Oleh : drh. Puguh Wiji Pamungkas, MM
Jelang pesta demokrasi pemilu 14 Februari 2024 yang sudah tidak lama lagi ini, menjadi sebuah momentum yang dinanti banyak masyarakat. Terlebih bagi para partai politik yang ikut dalam kontestasi pemilu tersebut, momentum ini benar-benar menjadi agenda penting dalam meraih simpati dan dukungan dari masyarakat untuk mendudukan kader-kadernya di parlemen, baik di level kabupaten/kota, provinsi, pusat atau presiden sekalipun.
Salah satu hal yang melekat jelang pesat demokrasi seperti sekarang ini adalah keberadaan “Alat Peraga Kampanye” (APK) yang menjamur dengan subur disetiap sudut-sudut kota, pinggir jalan dan hampir semua tempat yang ada.
Bagi mayoritas Calon anggota legislatif (CALEG) dan kontestan lainnya, alat peraga kampanye baliho merupakan “tools” primadona yang diproduksi sebagai media sosialisasi kepada masyarakat. Kita menyaksikan betapa banyaknya baliho dari para kandidat yang terpasang disepanjang jalan, disudut-sudut kota, di bilboard-bilboard raksasa dengan berbagaimacam corak dan warnanya. Terlebih sejak sistem pemilu memakai model proporsional terbuka dimana masing-masing Caleg memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai anggota parlemen, mereka semakin berlomba-lomba dan masif untuk memasang alat peraga kampanye berupa baliho.
Dalam algoritma pemilih, setidaknya ada lima tahapan bagi masyarakat untuk sampai pada tahap memutuskan memilih atau merekomendasikan seorang kandidat agar dipilih. Hal ini sangat dipengaruhi sekali oleh polarisasi behaviour yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Polarisasi yang disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup, polarisasi pasar yang memunculkan kelas ekonomi bawah, menengah dan atas, polarisasi pekerjaan yang menyebabkan seseorang memiliki pemahaman berbeda terhadap permasalahan politik, polarisasi ideologi yang mengubah peta kelompok konservatif, liberal dan sekuler.
Polarisasi tersebut mau tidak mau telah mengubah cara pandang masyarakat calon pemilih terhadap seorang kandidat yang ikut dalam kontestasi pemilihan umum, terlebih dengan adanya era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, “bergaining power of voters” semakin kuat, menuntut para kandidat untuk memiliki strategi terbaik untuk hasil yang maksimal dalam pemilu.
Lima tahapan dalam konteks algoritma “voters” itu diantaranya ; Pertama, Aware. Tahapan ini merupakan tahap awal masyarakat sadar bahwa ada kandidat yang bertarung dalam pemilu, kesadaran ini bisa datang dari karena melihat baliho, iklan di radio, iklan di sosial media ataupun yang lainnya.
Kedua, Appeal. Pada tahapan ini masyarakat mulai memproses pesan yang disampaikan dalam berbagai media iklan yang dilakukan oleh para kandidat. Tahapan ini bisa di inisiasi karena gagasan-gagasan yang disampaikan oleh para kandidat, bisa juga karena konten-konten kampanyenya yang menarik. Masyarakat mulai menyediakan ruang dalam fikirannya untuk mempelajari apa yang disampaikan oleh kandidat serta mempelajari apa isi gagasannya.
Ketiga, Ask. Masyarakat mulai memvalidasi tentang personal branding dan sosial branding sang kandidat, baliho yang dipasang, iklan yang di tayangkan dan gagasan-gagasan yang disuarakan akan divalidasi lebih lanjut oleh masyarakat calon “voters” dengan mempelajari, mendalami dan mengkonfirmasi terkait profil sang kandidat.
Keempat, Act. Ketika terjadi kecocokan antara informasi yang didapat masyarakat calon pemilih dengan personal branding dan sosial branding yang mereka dapat ketika berinteraksi dengan para kandidat, maka masyarakat calon pemilihpun akhirnya akan memutuskan untuk menyatakan dukungan dan memilih sang kandidat.
Kelima, Advocate. Tahapan ini merupakan level tertinggi dalam algoritma masyarakat calon pemilih dalam memberikan dukungannya kepada seorang kandidat. Proses perjalanan sang kandidat dalam melakukan kampanye tentu akan melewati serangkaian proses validasi yang akan dilakukan oleh calon voters. Ketika masyarakat calon pemilih ini mengalami “experience” dalam berinteraksi, menerima gagasan, implementasi dilapangan dan keberpihakannya kepada masyarakat terbukti dan dirasakan oleh masyarakat, maka para calon voters tadi tidak akan segan-segan untuk melakukan advokasi. Mereka akan turut membantu mereferalkan dan mengkampanyekan kandidat tersebut untuk di pilih masyarakat secara luas.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024. Jumlahnya mencapai 204.807.222 pemilih. Sebanyak 66.822.389 atau 33,60% pemilih dari generasi milenial, Sedangkan pemilih dari generasi Z adalah sebanyak 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85%. Jika diakumulasikan, total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta pemilih. Kedua generasi ini mendominasi pemilih Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45% dari total keseluruhan pemilih.
Dari data ini psikologi mayoritas “voters” di Indonesia pada pemilu 2024 kali ini sudah bisa di tebak, jumlahnya yang di dominasi oleh gen-Z dan milenial tentu akan mengubah pola pemilu, termasuk polarisasi behaviour yang terjadi akan mengubah peta para calon voters ini dalam menentukan pilihannya.
Generasi yang akrab disebut sebagai pribumi digital (native digital) ini tentu akan melakukan lima tahapan algoritma pemilu diatas dengan pendekatan sesuai karakterisitik dan kecenderungan habbit yang mereka miliki.
Baliho yang hari ini menjamur memadati ruang-ruang di Kota Malang, hanya akan efektif jika lima algotirma diatas terpenuhi, jika ruang berfikir dan sudut pandang generasi native digital yang hari ini jumlahnya memadati terkonfirmasi dan tervalidasi.