Joko Warsito Seniman Kota Batu Pelestari Kendang
Seniman alat musik tradisional asal Kota Batu Joko Warsito bertahan di tengah gempuran arus modernisasi. Meski bukan satu-satunya, pria asli Dusun Sekar Putih Desa Pendem Kecamatan Junrejo ini menjadi tujuan pemesanan alat musik tradisional. Khususnya kendang.
Puluhan kendang tersusun di ruang tamu rumahnya yang sempit sekitar 3 x 3 meter. Itu merupakan kendang yang siap dijual. Terdapat juga kendang milik para seniman dari berbagai daerah yang sedang Joko perbaiki.
“Bisa menjadi perajin kendang dan bisa dibilang satu-satunya di Kota Batu karena kakek dan ayah saya pemain kendang. Saya generasi ketiga perajin dan pemain kendang,” cerita Joko Kendang, sapaan akrabnya saat ditemui Malang Posco Media.
Joko membuat kendang sejak tahun 2004. Ia melakoninya dengan cara otodidak. Dia melakukannya karena dorongan atas kecintaan bermain kendang.
“Saat itu tidak langsung bisa. Butuh proses sekitar dua tahun baru bisa dan berani menjual produk dan memperbaiki kendang,” kata pria kelahiran 27 Maret 1983 ini.
Sebagai tukang sekaligus pemain kendang, siapapun yang ke rumahnya akan menemui beragam jenis alat dan bahan membuat kendang. Semuanya tergeletak di depan rumah maupun dalam rumah. Beberapa seperti kulit sapi dan kerbau, tata, palu hingga gergaji.
Joko menceritakan usaha membuat dan perbaiki kendang penuh liku-liku. Apalagi ia memulai dengan modal yang didapat dari kerja serabutan.
Hasil kerja mencari rumput dan bertani ditabungnya. Kemudian digunakan membeli alat-alat dan membuat kendang. Seiring berjalannya waktu, karyanya makin banyak.
Tak sedikit seniman yang cocok dengan kendang buatan Joko, pesanan mulai berdatangan. Begitu juga layanan perbaikan kendang pun mulai diterimanya.
Mula-mula hanya dari daerah Malang Raya. Kemudian pesanan datang dari berbagai daerah dan luar pulau.
“Karena dirasa kendang milik saya berkualitas. Bahkan saya juga ada garansi mulai banyak pesanan datang. Baik dari Malang Raya maupun yang dari luar pulau seperti Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera,” ungkapnya.
Harga kendang yang dibuatnya bervariasi. Mulai Rp 600 ribu sampai Rp 8 juta. Dalam sebulan Joko mampu membuat tiga hingga lima kendang. Sedangkan tarif memperbaiki kendang dibandrol Rp 1,7 juta hingga Rp 2 juta.
Tidak hanya membuat kendang, Joko juga tersohor di kalangan seniman kuda lumping atau jaran kepang. Itu karena ia pemilik sekaligus pendiri paguyuban jaranan bernama Turonggo Mulyo.
Paguyuban Turonggo Mulyo didirikan pada tahun 2006. “Saya dirikan Turunggo Mulyo sebagai upaya melestarikan kesenian kuda lumping. Di paguyuban ini ada sekitar 45 anggota. Saya juga koreografer dalam setiap pertunjukkan jaran kepang,” tutur ayah satu anak ini.
“Saya tidak lupa akan tujuan melestarikan budaya ini. Siapa pun yang datang ke sini dan belajar main kendang akan saya terima,” ujarnya.
Joko kini berharap dan berupaya ada penerus yang melestarikan salah satu seni budaya itu. Dia terbuka kepada siapapun yang ingin belajar.
“Karena itu bagi siapapun anak muda yang ingin belajar bermain kendang maupun kuda lumping, rumah saya sangat terbuka lebar. Saya juga tidak pungut imbalan atau gratis,” pungkasnya. (kerisdianto/van)