Malang Posco Media – Tak jarang ulah para pemengaruh (influencer) di media sosial (medsos) jadi tren. Tak sedikit pula orang ikut-ikutan meniru apa yang ngetren itu. Pokoknya sesuatu yang viral dan menjadi perbincangan publik kecenderungannya banyak ditiru. Apakah itu tren terkait dengan penampilan diri, gaya hidup, dan perilaku tertentu. Lewat beragam platform medsos aneka tren itu sengaja diciptakan agar diikuti banyak orang. Inilah yang dinamakan bandwagon effect yakni fenomena ikut-ikutan yang lagi tren.
Sesuatu yang bisa jadi tren dapat berupa apa saja. Bisa model pakaian, potongan rambut, cara berdandan, penggunaan bahasa atau kata-kata tertentu, hingga perilaku tertentu yang kadang aneh dan nyleneh. Lewat sejumlah pemengaruh medsos biasanya sejumlah tren baru itu berawal. Melalui para figur publik medsos yang punya banyak pengikut, sejumlah tren baru itu disuntikkan kepada para penggemarnya.
Banyak orang berusaha mengikuti tren agar dibilang gaul, update, dan tak ketinggalan zaman. Kadang tak peduli mereka mengikuti tren itu pantas atau tidak. Bahkan tak sedikit orang mengikuti tren tanpa berpikir bahaya dan kerugian yang bisa dialami ketika mereka mengikuti tren itu. Banyak di antara pemburu tren berkeyakinan bahwa kalau para pemengaruh itu bisa melakukan maka mereka juga bisa dan pantas meniru.
Bandwagon Effect
Menurut sejumlah sumber, istilah bandwagon effect muncul pada awal abad ke-19. Istilah ini digunakan pada awalnya untuk menjelaskan fenomena ikut-ikutan yang terjadi dalam pemilihan politik di Amerika. Dalam perkembangannya, bandwagon effect tak hanya berlaku untuk fenomena politik, tetapi juga untuk fenomena lain seperti tren fashion, beauty, tourism, hingga perilaku seseorang.
Bandwagon effect merupakan kecenderungan untuk mengikuti tren yang lagi viral. Fenomena ini marak terutama lewat medsos. Melalui beragam platform medsos orang-orang cenderung tertarik mengikuti hal apapun yang sedang menjadi tren. Melalui Instagram misalnya, ketika sebuah tantangan (challenge) tertentuviral biasanya sering membuat warganet tertarik untuk mengikuti tren tersebut.
Dalam kaitan ini semakin banyak orang yang mengadopsi mode atau tren tertentu maka akan semakin besar pula kemungkinan orang lain untuk ikut-ikutan. Apalagi sejumlah influencer menyampaikan sejumlah testimoni yang sangat menyakinkan banyak orang agar mengikuti sebuah tren tersebut.
Seperti munculnya tren meniru ulah beberapa orang yang disebut crazy rich. Melalui platform medsos para crazy rich itu memamerkan kekayaannya dengan tujuan agar orang lain tergiur dan meniru seperti yang mereka punya.
Pameran kekayaan itu selanjutnya banyak yang mengikuti. Jadilah tren pamer kekayaan bermunculan di medsos. Ternyata tak semua orang yang disebut crazy rich itu benar-benar rich (kaya). Banyak crazy rich yang tipu-tipu. Kekayaan yang ditampilkan tak asli. Sejatinya mereka bukanlah orang-orang yang benar-benar kaya. Semua hanya kaya palsu guna menjalankan aksi tertentu. Aksi para crazy rich dengan pamer kekayaan telah ditiru banyak orang hingga bermunculan beberapa crazy rich baru.
Ulah Pemengaruh
Cara menjadi kaya secara kilat itu kini menjadi tren di kalangan sejumlah orang. Hal ini terjadi tak lepas dari penetrasi medsos yang super kuat. Melalui sejumlah akun medsos sejumlah pemengaruh (influencer) itu meyakinkan orang lain bahwa mereka bisa kaya mendadak dengan mengikuti bisnis investasi yang ditawarkannya. Iming-iming dapat cuan dengan cara instan itu menjadikan banyak orang berangan-angan bisa cepat melipatgandakan uangnya dengan jumlah berlimpah dalam waktu singkat.
Situasi pandemi Covid-19 semakin membuat banyak orang inginnya yang instan dan gampang. Di saat situasi sulit mencari uang, para pemengaruh itu tampil meyakinkan dengan iming-iming beragam kemudahan agar cepat menjadi tajir. Bujuk rayu para figur panutan di medsos itu akhirnya viral dan diikuti oleh banyak orang. Maka dalam sekejap ulah pamer kekayaan dan ikut investasi bodong itu jadi tren.
Dalam lingkup pergaulan, tak jarang ulah para pemengaruh itu menjadi rujukan. Ketika teman-teman dekat, sahabat, kelompok, atau komunitas ikut tren tertentu, kecenderungannya anggota kelompok yang lain juga ikut. Adanya tekanan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar dapat memicu seseorang terjerat budaya ikut-ikutan atau bandwagon effect. Tren yang sedang ramai diperbincangkan banyak orang juga bisa membuat seseorang latah untuk mengikuti tren tersebut demi meraih popularitas di medsos.
Faktor Fear of Missing Out (FoMO)juga ikut mempengaruhi. Fenomena social anxiety yang disebut dengan FoMO ini dapat menyebabkan seseorang merasa kurang gaul kalau belum ikutan apa yang lagi tren di medsos. Akibatnya, banyak orang yang latah dan tak mempertimbangkan dengan bijak atas perilaku ikut-ikutan yang dilakukan. Tak sedikit orang yang anut grubyuk tanpa punya pendirian.
Sesungguhnya tak semua bandwagon effect itu untuk sesuatu yang buruk atau negatif. Banyak perilaku positif seperti maraknya gerakan ikut berdonasi dan membantu sesama merupakan contoh aktivitas bandwagon effect yang positif. Beragam kampanye positif tentang banyak hal bisa menjadi tren bagus yang layak diikuti banyak orang. Peran para pemengaruh dalam menyampaikan pesan-pesan positif agar menjadi tren sesungguhnya sangat penting.
Mengikuti suatu tren sebenarnya merupakan hal yang umum dilakukan oleh manusia. Tapi, bandwagon effect bisa merugikan jika kita tidak selektif dalam mengikuti tren tersebut. Bandwagon effect biasanya tidak memberi dampak serius jika aspek yang dipengaruhi berupa mode, musik, ataupun budaya. Namun, apabila tren yang muncul berkaitan dengan masalah kesehatan atau kejahatan digital maka ikut-ikutan itu dapat menyebabkan konsekuensi serius.
Perlu selalu diingat bahwa apa yang ada di medsos tak selamanya serupa dengan yang ada di dunia nyata. Untuk itu, apa yang jadi tren di medsos sejatinya tak serta merta cocok diaplikasikan di dunia nyata secara aman. Kemampuan memilih dan memilah dengan cermat terhadap semua yang jadi tren perlu dilakukan. Waspadalah, karena tak semua yang viral dan ngetren itu layak untuk diikuti. (*)