Cerpen Karangan Oleh Khairul A.El Maliky
Kedua mataku membara ketika melihat iblis membumihanguskan ladang tembakau Pak Rahmad. Lidah-lidah api menjilat-jilat tanaman dan rerumputan yang selama ini menjadi ladang kehidupan keluarga pria itu. Tangan iblis seolah sedang menari-nari di tengah-tengah ladang dan dengan secepat samparan ayam, ia kembali menyambar tanaman tembakau yang meranggas terpanggang.
Lalu bersama warga kampung yang lain, aku berusaha mencarikan air dari sungai. Dengan timba yang berisi air, kami saling bahu-membahu menaklukkan si jago merah. Namun besarnya api yang menyambar-nyambar membuat kami sulit untuk memadamkannya.
Di sana, aku juga melihat Pak Rahmad sedang meratapi ladang tembakaunya yang telah mati. Pria paro baya itu menangis meski tidak meneteskan air mata. Aku tahu apa yang menyebabkan ia menangis. Pertama, selain mengalami kerugian yang besar, dirinya dapat dipastikan tidak bisa menunaikan ibadah haji tahun depan.
Kedua, dengan kejadian ini dapat dipastikan pula bahwa dirinya tidak bisa melunasi hutang kepada Juragan Karta. Saat itu, putrinya, Arunika juga menyusul ayahnya yang tengah berada di ladangnya. Gadis berparas jelita itu tampak sedang menabahkan jiwa ayahnya.
“Bapak sudah tidak tahu, apa yang harus bapak lakukan untuk melunasi hutang-hutang bapak kepada Juragan Karta.” Pak Rahmad memandang ladang tembakaunya dengan nanar. Suaranya tercekat di tenggorokan.
“Bapak yang sabar, Pak. Aku akan berusaha mencari kerja agar bisa melunasi hutang Bapak kepada Juragan Karta,” gadis itu berkata dengan lembut.
“Kamu tentu sudah tahu bagaimana Juragan Karta. Dia adalah orang yang sangat kejam. Mungkin dia tidak akan mengampuni bapak.
“Iya, aku sudah mengenal tabiat Juragan Karta. Tapi aku yakin bahwa Allah pasti akan menolong kita.”
Keesokan harinya, sebuah mobil berhenti di luar beranda rumah Pak Rahmad. Melihat ada tamu yang datang, dengan tergopoh-gopoh pria yang selama ini dikenal sebagai petani sekaligus pedagang sukses di kampung kami itu menyambut tamunya yang tidak lain adalah Juragan Karta.
“Silakan masuk, Juragan!” Pak Rahmad mempersilakan tamunya.
Juragan Karta duduk di ruang tamu. Begitu juga dengan Pak Rahmad. Sementara itu, istri Pak Rahmad mempersiapkan jamuan buat tamu.
“Maaf, Juragan. Bolehkah saya tahu soal tujuan kedatangan Juragan ke rumah kami.”
“Saya dengar tadi malam ladang tembakau Pak Rahmad kebakaran?” Juragan Karta mengawali perbincangannya. Lalu menghisap cerutunya dengan pelan. Diembuskannya asap hingga memenuhi ruangan. Hawa dingin segera menyusup ke dalam jiwa Pak Rahmad.
Pak Rahmad sudah menduga kalau berita itu segera sampai di telinga Juragan Karta.
“Benar, Juragan. Ladang tembakau saya hangus terbakar. Saya tidak tahu siapakah orang yang telah membakar ladang saya. Atas kejadian itu, saya mengalami kerugian yang sangat besar. Sehingga keinginan saya untuk melunasi tabungan haji dan hutang kepada Juragan pupus sudah. Tapi, Juragan. Juragan tidak perlu risau. Saya akan berusaha untuk tetap melunasi hutang saya kepada Juragan,” tutur Pak Rahmad menjelaskan.
Wajah Juragan Karta menampakkan mimik tidak suka.
“Dengan apa Pak Rahmad akan melunasi hutang Pak Rahmad kepada saya?” tanya Juragan Karta penuh selidik.
“Saya masih menunggu uang dari hasil panen kopi yang ada di Tiris sana.”
Selain memiliki ladang tembakau yang luas, Pak Rahmad masih memiliki ladang kopi di gunung. Pria paro baya itu juga memiliki buruh kebun yang lumayan banyak. Selama ini ia sudah pergi naik haji sebanyak tiga kali. Di kampung kami, ia juga dikenal sebagai haji yang dermawan. Ia suka menolong warga kampung yang lagi dilanda kesusahan. Tak hanya itu, Pak Rahmad juga membantu pembangunan masjid yang lagi membutuhkan dana yang sangat besar.
***
Arunika laksana bunga mawar yang baru kemarin sore merekah. Kecantikannya tidak ada yang memungkiri. Gadis itu memiliki paras yang elok seperti ibunya. Ia memang mewarisi kecantikan ibunya. Usianya baru 18 tahun. Baru satu tahun lalu ia lulus dari sekolah menengah atas. Dan rencananya ia akan melanjutkan kuliah ke salah satu universitas terkemuka di Jakarta sana.
