spot_img
Monday, December 23, 2024
spot_img

Badai Belum Berlalu

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Cerpen Oleh Hanik Alina

Murni single parent dengan satu putra. Ia tinggal bersama Ibu dan adik laki-lakinya. Dengan bantuan mereka Murni membesarkan Farhan. Namun, siapa sangka Farhan tumbuh menjadi anak yang jauh dari harapan. Farhan menjadi anak yang manja dan tempramental.

Farhan yang masih TK biasa dijemput oleh ayahnya. Namun, siang itu Farhan dijemput oleh Iwan. Farhan merasa kecewa.

“Kok, yang jemput Farhan, Om Iwan. Ayah ke mana?”, tanya Farhan pada Iwan.

“Tanya saja sama mamamu!”, jawab Iwan ketus. Farhan memandang Iwan tak suka.

“Ayo naik!”, lanjut Iwan.

“Gak mau! Aku mau dijemput ayah!”, jawab Farhan.

“Ayo, pulang! Om mau ada urusan!”, kata Iwan mulai tidak sabar.

“Farhan mau dijemput ayah!”, teriak Farhan menahan tangis. Ia duduk di depan pagar sekolah. Beberapa ibu-ibu yang menjemput anaknya mencoba membujuknya.

“Ayahmu gak ada di rumah. Makanya nenek nyuruh om.”, kata Iwan merendahkan nada suaranya melihat Farhan ngambek.

“Terus ayah ke mana? Kok, gak pulang-pulang!”, ucap Farhan dengan mata mulai memerah.

“Makanya, kamu pulang dulu sama om. Nanti tanyakan sama mamamu.”, kata Iwan merayu.

“Tadi pagi mama bilang ayah yang jemput Farhan.”, kata Farhan sesenggukan.

“Terus kalo ayahmu gak jemput, kamu gak mau pulang sama om?”, kata Iwan menggamit lengan Farhan.

“Nanti kita makan ke McD.”, kata Iwan akhirnya.

“Bener, ya! Awas kalo bohong!”, kata Farhan sambil mengucek matanya yang basah.

“Iya. Tapi nunggu mamamu pulang kerja.”, balas Iwan.

Farhan setuju dan naik motor Iwan. Lewat telepon Iwan menjelaskan perihal Farhan yang tidak mau pulang pada Murni. Termasuk janjinya untuk mengajak Farhan ke McD. Murni menghela nafas berat. Ada luka menganga. Luka yang tak berdarah. Alfin ayah Farhan lebih memilih Tiyas wanita yang telah dikenalkannya pada Farhan sebulan yang lalu.

*

Setiap akhir bulan Murni pulang terlambat. Ia harus membuat laporan bulanan. Nino teman sekantornya, tanpa sengaja bertemu suaminya di McD dekat tempat kerjanya. Murni yang telah menyelesaikan pekerjaannya bergegas pulang. Ia menuju McD tempat Nino bertemu suami dan anaknya. Sesampai di McD Murni mengedarkan pandangan mencari mereka. Murni mengeryitkan dahi. Alfin sedang bersama seorang perempuan. Mereka bercanda layaknya sepasang kekasih. Sementara itu, Farhan menyantap makan tanpa merasa terganggu oleh kehadiran perempuan itu. Murni mencoba mengenyahkan prasangka buruknya. Setelah yakin hatinya tertata, Murni menghampiri mereka.

“Makan kok ndak ngajak-ngajak, Yah.”, kata Murni sambil menyeret kursi di samping Farhan.

“Eh… I… Iya.”, kata Alfin gugup. Ia tidak menyangka Murni akan datang secepat itu.

Murni menatap tajam perempuan yang duduk di samping suaminya. Rambutnya sebahu hitam legam. Hidungnya mancung dengan pipi yang tirus terawat. Sisi hatinya mengatakan perempuan itu cantik meski hanya memakai riasan seadanya. Akan tetapi, ia terlalu egois untuk mengakuinya. Murni telah menghabiskan sebagian gajinya untuk membeli make up. Ia terbiasa dengan riasan sempurna karena itu membuatnya lebih muda dari suaminya. Tapi perempuan ini…

“Kenalin! Ini Tiyas. Tetangga sebelah rumah.”, kata Alfin mencoba mencairkan suasana. Dengan ragu Murni menerima uluran tangan perempuan di depannya.

“Sebelah mana, ya? Kok, aku gak pernah lihat!”, tanya Murni meragukan.

“Mama Tiyas kerja di luar kota, Ma. Jadi, jarang di rumah.”, sahut Farhan. Ucapan Farhan membuat mereka bertiga terkejut.

“Mama Tiyas.”, Murni mengulang perkataan Farhan.

“Iya, Ma. Ayah bilang Farhan mau punya dua mama. Kalo mama kerja, Mama Tiyas akan nemenin Farhan di rumah.”, kata Farhan polos.

