Tuesday, October 21, 2025
spot_img

Antara Politik Simbolik, Citra, dan Nalar Publik

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Satu tahun sudah pemerintahan Prabowo–Gibran berjalan. Di ruang publik, berbagai narasi tentang keduanya berseliweran: ada yang menyanjung gaya kepemimpinan yang tegas dan merakyat, ada pula yang menyoroti persoalan dan kontroversi yang membayanginya. Seperti dua sisi mata uang, keberhasilan dan kritik berjalan beriringan, dan media menjadi panggung utama tempat citra kekuasaan dibentuk, dipertahankan, sekaligus diuji.

Pasangan ini datang dengan beban simbolik yang besar. Mereka dianggap sebagai representasi generasi baru dalam kekuasaan, sekaligus kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya yang menjanjikan stabilitas. Namun, satu tahun kemudian, politik di bawah Prabowo–Gibran justru memperlihatkan hal yang lebih kompleks: bahwa kekuasaan di era digital tidak lagi hanya bergantung pada kebijakan, tetapi juga pada bagaimana kebijakan itu dikomunikasikan, diterima, dan ditafsirkan oleh publik. Politik hari ini adalah politik simbolik, politik yang hidup dari citra, narasi, dan persepsi.

-Advertisement- HUT

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi contoh paling jelas dari bagaimana kebijakan bisa berubah menjadi pertarungan komunikasi. Sejak awal diluncurkan, program ini dikemas dengan narasi empatik: negara hadir di meja makan rakyat kecil, membantu anak-anak yang kekurangan gizi, dan menegaskan peran sosial pemerintah.


HUT

Di layar televisi dan media sosial, gambarnya indah, senyum anak-anak, nasi kotak berwarna cerah, dan pejabat yang tampil sederhana. Namun, seiring waktu, muncul berita-berita lain: kasus keracunan makanan di beberapa daerah, distribusi yang tidak merata, hingga anggaran yang tersendat. Narasi kemanusiaan yang semula gemerlap perlahan dihadapkan dengan realitas birokrasi dan tantangan teknis di lapangan.

Media kemudian mengambil posisi masing-masing. Ada yang menulis dengan nada positif, menekankan niat baik pemerintah. Ada pula yang kritis, menyoroti lemahnya pengawasan dan manajemen. Inilah wajah demokrasi media: setiap isu menjadi arena perebutan makna. Dalam istilah komunikasi politik, inilah framing contest, ketika berbagai pihak berkompetisi menentukan bagaimana publik harus memahami peristiwa.

Belum reda soal MBG, publik dihadapkan pada isu lain: munculnya kasus ijazah palsu, disusul dengan kabar tentang utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung yang membengkak. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa APBN tidak akan digunakan untuk menanggung utang proyek tersebut.

Fenomena ini menunjukkan bahwa politik hari ini bukan lagi pertarungan antarpartai atau antarideologi, melainkan pertarungan narasi. Pemerintah, media, dan publik sama-sama terlibat dalam perang makna yang nyaris tanpa jeda. Pemerintah berusaha menjaga citra dengan simbol-simbol kesederhanaan dan nasionalisme; Prabowo tampil dengan gaya tegas dan berwibawa, Gibran dengan kesan muda dan gesit.

Dalam suasana seperti ini, komunikasi pemerintahan di tahun pertama Prabowo–Gibran terasa masih sangat bergantung pada figur, bukan sistem. Pesan-pesan publik sering kali terfokus pada penampilan simbolik, bukan substansi kebijakan. Transparansi dan kejelasan informasi belum menjadi budaya komunikasi, sementara kritik sering kali dibalas dengan defensif, bukan dengan dialog. Padahal, di era keterbukaan informasi, kredibilitas pemerintah tidak lagi ditentukan oleh janji, melainkan oleh konsistensi dan keterbukaan.

Di sisi lain, media juga menghadapi dilema besar. Di satu sisi, media memiliki fungsi pengawasan terhadap jalannya kebijakan pemerintah—menjadi watchdog bagi kepentingan publik. Namun di sisi lain, media juga harus menjaga dirinya agar tetap netral dan berimbang. Dalam kondisi politik yang sangat dinamis, objektivitas media sering kali diuji oleh tekanan kepentingan, baik ekonomi maupun ideologis.

Untuk menjaga keseimbangan itu, diperlukan apa yang saya sebut sebagai Mitigasi Konten Media, yakni upaya sadar dari lembaga media untuk memastikan bahwa setiap pemberitaan disusun secara proporsional, berbasis data, dan mempertimbangkan dampak sosialnya. Mitigasi konten bukan berarti membungkam kritik, melainkan menempatkan informasi dalam konteks yang tepat agar tidak menimbulkan polemik yang tidak perlu. Mitigasi konten juga berarti menjaga keseimbangan antara kecepatan dan akurasi.

Setahun pemerintahan ini seharusnya menjadi bahan refleksi bersama, bahwa demokrasi bukan hanya tentang siapa yang memimpin, tetapi bagaimana kekuasaan itu dikomunikasikan. Pemerintah perlu memahami bahwa kepercayaan publik tidak dibangun oleh kata-kata indah, tetapi oleh koherensi antara kata dan tindakan.

Kepercayaan tidak bisa diminta, ia harus diraih melalui komunikasi yang jujur, terbuka, dan menghargai kecerdasan publik. Sementara media, dengan segala keterbatasannya, harus terus menjadi penjaga akal sehat. Dalam era banjir informasi dan manipulasi citra, media memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan publik tidak kehilangan kemampuan berpikir kritis. Tugas utama jurnalisme bukan memperindah kekuasaan, melainkan menerangi ruang gelap yang tidak tersentuh narasi resmi. Satu tahun Prabowo–Gibran menunjukkan satu hal penting: politik di Indonesia kini sepenuhnya menjadi politik komunikasi. Di balik setiap kebijakan, ada narasi; di balik setiap narasi, ada kepentingan; dan di balik semua itu, ada publik yang terus belajar membaca tanda-tanda. Citra boleh dibangun, tetapi kepercayaan harus diperjuangkan. Dan di era digital yang serba transparan ini, komunikasi bukan lagi sekadar alat kekuasaan, melainkan cermin moral dari cara kekuasaan dijalankan.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img