Aku mengenal Arunika sebagai gadis yang pendiam. Ia juga jarang keluar dari rumah. Setelah pulang dari mengaji, ia langsung masuk ke dalam rumah. Di dalam kamarnya ia menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Arunika juga dikenal sebagai gadis yang cerdas. Sedari SD, ia selalu menjadi bintang kelas. Ia juga tidak pernah berpacaran. Kalau keluar rumah, ia selalu ditemani oleh salah seorang sepupunya.
Tidak sedikit pemuda kampung yang mengagumi kecantikan Arunika. Sebab gadis itu laksana sinar mentari pagi yang selalu menghangatkan kehidupan. Burung-burung bersiul ketika memandang kecantikannya. Bunga-bunga di kebun berlomba-lomba ingin menyapanya. Sungai-sungai bernyanyi menyambut kedatangannya. Akan tetapi tidak sedikit pula pemuda yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan hatinya.
Arunika hanya menambatkan hatinya hanya pada seseorang. Namanya adalah Syamsul. Pemuda beruntung yang hanya anak seorang petani kampung. Syamsul pemuda yang sederhana. Meski perbedaan mereka seperti bumi dan langit, tapi cinta keduanya sangatlah besar. Arunika sepertinya tulus mencintainya.
“Arun, apakah kamu mencintaiku?” tanya Syamsul ketika keduanya duduk di sebuah gubuk yang berada di tengah pematang sawah. Saujana terbentang di depan mata. Burung-burung bernyanyi di antara pepucuk padi.
“Aku sangat mencintaimu melebihi apa pun, Sam.” Jawab Arunika dengan meletakkan kepalanya di pangkuan kekasihnya.
“Tapi, Arun, sebentar lagi ayahku akan mengirimku ke negeri Arab. Beliau menginginkan aku menimba ilmu agama yang pernah diajarkan oleh rasulullah. Beliau ingin aku mengabdikan ilmuku di pesantren. Tentu saja perpisahan ini tidaklah sebentar. Kita tidak akan pernah bertemu selama enam tahun. Apakah selama itu kamu akan setia menjaga cinta kita?” Syamsul memandang ke arah ladang hijau.
“Apakah kamu meragukan cintaku?” Arunika bangkit dan seketika kedua matanya menatap wajah kekasihnya bulat-bulat.
Pada saat yang sama, Syamsul juga memandang wajah kekasihnya itu.
“Kalau kamu ragu akan cintaku, sebaiknya kita lakukan sekarang juga,” Arunika hendak membuka kancing bajunya. Syamsul menelan ludah. Kelu lidahnya.
“Maksudmu, Arun?” Pemuda itu mengernyitkan dahinya.
“Kita berhubungan layaknya suami istri. Maka dengan begitu, kamu akan selalu mengingatnya dalam setiap tidurmu. Kamu tidak akan pernah meninggalkanku karena engkaulah pria yang pertama kali menyentuhku.” Arunika mendekatkan wajahnya ke wajah Syamsul. Jantung Syamsul berdegup dengan kencang.
“Jangan, Arun. Aku tidak ingin cinta kita dilaknat oleh Allah. Cinta yang suci adalah cinta yang dibangun atas landasan ajaran agama. Aku ingin cinta ini kita jaga sampai pernikahan nanti. Karena aku hanya ingin membangun bahtera rumah tangga bersamamu.”
Arunika mengurungkan niatnya untuk membuka kancing bajunya.
Aku tahu tentang kisah cinta Arunika dan Syamsul. Pasangan sejoli itu memiliki kisah cinta yang dramatis. Di bawah renjana yang terlukis di kaki barat, mereka berdua saling menyanyikan lagu-lagu kasmaran. Sehingga membuat iri kupu-kupu yang berjingkat-jingkat di atas pepucuk ilalang. Bahkan berita kisah cinta mereka terdengar sampai kampung seberang. Orang-orang berharap agar mereka saling cinta-mencintai dalam ikatan akad nikah di hadapan Tuhan.
***
Juragan Karta kembali datang ke rumah Pak Rahmad. Namun bukan untuk menagih hutang. Pak Rahmad tidak mampu melunasi semua hutang-hutang pada juragan kopra itu. Warga kampung mengenal siapa juragan dari kota itu. Penampilannya selalu necis. Lelaki flamboyan itu juga dikenal suka mengawini perempuan muda. Kalau tidak salah ia memiliki delapan orang istri di tempat berbeda. Anaknya juga banyak. Ia tidak bisa menahan nafsunya apabila melihat wanita muda cantik dan bohai. Dengan cara apa pun ia akan berusaha mendapatkan wanita itu untuk dijadikan istrinya. Dari hasil pernikahan itu ia memiliki anak. Anaknya juga banyak.
