Sangat menarik untuk mencermati keterangan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana, yang menegaskan bahwa “kejadian keracunan makan bergizi gratis (MBG) selama ini tidak berulang pada satu satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG)” (Kompas, 19/9/2025).
Ungkapan ini sekilas tampak menenangkan, tetapi publik patut bertanya: apakah ini tanda perbaikan atau gejala kerentanan sistemik? Di dalamnya tersimpan dua lapisan makna yang sejatinya kontradiktif.
Di satu sisi, SPPG menunjukkan kemampuan belajar karena insiden tidak terulang di tempat yang sama. Namun, di sisi lain, pengakuan ini malah membuka tabir masalah yang lebih serius, yaitu fakta keracunan yang terus muncul di lokasi lain mengungkap kelemahan sistemik yang belum tuntas, sehingga masalah sesungguhnya ada pada sistem secara keseluruhan.
Selain itu target “zero accident” yang diusung BGN terdengar menantang sekaligus penuh harapan, tetapi tanpa reformasi menyeluruh dan mendasar —bukan hanya pembinaan di tempat kejadian—target itu berisiko berhenti sebagai jargon belaka.
Belajar dari Budaya Kerja Industri Modern
Gelombang kasus keracunan MBG dengan ribuan anak telah menjadi korban, menimbulkan pertanyaan substansial: mengapa program gizi justru menjadi ancaman kesehatan? Jawabannya bisa ditelusuri dari bagaimana sistem dan skema pengawasan mutu pangan dirancang dan dijalankan.
Dengan proyeksi jumlah penerima manfaat program MBG yang melampaui 80 juta jiwa hingga 2029, maka SPPG tidak dapat lagi diperlakukan sekadar sebagai penyedia layanan jasa boga. Ke depan, secara progresif posisinya harus ditransformasikan setara dengan industri modern, yang beroperasi dengan sistem pengelolaan dan mekanisme pengawasan mutu makanan yang sangat terstandar serta terukur. Dibutuhkan proses dan waktu yang memadai serta sumber daya yang mumpuni.
Penulis, dengan pengalaman lebih dari dua dekade di industri makanan multinasional, menyaksikan bagaimana Skema Pengawasan Mutu atau Quality Monitoring Scheme (QMS) selalu menjadi kerangka dasar untuk menjaga konsistensi mutu dan keamanan makanan.
QMS merujuk pada kerangka ISO 9001 yang diadaptasi di industri pangan dan sering diintegrasikan dengan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) atau ISO 22000 – Food Safety Management Systems (FSMS) untuk seluruh organisasi dalam rantai pangan.
Pengalaman di lapangan juga menunjukkan bahwa sekuat apa pun sistem dirancang, selalu tersimpan kerentanan yang perlu diwaspadai. Pasalnya, yang paling menentukan bukanlah dokumen di atas kertas, melainkan kemampuan, pengalaman, dan konsistensi perilaku manusia yang menjalankannya.
QMS dibangun untuk menjawab empat pertanyaan mendasar: apa yang harus dikontrol—seluruh rantai proses pangan dari bahan baku hingga penyajian dengan parameter, batas kritis, dan frekuensi pengawasan yang jelas; siapa yang bertanggung jawab—dari operator hingga pimpinan; mengapa kontrol penting—untuk kesehatan publik dan kepatuhan regulasi; serta apa yang harus dilakukan bila terjadi penyimpangan—yaitu tindakan korektif segera. QMS tidak sekadar dokumen, tetapi juga matriks kendali yang memastikan setiap tahap dan titik kritis terjaga secara konsisten.
HACCP menjadi instrumen utama untuk mengidentifikasi dan mengawasi titik kendali kritis, namun tanpa higienitas, HACCP hanya dokumen tanpa daya cegah. Oleh karena itu, industri makanan modern menempatkan higienitas sebagai prerequisite program (PRP) sebelum HACCP dijalankan secara optimal, memastikan keamanan pangan benar-benar terjamin.
Kasus keracunan MBG berulang menyingkap dua kelemahan utama, yakni penyusunan dan ketepatan QMS serta kedisiplinan dalam penerapannya. Diperparah distribusi luas, volume besar, fasilitas terbatas, dan minimnya pemahaman SDM, sehingga prosedur sering sekadar formalitas.
QMS, Higienitas dan HACCP, tidak cukup hanya sebatas dokumen sertifikasi, namun harus menjadi budaya kerja. Diwujudkan melalui pelatihan intensif, audit ketat, dan evaluasi eksternal berkala agar keamanan pangan nyata. Pemerintah melalui BGN perlu menegakkan standar QMS secara menyeluruh dengan sanksi tegas bila dilanggar.
Back to Basic
Menurut Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Muhammad Qodari (24/9/2025), dari total 8.583 SPPG atau dapur MBG, hanya 34 yang memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) sebagai bukti pemenuhan standar mutu dan keamanan pangan. Fakta ini mengonfirmasi adanya masalah serius, mendasar, dan sistemik terkait kasus keracunan MBG.
Saatnya kembali ke hal yang paling mendasar agar langkah perbaikan ke depan lebih terarah dan berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga langkah penting dan mendesak untuk dilakukan. Pertama, dan paling basic, yakni memperkuat higienitas, termasuk kebersihan personal, peralatan, lingkungan, bahan baku dan air aman, dapur layak, pengendalian suhu rantai dingin, serta pengelolaan limbah, disertai pelatihan sanitasi dasar bagi seluruh tim SPPG.
Kedua, QMS yang fungsional harus ditegakkan di seluruh rantai proses—dari penerimaan bahan baku hingga penyajian—sesuai SOP terdokumentasi dan diawasi melalui audit eksternal berkala. Ketiga, HACCP perlu diintegrasikan sebagai instrumen wajib, dengan pelatihan intensif agar tim memahami cara dan alasan setiap kendali demi keselamatan penerima manfaat MBG
Tanpa paradigma baru dengan mereformasi sistem dan pengawasan mutu yang mendasar dan menyeluruh tersebut, program mulia seperti MBG hanya akan terus menjadi lingkaran tragedi. Pangan massal harus menjamin mutu dan keamanan, bukan sekadar kuantitas dan gizi, agar MBG tidak menjadi janji kosong.(*)