Pejuang gagah berani itu bernama Badjuri. Basis perlawanannya terhadap tentara Belanda di antaranya di Pakisaji Kabupaten Malang. Aksinya bertaruh nyawa. Selain mengangkat senjata, anggota laskar Hisbullah itu membawa warga bersembunyi ke tempat yang terlindungi.
======
MALANG POSCO MEDIA- Belanda enggan pulang. Masih ngotot bertahan di negeri ini walau Indonesia sudah merdeka. Belanda menduduki Desa Kebonagung Kecamatan Pakisaji. Salah satunya ingin mempertahan Pabrik Gula (PG) Kebonagung.
Demi mempertahankan PG Kebonagung, tentara Belanda melakukan operasi. Membunuh tentara atau masyarakat yang menolak keinginan tentara Belanda menduduki Pakisaji.
Sejak pagi hingga pagi ada saja pejuang Indonesia dan masyarakat yang dibunuh. Operasi keliling pun digalakkan di sekitar Kecamatan Pakisaji. Suasana mencekam.
Itu suasana sewaktu masa agresi militer Belanda I dan II. Sekitar tahun 1947-1948.
Badjuri melawan, bergerak. Ia membawa masyarakat desa berpindah-pindah. Mencari tempat yang lebih aman selama masa itu. Tak sedikit yang ketahuan melawan atau hendak masuk wilayah kekuasaan menjadi sasaran tembakan.
“Saya dan bapak saya, sudah membuat perlindungan, tempat persembunyian. Takut dari pesawat jatuhkan bom. Sempat tiga hari mengungsi ke Dusun Pendem di Jatisari Pakisaji, Badjuri juga memberi tahu kalau ada operasi patroli tentara Belanda,” cerita Karmudji saat ditemui di rumahnya.
Karmudji kini berusia 82 tahun. Ia mengetahui tentang sosok Badjuri walau saat kejadian usianya sekitar 6 tahun. Ia juga mendengar cerita dari ayah dan warga. Apalagi Karmudji pernah menjadi kepala Desa Pakisaji.
Badjuri, sambungnya, membawa warga desa yang menjadi target operasi ke sebuah hutan. Di hutan tersebut warga dikelompokkan ke sebuah pagar dan ditutupi tanaman. Ruang ruang kecil berdinding bambu menjadi persinggahan sementara.
Sedangkan Badjuri dan tentara Hisbullah lain selalu membawa bambu sebagai senjata. Ujung bambu runcing direndam ramuan cabai. “Tujuannya agar panas dan senjatanya ampuh,” kata Karmudji.
Badjuri pun selama aksinya tidak pernah diketahui tentara Belanda. Dia selama beroperasi tidak memakai seragam. Terkenal memakai kaos polos bewarna hitam. Sarung diselempangkan di kaosnya.
Posturnya tinggi besar. Mirip pria Timur Tengah. Badjuri digambarkan memiliki brewok dan bulu di dada. Sosok yang tangguh itu pandai menyamar. Juga membuat pengalihan hingga serangan gerilya malam hari.
“Selalu kalau mau menyerang dan menyamar pakai dedaunan di belakang badannya. Jadi tidak kelihatan,” sebut mantan Kades Pakisaji 1990 itu.
Badjuri juga diceritakan tak segan menghabisi pengkhianat yang menyebabkan korban lebih banyak dari warga Pakisaji. Sejak itu pengungsian berpindah hingga ke wilayah Desa Jenggolo di Kepanjen.
Diarahkan oleh Badjuri, Karmudji dan ayahnya menyeberang sungai. Karmudji duduk di atas bahu ayahnya. Ia masih ingat berada di pengungsian sekitar sepekan. Hingga suatu ketika kembali, namun terjadi operasi patroli Belanda yang tanpa diduga-duga.
Ayah Karmudji memilih memberi tahu semua warga untuk bersembunyi. Badjuri yang saat pagi biasa berjalan di pematang sawah harus berhadapan denga tentara Belanda.
Di situlah Karmudji melihat dengan mata kepalanya sendiri kematian Badjuri yang pemberani. Seorang tentara Belanda membawa rekan sekitar empat orang lengkap bersenjata api. 13 tembakan diarahkan ke tubuh Badjuri. Sang patriot itu tumbang, kehilangan nyawa. Lokasinya di Jalan Kauman yang saat ini berdiri masjid.
Kisah heroik Badjuri selalu ada dalam ingatan Karmudji. Rumah Karmudji sekitar 200 meter dari lokasi monumen Badjuri.
Sekitar tahun 1954 dibangunlah monumen berupa patung menyerupai Badjuri. Lokasinya di pertigaan Jalan Raya Pakisaji.
Badjuri kelahiran Pakisaji dimakamkan di belakang Masjid Besar Al-Ihsan. Kemudian dipindahkan ke TPU dekat Stasiun Pakisaji. “Iya keluarganya yang meminta untuk dimakamkan di TPU dekat Stasiun Pakisaji,” kata Karmudji.
Badjuri diketahui memperistri wanita bernama Marliyah. Dikaruniai dua anak. Kini namanya juga diabadikan menjadi nama jalan, yakni Jalan Pahlawan Badjuri. (tyo/van)