MALANG POSCO MEDIA – Para pakar bidang tata kelola irigasi air dan ketahanan pangan nasional, mengikuti workshop bertema “Tata Kelola Irigasi Bagi Penguatan Ketahanan Nasional” di lantai 7 Gedung C FISIP Universitas Brawijaya (UB), Kamis (19/10). Dalam workshop ini, mereka antusias mengungkapkan berbagai data penting yang mengejutkan, di antaranya ada 74 kabupaten dan kota di Indonesia yang mengalami rawan pangan. Termasuk di Jawa Timur (Jatim), untuk indeks kerawanan pangan nasional tergolong tinggi.
Selain itu, dalam workshop ini juga disampaikan data-data terkait penanganan krisis iklim, krisis air, dan krisis pangan. Kejutan-kejutan itu terungkap dalam paparan data yang dipresentasikan oleh para nara sumber.
Di antaranya adalah Sekjen Kementerian PUPR, Ir. Mohammad Zainal Fatah, Direktur Sumberdaya Air Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI, dan Ewin Sopian Winata, ST, MEM., Deputi II Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional Kementerian Pertanian RI, Dr. Drs Nyoto Suwignyo, MM, dan Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas RI, Jarot Indarto, ST, MT, M.Sc, Ph.D.
Workshop semakin seru, karena dua mantan rektor UB ikut “turun gunung” yakni Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito, dan Prof Dr. Ir. Moh. Bisri, MS.i. Selain itu, guru besar Sosiologi Prof Sanggar Kanto, MS.i juga antusias membongkar masalah krisis iklim, krisis air, dan krisis pangan.
“Berdasarkan indeks kerawanan pangan nasional, Jawa Timur tergolong tinggi, tingkat kerawanan pangannya mencapai 13,24 persen. Produktivitas lahan di Jatim juga rendah. Lebih besar konsumsi daripada produksinya, yaitu mencapai 89,54 persen. Kita harus segera bekerjasama untuk mengatasi kerawasan pangan di Jatim, teman-teman FISIP dan SDGs UB harus tampil di depan mengatasi masalah ini,” tegas Jarot kepada Malang Posco Media.
Karena itu, Jarot menawarkan beberapa model mengatasi kerawanan pangan, antara lain menggunakan strategi regionalisasi sistem pangan. Melakukan transformasi tata kelola irigasi, melakukan reformasi subsidi pupuk dan membuat satu data pangan nasional. Terlebih, ke depan subsidi pupuk menjadi prioritas bagi Gapoktan, bukan untuk korporasi.
Dalam workshop ini, peserta juga mendapatkan banyak data mengejutkan. Misalnya dari Prof Bisri. Berbekal keahliannya, mantan Rektor UB ini meminta peserta fokus memecahkan masalah irigasi dan krisis pangan di wilayah hilir. “Irigasi di wilayah hulu, tidak ada masalah. Di wilayah tengah, juga tidak ada masalah. Akar masalahnya justru di hilir. Saya minta kita semua fokus memecahkan masalah di hilir,” tegas pria asli Betek Kota Malang ini.
Akar masalah di hilir, sambungnya, antara lain terkait dengan macetnya pelembagaan himpunan petani pengguna air. Pengurus HIPPA perlu disegarkan, karena mereka bertahun-tahun tidak mau diganti. “Teman-teman di Sosiologi, perlu membuat desain penyelesaian masalah ini,” sarannya.
Menanggapi hal tersebut, Prof Sanggar Kanto memberikan penekanan pada tiga poin. Dia wanti-wanti, jangan terjadi lagi alih fungsi lahan produktif untuk kepentingan non pertanian seperti yang diperingatkan oleh Sekjen Kementerian PUPR, Ir Zainal Mohammad Zainal Fatah yang juga Ketua IKA UB terkait adanya rent seeker yang mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian marak di desa-desa.
“Saya minta agar modal sosial diperkuat. Misalnya, HIPPA perlu diperkuat melalui bounding, bridging, dan linking,” ujarnya.
Terhadap himbauan ini, Kades Kedungrejo Pakis Malang, Betri Indriati, Kades Sumberdem Kecamatan Wonosari, Purwati, dan Kades Sukodono, Dampit Malang, Suharto sepakat menjaga wilayahnya supaya tidak terjadi lagi alih fungsi lahan irigasi teknis. “Supaya ketahanan pangan berkelanjutan, maka harus ada komitmen terhadap ketahanan pangan,” sambung Prof Sanggar.
Terkait kedaulatan pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan Prof Yogi Sugito lebih tegas lagi memperingatkan agar jangan hanya ramai-ramai bicara capres dan cawapres saja
“Hentikan alih fungsi lahan di desa-desa sekarang juga. Saya prihatin karena pemerintah daerah jalan sendiri-sendiri. Saya minta yang di pusat, fokus mengatasi masalah lahan marginal kritis misalnya dengan melakukan gerakan diversifikasi pangan dan melestarikan sumber daya air di desa-desa,” paparnya.
Dalam acara yang dibuka oleh Wakil Rektor III UB Dr Setiawan Noerdajasakti SH, MH ini, Deputi II Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional Kementerian Pertanian RI, Dr. Drs Nyoto, Suwidnyo, MM juga mengeluarkan data mengejutkan. “Kita benar-benar mengalami krisis pangan, karena sekarang ini ada 74 kabupaten dan kota atau 14 persen mengalami rawan pangan,” paparnya.
Pernyataan Nyoto mengejutkan para audiens yang hadir dari unsur pemerintah, swasta, perguruan tinggi, LSM, dan media. Lebih mengejutkan lagi, ungkap Dr Muzakki MSi, Ketua SDGs Center UB yang menjadi fasilitator acara itu menggarisbawahi pernyataan dari Direktur Sumberdaya Air Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI, Ewin Sopian Winata, ST, MEM. “Dari 300 bendungan yang ada di negeri ini, hanya mengkover 12 persen saja di area irigasi. Gak bahaya tah….,” tuturnya disambut tawa peserta.
Akibatnya, terjadi defisit air. Padahal, 80 persen air irigasi tersebut untuk pertanian dalam rangka menjamin ketahanan pangan. Dalam kondisi seperti iitu, Nyoto prihatin karena para petani tidak bisa berbuat banyak mengatasi masalah ini. Sebab 16 juta orang merupakan petani bermodal kecil dan berpendidikan setingkat SD. Untuk mengatasi masalah ini, UB beserta seluruh pemangku kepentingan harus bekerjasama melakukan pendidikan, pemberdayaan, dan pendampingan kepada para petani di Indonesia
Peliknya lagi, dalam situasi krisis itu masyarakat kota terlalu konsumtif karena kita masih memproduksi 1/3 sampah sisa makanan. Di sini, terjadi kesenjangan nasional, karena jumlah konsumsi lebih banyak daripada jumlah produksi pangan. Akibat semua itu, maka terjadi kerawanan pangan.
“Untuk mengatasi itu, mari kita bergerak bersama untuk menukseskan program Badan Pangan Nasional yaitu stop boros pangan,” tutupnya. Acara ini mendukung tercapainya tujuan SDGs ke-1 (Tanpa kemiskinan), tujuan SDGs ke-2 (Tanpa kelaparan), tujuan SDGs ke-3 (Kehidupan sehat dan sejahtera), serta keseimbangan ekosistem darat dan lautan dalam rangka menghadap perubahan iklim global. (nug/bua)