemerintah untuk memberantas korupsi. Hukuman mati mungkin bisa jadi solusi agar angka korupsi turun. Namun tetap memerlukan kajian mendalam tentang plus minus hukuman jenis ini.(*)