Malang Posco Media – Tak sekadar membuat film, Arief Akhmad Yani mendirikan Indonesian Film Community Network (IFCN). Pria asal Kota Malang ini menggandeng para insan perfilman berbasis komunitas. Tujuannya agar seluruh film maker maju bersama.
Banyak film bagus yang diproduksi film maker berbasis komunitas. Tapi kadang mereka tak bisa memasarkan. Itu karena berbagai kendala.
“Melalui IFCN inilah kami membuat jejaring. Sehingga karya-karya terbaik teman-teman dapat dilihat banyak orang. Dan mereka juga dapat memperbaiki kualitas filmnya,” kata Yani, sapaan akrab Arief Akhmad Yani.
Apalagi menurut dia IFCN dibentuk sebagai penghubung antara komunitas film dengan rumah produksi. Juga pemerintah untuk bekerjasama.
“Contohnya ada PH dari Jakarta mengerjakan proyek di salah satu daerah. Mereka menggubungi kami, karena butuh patner di daerah untuk mengerjakan proyek tersebut. Kami (IFCN) merekomendasikan komunitas film yang ada di daerah tersebut,” katanya.
Dengan kerja bersama inilah diharapkan para komunitas film banyak belajar. Sehingga menghasilkan kualitas film yang lebih baik kedepannya.
Dia bersyukur karena sejak IFCN didirikan tahun 2020 hingga kini semuanya berjalan cukup lancar. Bahkan banyak komunitas film di berbagai daerah diajak bekerjasama. Mulai dari pemerintah maupun rumah produksi besar kenamaan.
“Kalau dengan pemerintah biasanya mereka (komunitas film) diminta membuat proyek sesuai dengan temanya. Seperti beberapa waktu lalu kami dihubungi Kemendikbud membuat proyek di daerah, langsung kami hubungkan dengan komunitas di daerah tersebut,” ungkapnya.
Sekalipun sudah banyak berjasa untuk komunitas film, tapi alumni SMA Islam Malang ini mengaku lembaga yang didirikannya tidak menarik keuntungan apapun. Karena prinsipnya menghubungkan sekaligus membantu komunitas film di daerah agar maju. Tentu bisa menghasilkan karya-karya terbaik.
Lantaran itulah Yani pun kerap kali dipanggil sebagai bapak film Indi Indonesia. Itu karena perjuangannya memajukan film produksi komunitas di daerah sangat kuat.
“Prinsipnya kami ingin para pelaku film di daerah tidak putus asa. Dan terus berkarya untuk menghasilkan film-film terbaik,” ungkapnya.
Yani mulai terjun di dunia perfilman sejak tahun 2004. Saat itu dia masih kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Dia tergabung sebagai anggota Kine Club UMM.
Menurut pria kelahiran 12 September 1979 ini belajar perfilman menarik. Sebab menyangkut banyak aspek. “Berbicara film itu tidak sekadar ide cerita yang divisualkan. Tapi dalam film semuanya berkaitan. Mulai dari pemeran, lokasi, cahaya, kostum dan masih banyak lagi. Inilah yang saya suka dan tertarik untuk terus belajar,” kata Yani.
Dia kian semangat belajar setelah mengikuti workshop Feet Tit’s dengan sutradara senior Arya Kusuma Dewa. Di situ ia banyak belajar tentang film.
Bersama teman-temannya alumni SMPN 5 Malang membuat banyak karya film pendek.
Namun demikian membuat film yang cukup ribet tersebut ternyata hanya mampu memuaskan dirinya sendiri. Karena film pendeknya hanya ditonton beberapa orang saja.
Dari situlah Yani bersama teman-temannya mendirikan komunitas film Lebtera Mata (Lentera Sinema Mandiri Malang Kota) Malang tahun 2006 lalu. Melalui komunitas ini, dia menampung karya-karya film dari komunitas film untuk ditayangkan keliling.
“Kami keliling dari kampus ke kampus untuk menayangkan film karya teman-teman komunitas. Itu tahun 2006 sampai sekarang,” katanya.
Karena kegigihannya untuk mengenalkan film kepada masyarakat, namaya pun dikenal. Tidak hanya di Malang tapi juga daerah lainnya. Sejumlah kalangan menggandengnya menggelar festival film.
Salah satunya dia diajak kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuat festival film tahun 2013 lalu. “Saya sebagai pelaksana program saat itu. Alhamdulillah semua kegiatan berjalan lancar,” ungkapnya.
Bukan itu saja, Yani juga dipercaya mengelola Community Forum JAFF (Jogja Netpac Asian Film Festival) sejak tahun 2012 sampai sekarang.
Untuk dunia perfilman Yani tak mau setengah-setengah. Terlebih saat dia terlibat dalam produksi film. Harus all out. Salah satu karya yang dia terlibat dalam produksinya film berjudul Ziarah. Di film yang diproduksi rumah produksi Purbanegara Film, Lotus Cinema dan Hide Project Film dengan sutradara BW Purba Negara ini, Yani didapuk sebagai penata artistik. Dia pun berusaha yang terbaik untuk pembuatan film bertema sejarah ini.
Hasilnya pun memuaskan. Film tersebut mendapat apresiasi sebagai Best Asian Feature Award Salamindanaw Film Festival Philipina tahun 2016.
Selain film Ziarah, apresiasi juga didapat Yani melalui film berjudul Betina. Dimana di film itu, Yani juga terlibat langsung dalam produksi. Dia didapuk menjadi penata artistik. Film indi ini diputar di 20 universitas di seluruh Indonesia dan menjadi film layar lebar.
Selain terlibat langsung dalam produksi film, Yani beberapa kali mendapatkan tugas lain. Yakni sebagai pemeran dalam film produksinya. Di antaranya film berjudul 9 Summer 10 Autumns tahun 2013. Di film ini sebagai pemeran pembantu. Selain itu Balik Jakarta tahun 2017 juga sebagai pemeran pembantu, Darah Biru Arema sebagai pemeran pembantu, Mbah Gede dan film berjudul Rice Coocker.
Selama mengenal dunia perfilman dia cukup banyak terlibat dalam pembuatan film. Tidak terkecuali film layar lebar. Sedikitnya ada lima film layar lebar. Juga terlibat dalam produksi lebih dari 10 film pendek.
Yani berharap apa yang dilakukannya memberikan manfaat bagi banyak kalangan. Terutama dunia perfilman agar terus maju. (ira ravika/van)