“Farhan! Ayo pulang!”, kata Murni meraih lengan Farhan.

“Tapi makannya belum selesai, Ma.”, kata Farhan sambil berdiri dari duduknya karena tarikan Murni.

“Besok kita ke sini lagi.”, jawab Murni pendek.

“Murni aku bisa jelasin semua!”, kata Alfin mencegah mereka.

“Tidak usah! Aku sudah tahu semua. Asal kau tahu aku menemukan foto ini di kemejamu.”, kata Murni sambil melempar beberapa lembar foto ke wajah Alfin. Beberapa pengunjung melihat ke arah mereka. Murni menyeret tangan Farhan keluar.

Malam itu adalah malam terakhir Farhan bertemu ayahnya. Wanita mana yang rela dimadu. Dengan dukungan ibu dan adiknya Murni mengajukan gugatan cerai pada suaminya. Toh, selama ini ia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Tapi bagaimana ia menjelaskan semua ini pada Farhan?

Beberapa kali Farhan menanyakan ayahnya pada Murni. Namun, mamanya selalu mengalihkan perhatiannya. Setiap kali Farhan menanyakan ayahnya, Murni mengajak farhan jalan-jalan dan menuruti semua yang dimintanya. Hingga suatu hari Murni mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal. Murni berpikir dengan begitu Farhan akan berhenti menanyakan Alfin. Namun, tidak selamanya Murni bisa berbohong.

*

Langit cerah meskipun halaman di luar masih basah karena hujan semalam. Farhan telah berpakaian rapi. Ia mengenakan pakaian adat yang telah disewa mamanya kemarin sore. Hari ini sekolah Farhan mengadakan pawai dalam rangka menyambut tahun baru hijriyah. Kegiatan itu diikuti dengan pemberian santunan pada siswa siswi yatim. Farhan yang merasa bahwa dirinya yatim memasuki ruang kelas tempat acara santunan diadakan bersama anak-anak yang lain. Setelah bershalawat dan berdoa bersama santunan dibagikan. Namun, Ustadzah Nur wali kelasnya menggandengnya keluar ruangan. Ustadzah Nur mengantar Farhan menemui Murni. Murni meminta maaf pada Ustadzah Nur.

“Ma, Farhan kok gak dapat santunan. Farhan kan gak punya ayah.”,tanyanya polos.

Seorang wanita di sebelah mereka nyeletuk, “Farhan kan masih punya ayah. Jadi, Farhan gak dapat santunan.”

“Ayah Farhan sudah meninggal, Te. Mama yang bilang.”, ucap Farhan. Wanita itu baru menyadari kalau Farhan tidak tahu perihal perceraian orangtuanya.

“Mari, Bu! Saya duluan.”, kata Murni menggandeng Farhan menjauhi wanita tersebut. Sementara itu Farhan masih protes pada mamanya karena tidak mendapat santunan.

“Sudahlah! Nanti mama belikan kue sendiri.”, kata Murni.

“Tapi mereka juga dapat uang saku, Ma!”, kata Farhan.

“Iya. Nanti juga mama kasih uang saku.”, kata mamanya.

“Bener, ya, Ma! Awas kalo bohong!”, ancam Farhan pada mamanya.

Murni belum menyadari bahwa menyembunyikan kebenaran tentang Alfin sangat mempengaruhi psikologis Farhan. Sejak saat itu Farhan menjadi pendiam dan mudah tersinggung.

*

Menjadi seorang single parent bukanlah hal yang mudah. Namun, hal itu tidak membuat Murni menyerah. Ia ingin menunjukkan pada mantan suaminya bahwa Farhan baik-baik saja. Karena itu, Murni melakukan apa saja agar Farhan dapat peringkat di kelasnya. Termasuk mengerjakan PR Farhan yang belum sempat dikerjakan. Murni juga mengharuskan Farhan mengambil les di rumah gurunya. Setiap ba’da maghrib Murni menemani Farhan les diantar oleh Iwan. Namun, malam itu Iwan tidak menjemput les karena ada selamatan di rumah tetangga. Jalanan mulai sepi. Tidak ada lagi angkot yang lewat. Tukang becak yang biasa mangkal di pertigaan pun tidak ada. Alhasil Murni dan Farhan harus jalan kaki lebih jauh lagi.

“Ayo, ma! Lelet amat!”, ucap Farhan ketus.

Murni berjalan terseok-seok mengikuti langkah anak semata wayangnya dengan membawa dua tas.

“Ma, cepetan!”, teriak Farhan melihat Murni tertinggal jauh di belakang.

“Bawa sendiri tasmu!”, kata Murni memberikan tas sekolah Farhan.

