Salah satu warisan budaya yang diakui oleh Unesco, batik merupakan bentuk kekayaan budaya dari bangsa Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan Unesco, Batik merupakan warisan budaya tak benda yang terbentuk dengan mengukir lilin malam pada sebuah kain dengan menggunakan alat yang disebut canting.
Hampir seluruh wilayah di Indonesia, khususnya pulau Jawa memiliki karakteristik dan corak tersendiri dari batik-batik tersebut. Kota Malang juga memiliki batik dengan corak khasnya tersendiri. Salah satunya Batik Blimbing Malang.
Usaha ini berawal dari pelatihan yang diselenggarakan di PKK pada tahun 2009 silam. Wiwik Niarti, owner dari Batik Blimbing Malang yang saat itu juga menjadi anggota PKK mencoba untuk memulai usaha batik secara mandiri.
“Kami melihat di Kota Malang, potensi batik cukup bagus. Karena pesaing dan pengrajinnya masih sedikit. Jadi kami memiliki inisiatif untuk memulai usaha ini secara mandiri. Maka tercetuslah produk Batik Blimbing Malang di tahun 2011, dengan tetap membawa kelurahan Blimbing sebagai nama batik kami,” ungkap anak sekaligus pengelola dari Batik Blimbing Malang, Aulya Rishmawati.
Salah satu corak yang menjadi khas dari Kota Malang adalah corak Topeng Malangan. Itu menjadi simbol dari Kota Malang sendiri. Ia senantiasa mengangkat ikon-ikon yang ada di Kota Malang sebagai corak batiknya. Seperti patung tugu, kawasan Kayutangan Heritage, Masjid Jami’ dan masih banyak yang lainnya.
“Dari awal sampai sekarang intens mengangkat apa yang ada di Kota Malang. Di awal memang kami mengangkat corak Belimbing, karena lahir dari kelurahan Blimbing. Tetapi belum mendapatkan respon yang bagus dari para konsumen. Jadi coba kami cari motif apa yang menjadi khas dari Kota Malang. Salah satunya Topeng Malangan itu,” jelas perempuan yang akrab disapa Ima ini.
Hingga sekarang, ia bersama pembatik lainnya tetap mempertahankan dan melestarikan keaslian batik tulis sebagai salah satu produk unggulannya. Motif dekoratif kontemporer dengan warna-warna yang lebih kekinian menjadi salah satu hal yang membedakan batik miliknya dengan yang lain. Ima ingin mengenalkan kepada masyarakat luas bahwasanya yang dinamakan membatik itu menggunakan canting dan lilin malam. Karena banyak beredar di pasaran batik-batik printing yang sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai batik.
“Orang itu kan lihatnya batik itu murah, seperti yang beredar di pasaran. Padahal batik yang ada itu merupakan hasil printing. Sedangkan batik yang jadi warisan budaya menurut Unesco itu membatik dengan menggunakan canting dan juga lilin malam. Batik ini karya seni yang sangat luar biasa. Ini yang ingin saya lestarikan dan sebar luaskan kepada masyarakat untuk menambah wawasan,” imbuhnya.
Meskipun begitu, untuk memenuhi kebutuhan pasar, ia juga membuat batik cap sebagai salah satu cara untuk dapat mengantisipasi permintaan pasar. Karena membatik dengan cara tulis membutuhkan waktu yang cukup lama, mulai dari seminggu hingga satu bulan. Berbeda dengan batik cap yang bisa selesai dalam waktu satu sampai dengan dua hari.
Untuk batik tulis sendiri dibanderol dengan harga mulai dari Rp 500 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung dengan kerumitan serta ukuran dari kain yang digunakan. Sedangkan untuk batik cap, ia banderol mulai harga ratusan ribu rupiah. Batik produksi dari Batik Blimbing Malang banyak dijadikan sebagai souvenir dan oleh-oleh khas Kota Malang.
“Banyak yang menjadikan produk batik kami sebagai oleh-oleh, beberapa waktu lalu juga dari Pemkot (pemerintah kota) Malang minta dibuatkan batik dengan corak khas Malang. Jadi kami juga menerima permintaan desain khusus atau custom dari konsumen,” tuturnya.
Guna memperkenalkan Batik Malangan kepada masyarakat luas, Ima juga turut membuka kelas workshop bagi masyarakat umum maupun anak-anak sekolah. Banyak turis-turis dari mancanegara yang datang ke tempat produksi yang berada di Jalan Candi Jago Nomor 6, Blimbing, Malang untuk belajar membatik. (adm/nda)