Wajahnya mirip-mirip. Sedangkan istri pertamanya sudah tua, dan tidak sexy lagi. Selain dikenal sebagai dikenal sebagai juragan kopra, Karta adalah juragan minyak, juragan perahu, juragan terasi, dan rentenir. Sebagai seorang rentenir, tentu saja Karta memiliki juru pukul yang diperintahkan untuk menggebuki petani yang mangkir dari hutangnya.
“Kedatangan saya ke sini untuk melamar Arunika, Pak Rahmad,” kata Juragan Karta dengan anggun.
Pak Rahmad terkejut bukan main. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolak lamaran Juragan Karta. Ia juga tidak bisa menolak keinginan orang tua bangka itu sebab ia sendiri tidak bisa melunasi semua hutang-hutangnya. Setelah ladang tembakaunya terbakar, kemarin malam kebun kopinya juga hangus terbakar. Ia mengalami gagal panen. Padahal uang dari hasil menjual panen kopinya akan ia gunakan untuk membayar hutang.
“Bagaimana, Pak Rahmad? Apakah lamaran saya diterima?” Karta memandang wajah Pak Rahmad yang lesu dengan penuh arti.
Lalu Pak Rahmad dan istrinya memanggil putri mereka, Arunika. Seketika senyum terpancar dari wajah Karta saat melihat wajah ayu Arunika yang menggoda. Ia ingin menjadikan gadis itu sebagai istrinya yang ke sembilan.
“Arunika, saya ingin melamarmu sebagai istriku yang nomor sembilan. Bagaimana, Arunika? Apakah kamu akan menerimanya?”
Arunika terdiam membisu. Ia tidak berani mengangkat wajahnya hanya untuk melihat muka orang tua bangka bau tanah itu. Mana bisa dirinya mau menerima lamaran orang itu? Mana sanggup dirinya menjadi istri yang ke sembilan? Mana mungkin dirinya bisa hidup satu atap dengan pria yang semestinya layak menjadi ayahnya?
Namun ia tidak punya pilihan. Ayahnya tidak sanggup melunasi semua hutang-hutangnya pada lintah darat itu. Kebun kopi dan tembakau, yang dijadikan harapan untuk memikul hutang-hutang ayahnya ludes terbakar.
“Terimalah lamaran Juragan Karta, Anakku Arunika.” Pinta ayahnya dengan berurai air mata. “Kasihinilah ayahmu yang tua renta ini. Hanya kamulah satu-satunya yang bisa menyelamatkan ayahmu dari tekanan Juragan Karta.”
“Ayah, lebih baik aku mati daripada menikah dengan Juragan Karta dan mengkhianati cinta suciku terhadap Syamsul,” kata Arunika dengan tegas.
Rentenir tua itu seperti kebakaran jenggot ketika mendengar penolakan yang disampaikan oleh Arunika. Tak berselang lama kemudian, berderet-deret kejadian tragis menimpa kampung kami. Mulai dari kematian Syamsul yang kecelakaan karena terlindas truk, Arunika yang ditemukan tewas di tengah ladang tembakau dalam kondisi mengenaskan tanpa pakaian bawah, dan Pak Rahmad yang bunuh diri dengan meminum racun rumput.
Aku menduga bahwa kematian Syamsul ada sangkut pautnya dengan peristiwa kebakaran yang melanda ladang tembakau dan kopi Pak Rahmad. Aku yakin pasti kebakaran itu dilakukan oleh orang-orang suruhan Karta. Meski aku belum menemukan bukti yang kuat tapi aku menduga bahwa Kartalah di balik semua peristiwa ini.
Mengapa? Karena aku tahu bahwa Pak Rahmad pernah meminjam modal dari Karta untuk membeli bibit dan pupuk tembakaunya. Dan Karta melancarkan sebuah skenario agar Pak Rahmad tidak mampu melunasi hutangnya dengan membakar ladang-ladang tembakau itu.
Selama ini ia menginginkan Arunika untuk dijadikan sebagai istrinya. Ketika ia mengetahui bahwa Arunika sudah menjalin hubungan dengan Syamsul, maka ia menyuruh seseorang agar membunuh Syamsul. Maka dengan begitu, ia dengan bebas bisa menikahi Arunika.
Namun karena Arunika menolak pernikahan tersebut, ia ingin balas dendam. Lalu ia menyuruh seseorang agar menodai Arunika. Arunika disekap dan dibawa ke tengah ladang tembakau. Di sana, gadis itu dinodai lalu dibunuh secara sadis. Melihat putrinya meninggal dalam kondisi menyedihkan, Pak Rahmad frustrasi. Ia memilih mengakhiri hidupnya dengan cara meminum racun. Dan kini istrinya menjadi gila.
“Apakah ini cerita sungguhan?” tanya seseorang padaku.
“Tentu saja ini hanya sebuah hikayat.” Tukasku menyambar jaket.
“Tapi… tapi kenapa Karta melakukan ini?”
“Ia ingin balas dendam karena Karta telah menyunting gadis pujaan hatinya.” (*/cerpenmu/bua)