“Enak saja! Yang maksa Farhan les kan mama. Jadi, mama yang harus bawa!”, kata Farhan tidak peduli. Murni menghela nafas berat. Farhan sama sekali tidak menghormatinya.

“Om Iwan ke mana, sih! Kok, gak jemput!”, kata Farhan kesal.

“Om Iwan ada undangan selamatan di rumah Haji Sukri.”, jawab mamanya.

“Mama telfon donk. Barangkali sudah selesai. Jam segini sudah gak ada angkot.”, rengek Farhan.

Tiin… tiiinnn.

Murni dan Farhan menepi.

“Ayo, Naik!”, kata Iwan tiba-tiba ada di sebelah mereka.

Tanpa banyak bicara Murni dan Farhan naik motor Iwan.

Setiba di rumah.

“Dug… Dug…”, sepasang sandal Farhan melayang mengenai dinding terpental ke kolong kursi.

Tanpa cuci kaki dan gosok gigi dia pergi tidur.

*

Ambisi Murni agar Farhan mendapat peringkat kelas dengan menempuh segala hal ternyata menjadi bumerang. Farhan telah naik kelas 5 dengan nilai yang bagus. Ia meraih peringkat pertama. Untuk mendapatkan prestasi tersebut Murni menjanjikan sebuah laptop sebagai hadiah. Ia berniat meminjam uang koperasi. Namun, ia harus melunasi dulu pinjaman sebelumnya.

Suara adzan maghrib baru saja terdengar. Murni yang baru datang, merebahkan badannya di tempat tidur.

“Brak”

“Allahu akbar!”, teriak Murni terkejut. Ia tak mengira Farhan yang berbaring di sampingnya menghentakkan kakinya ke almari di sudut kamar.

“Ada apa Farhan?”, tanya Murni pada Farhan.

“Hhmmm, pura-pura kan?”, kata Farhan memasang muka tidak senang.

“Apa? Mama baru saja pulang kerja. Kalo kamu ndak ngomong, mana mama tahu.”, jawab Murni.

“Terus saja pura-pura! Dasar pembohong!”, ucap Farhan kasar kembali menghentakkan kakinya ke almari. Sejak mengetahui kebenaran tentang ayahnya Farhan mencap mamanya sebagai pembohong. Farhan melampiaskan dendamnya pada Murni. Setiap kali permintaannya tidak dituruti Farhan akan membanting apa pun disekitarnya.

“Allahu akbar!.”, kembali Murni berteriak.

“Keluaaarr!”, teriak Farhan. Ia mendorong Murni dengan kakinya.

“Astaghfirullah, Farhan…” teriaknya.

“Keluaaaarrrr!!”, sekali lagi Farhan berteriak keras sambil mendorong Murni dan membanting pintu kamar.

Murni terisak di depan pintu kamar. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Diambilnya air wudlu kemudian sholat maghrib dengan terisak. Setelah sholat Murni mengetuk pintu kamar.

“Farhan! Farhan! Bukakan pintu, sayang! Mama mau ambil baju.”, ucapnya merayu.

“Farhan… kamu belum sholat maghrib kan?”, ulang Murni.

“Braakkk … Braaakkk … Braakkk.”

Murni kembali tersentak. Spontan ia berkata, “Kamu selalu begitu. Kalau tidak dituruti selalu merusak. Ada saja yang kamu rusak. Harusnya kamu mengerti posisi mama. Mama itu cari uang sendiri. Berangkat pagi pulang sore setiap hari.”

“Diaaammmm. Braaak… Braaakk… Braaak….”

Tangis Murni pecah. Ia menggedor pintu kamar. Farhan semakin menjadi. Kakinya menendang almari dengan keras.

“Iya, iya, mama akan belikan laptop. Tapi tidak hari ini. Mama belum pegang uang.”, kata Murni akhirnya. Niatnya untuk mengulur waktu ternyata justru membuat Farhan marah besar.

“Gak percaya. Mama pasti bohong.”, teriak Farhan.

“Mama gak bohong.”, kata Murni berusaha meyakin Farhan.

“Tapi mama bilang, kalo gajian, mama belikan Farhan laptop. Sekarang sudah tanggal 27. Mama gak pikun kan?”, ucap Farhan kasar.

“Iya. Tapi gaji mama gak cukup. Mama harus pinjam koperasi.”, jawab Murni masih terisak.

Farhan akhirnya membuka pintu kamar dengan kasar.

“Awas kalo bohong. Dulu mama bilang ayah sudah meninggal. Kenyataannya ayah masih hidup. Mama itu pembohong.”, bisik Farhan pada Murni sebelum keluar kamar sambil menunjuk muka Murni. Murni mengelus dadanya. Almari di sudut kamar menganga memperlihatkan bajunya yang berantakan. Tidak ada pilihan lain kecuali segera memenuhi permintaan Farhan. (*/cerpenku/bua)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img