Oleh: Agus Harianto, M.Pd.
Kepala SMAN 1 Sumbermanjing
Semangat membangun bangsa dari reruntuhan kejayaan masa lalu menjadi sebuah pondasi yang sangat kokoh untuk meneruskan perjuangan sebagai bangsa dan negara yang besar. Kisah Singasari, Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram tidak bisa lenyap dan hangus dari histori perjalanan nusantara.
Kekuatan, kejayaan, kesentosaan kerajaan-kerajaan besar nusantara tempo dulu tentunya merupakan tonggak sejarah yang membuktikan betapa peradaban kita sebenarnya tidak kalah dan tertinggal dari negara lain di belahan bumi ini. Namun sebagaimana layaknya berita kejayaan tempo dulu, kejatuhan merupakan sebuah bentuk keniscayaan yang tidak bisa dihindari.
Demikian pula yang terjadi dengan nusantara pada tempo dulu. Sekarang semua kejayaan nusantara saat itu sudah menjadi sebuah legenda yang hanya bisa kita lihat melalui puing-puing sejarah di museum.
Kekuatan maritim kerajaan nusantara dengan beratus adat dan budayanya menjadi modal dasar yang kuat bagi bangsa kita untuk bangkit menjadi bangsa besar. Untuk itu diperlukan sebuah alat yang mampu mempersatukan semua perbedaan dan keberagaman tersebut.
Bahasa Indonesia adalah alat dan media pemersatu keberagaman tersebut. Bahasa Indonesia lahir sebagaimana ikrar pemuda pada 28 Oktober 1928, bahwa “Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Sebuah kalimat yang terbukti mampu menunjukkan bahwa betapa bahasa Indonesia mampu menjadi alat pemersatu di negeri ini.
Bertolak dari hal tersebut di atas maka sudah selayaknya jika kita harus mempunyai kepedulian untuk mengangkat derajat dan martabat bahasa Indonesia sebagai salah satu kebanggaan nasional. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia tentu saja secara tidak langsung akan mencerminkan kondisi budaya bangsa ini.
Kondisi dan karakter penutur bahasa nasional akan menjadi indikator keberhasilan peningkatan derajat dan martabat bangsa. Kemampuan bertutur sesuai dengan kaidah, kemampuan menyampaikan pesan komunikasi, kesantunan dalam bertutur sungguh akan sangat berdampak pada citra bahasa Indonesia sebagai wadah kebudayaan. Semakin bagus kemampuan bertutur suatu bangsa, semakin tampak kualitas, kompetensi, jati diri budaya, dan karakter luhur bangsa tersebut.
Oktober 2024 merupakan salah satu tonggak perjalanan bangsa ini. Tonggak sejarah yang harus semakin kita perkokoh dengan nilai-nilai budaya yang sarat dengan ajaran moral luhur. Sebagai negarawan, budayawan, akademikus, politikus, atau apa pun sudah selayaknya jika kita ikut andil baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperkokoh hal di atas.
Namun maraknya karnaval budaya dekade ini perlu menjadi bahan perenungan dan analisis serius. Apakah dampak negatif dan positif yang terjadi memiliki keseimbangan atau justru lebih banyak negatifnya? Tentu saja kita berharap dampak positif yang akan lebih menonjol dan mencuat memperkokoh kondisi bangsa ini menyongsong Indonesia Emas 2024.
Sudah barang tentu penguatan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menjadi filter budaya dan momentum penting dalam rangka memperingati bulan bahasa dan Sumpah Pemuda 2024.
Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si. bahwa bahasa merupakan unsur pokok dan pelopor utama perkembangan peradaban manusia. Dari pernyataan tersebut sungguh dapat kita asumsikan bahwa bahasa memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan hal ini maka sudah saatnya kita mulai berpikir secara serius untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran akan arti pentingnya berbahasa, bersastra, dan berbudaya yang sesuai dengan jati diri bangsa ini.
Diakui atau tidak saat ini telah mulai terjadi pergeseran nilai dalam pelaksanaan karnaval budaya. Tidak lagi mengutamakan tema-tema budaya, namun telah bergeser karena kepentingan lain yang kadang diikuti dengan hal-hal bernilai negatif dan bertentangan dengan jati diri bangsa ini.
Sementara itu Sudaryanto, M.Pd. menyampaikan bahwa banyak orang tua kurang menyadari bahwa kesantunan berbahasa merupakan bagian penting dalam proses pendidikan. Masih banyak yang berpandangan bahwa menguasai bahasa Inggris, bahasa Mandarin, atau bahasa asing lainnya lebih bergengsi daripada hanya belajar bahasa Indonesia atau bahasa daerah.
Kondisi ini diperkuat dengan kondisi bahwa lapangan pekerjaan lebih menjanjikan jika menguasai bahasa asing. Hal inilah yang harus diluruskan, menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar adalah wajib, sedangkan menguasai bahasa asing adalah baik.
Mengingat semua hal tersebut, sudah sepantasnya jika ada batasan-batasan yang jelas tentang bagaimana seharusnya etika berkomunikasi secara formal dalam lingkungan kedinasan dan nonkedinasan. Dengan kebijakan yang jelas dan terarah maka akan terbentuk pembiasaan baik sebagai contoh dan pelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat untuk ikut peduli dalam menjaga harkat dan martabat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Harapan yang tersirat adalah bahwa pada akhirnya pelan namun pasti akan terjadi perubahan yang signifikan terhadap sikap seluruh warga negara berkaitan dengan rasa bangga memiliki bahasa persatuan bahasa Indonesia.(*)