KOTA yang berwajah sama atau homogen menjadi kecenderungan perkembangan ruang akhir-akhir ini. Perubahan ini salah satunya bisa dilihat dari fenomena kepariwisataan yang ditentukan oleh gaya hidup masyarakat digital. Hal sederhana bahwa perilaku wisata hari ini dideterminasi media sosial. Kondisi ini yang setidak-tidaknya penulis amati tentang wisatawan dan kota-kota di dunia.
Ketika berwisata atau menyusuri penjual souvenir dan oleh-oleh di kawasan wisata Melaka atau Bugis Junction, Singapura, penulis lihat dan rasakan seperti jalan-jalan wisata di trotoar di Jalan Dagen Kawasan Malioboro Kota Yogyakarta. Kesan yang penulis tangkap yaitu jalanan ini tidak lebih merupakan jajaran pertokoan cendera mata dan kuliner.
Sama halnya pada saat kita berwisata ke Kawasan Patung Merlion, Singapura, kita pun bisa menemukan lokasi semacam ini di Pahlawan Street Corner (PSC) di Madiun Jawa Timur. Memang, tidak sama persis, tetapi Pemerintah Kota juga mencita-citakan kawasan ini sama.
Pemandangan yang sama jika wisatawan berbelanja di kawasan Genting, Kuala Lumpur. Di salah satu wilayah kawasan itu, ada pertokoan menawarkan pakaian-pakaian branding. Penyajian (display) semacam ini sejatinya bisa kita temukan di Mall Tunjungan Plaza, Surabaya. Pada saat memasuki UNIQLO di Tunjungan Plaza sama halnya Anda memasuki UNIQLO di Genting atau bahkan di UNIQLO manapun.
Ketika penulis berkunjung di kawasan Sungai Wang, Kuala Lumpur, Malaysia, Bukit Bintang penulis pun melihat keramain yang sama di Sibuya Crossing, Tokyo, Jepang. Pertunjukan musik dan keramaian menjadi kesamaan daerah ini. Di Universal Studio, Singapura pun penulis menemui pemandangan sama di Musium Angkot, Kota Batu.
Di tanah air, fenomena kesaksian kota bisa kita saksikan di Kota Lama, Semarang, Malioboro, Yogyakarta dan bahkan kawasan Candi Borobudur terutama setelah setelah kawasan ini dibangun pintu gerbang, trotoar dan lampu-lampu sebagai konsekuensi proyek strategis nasional.
Wisata kuliner juga begitu. Coffe Store Starbuck tumbuh dimana-mana yang menawarkan standar sama se dunia. Di sebuah kota, di Bandara, di Mall menawarkan kemasan Starbuck seragam. Memang ini membantu konsumen mengonsumsi produk tanpa khawatir dengan kualitas beragam, namun yang terjadi hanya homogenitas bentuk tertentu.
Gambaran di atas merupakan bentuk homogenisasi yang didorong oleh kawasan wisata artifisial/ buatan. Para perencana dan pengelola kota memiliki selera sama dan ingin menciptakan kota-kota tiruan dari kota yang dirasa unggul, maka di sini lahirlah kota homogen.
Homogenisasi Wajah Kota
Perkembangan akhir-akhir ini, wajah kota mengalami homogenisasi. Seakan paduan suara, satu lingkungan buatan yang menarik kerumunan, niscaya dicontoh kota-kota yang lain. Para perencana dan pengelola kota meniru kota yang sebelumnya popular.
Konsekuensinya, ikon kota berada di titik yang sama. Pengejaran glamor menjadi tujuan yang miskin substansi. Hal ini dikarenakan homogenitas itu sejatinya melayani kerumunan di Era Digital.
Di era media sosial, perilaku wisatawan juga berubah. Wisatawan bukan lagi eksplorer, tetapi kerumunan yang mengejar panjat sosial. Wisatawan tidak butuh mengeksplor tempat-tempat unik yang melahirkan inspirasi atau menambah ilmu dan pengetahuan, kebutuhan mereka yaitu berfoto diri di lokasi wisata. Pengelola cukup memanjakan wisatawan dengan latar (back ground) lokasi yang apik.
Para perencana kota juga tidak memiliki kreativitas tinggi. Model pembangunan kota “ikut-ikutan” ini sebagai trend ke depan, kini semua kota diisi dengan lampu dan trotoar semacam Malioboro. Dulu kita menemui ini di Malioboro saja. Sekarang model semacam ini juga ditemui di kota-kota lain, di antaranya di Kota Lama Semarang, Kajoetangan Heritage Malang dan Kawasan Candi Borobudur.
Refleksi Sosial: Keunikan Kota
Sama dengan karya kebudayaan lain, perkotaan adalah karya umat manusia. Ia tidak hanya kumpulan bangunan fisik tanpa sentuhan manusia, tetapi kota merupakan pengejawantahan cita-cita, nilai-nilai dan harapan-harapan yang terlihat dari makna sosial atau simbol-simbol dalam bangunan-bangunan tersebut. Robert Ezra Park, sosiolog Amerika menyatakan bahwa struktur kota memiliki modifikasi dalam (1) struktur fisik (2) keteraturan (3) moral. Sudah seharusnya kota-kota baik sebagai kota produksi atau hunian menawarkan sensasi yang beragam. Siapapun yang berkunjung ke kota-kota tertentu menemukan sesuatu khas tiap kota. Karena satu wilayah tidak dengan wilayah yang lain.
Namun, kota mengalami uniformitas (uniformity), sebuah istilah sosiolog Amerika, George Ritzer sebagai masyarakat modern yang mengikuti waralaba dunia Mc donald. Menurutnya, homogenitas menjadi konsekuensi dari modernitas. Sebagian besar kehidupan sosial memasuki itu tidak terkecuali tata kota.
Seiring dengan pernyataan Ritzer, kini masyarakat dunia juga ditandai Disneisasi (disneyization) atau The Disneyization of Society.Tipologi ini mencontoh kerajaan bisnis disney. Proses mengkota menuju pada kesamaan wajah sudut-sudut kota. Bryman, Alan (2004) menyatakan proses ini didorong tema (theming), konsumsi hibrid (hybrid consumption), perdagangan (merchandizing) dan kerja emosional (emotional labour).
Homogenisasi kota bisa dianalisa dengan analisa substansial kota. Apa sejatinya, kota terbentuk dan dibentuk. Kota adalah perkembangan kreativitas manusia. Infrastruktur fisik, infrastruktur sosial, wajah, kebijakan, tata kelola kota merupakan produk peradaban manusia sepanjang zaman.
Sementara itu, peradaban adalah karya manusia sebagai makhluk unik yang memiliki banyak dimensi. Sosiolog kritis, Herbert Marcuse menyatakan bahwa manusia memiliki lebih dari satu dimensi. Bahkan, satu dimensi merupakan ketidaknormalan.
Jika hanya satu dimensi yang dikembangkan dan hanya menuruti pola konsumsi, maka homogenisasi menjadi permasalahan masyarakat yang menumpulkan potensi manusia tersebut. Pengembangan potensi manusia di kota sangat penting, ia tidak hanya menjadi produsen kota itu, tetapi juga penikmat. Namun kesemua itu tidak steril, tetap saja ia harus berdialektika dengan kondisi material yang membuka ancaman dan dehumanisasi.
Masyarakat butuh mekanisme untuk mengontrol perkembangan kota agar benar-benar humanis. Strategi kebudayaan menemukan relevansinya di sini. Ia tidak saja dilakukan para pengelola kota, tapi turut mengundang kontrol masyarakat sipil dan warga bermukim.(*)