Laskar Pangeran Diponegoro, Lawan Kolonialisme Juga Syiar Islam di Malang (1)
Namanya Mbah Hamimuddin. Dia dikenal sebagai Laskar Pangeran Diponegoro. Masuk ke Malang sekitar tahun 1830-1835. Lalu mendirikan pondok pesantren yang sangat terkenal.
=========
MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Pangeran Diponegoro gigih berjuang melawan penjajah Belanda di era tahun 1825-1830. Ia juga berjuang dan berperan besar dalam penyebaran Islam. Perang Diponegoro atau Perang Jawa berakhir dengan perundingan yang licik oleh pihak Belanda dengan pengasingan sang pangeran di Mataram.
Perang Jawa, salah satu perang besar yang terjadi untuk melawan penjajahan Belanda. Perang ini dipimpin Pangeran Diponegoro. Sejarah Perang Jawa atau dikenal juga dengan sebutan Perang Diponegoro bermula dari kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada 1808.
Disebut Perang Diponegoro karena perlawanan terhadap kolonialisme ini dipimpin Pangeran Diponegoro. Sementara sebutan Perang Jawa karena peristiwa ini terjadi di Tanah Jawa.
Perang Jawa berlangsung selama lima tahun. Mulai 1825 hingga 1830.
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pejuang sekaligus melakukan syiar Islam. Satu pesan Pangeran Diponegoro yang dipegang para laskarnya, “Dimanapun berada, syiarkan Agama Islam”.
Pesan itu diamalkan oleh salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro. Namanya Mbah Hamimuddin. Ia masuk Malang antara tahun 1830-1835. Itu setelah eks laskar pasukan Diponegoro tercerai berai. Tepatnya masuk Kecamatan Singosari, menetap di Bungkuk. Dari tahun inilah sejarah menceritakan masuknya Islam pertama kali di Malang.
Pesantren Bungkuk Singosari, atau yang bernama Pondok Pesantren Miftahul Falah Singosari, mungkin tidak setenar pondok-pondok modern yang besar di masa sekarang. Pondok ini berada di salah satu kampung di Kecamatan Singosari, sekitar 500 meter dari Lapangan Tumapel. Saat Malang Posco Media berkunjung kawasan pesantren tersebut terlihat lengang. Suasana sepi dan adem.
Tetapi masyarakat perlu tahu, inilah pondok yang melahirkan tokoh-tokoh besar dan ulama-ulama terkenal di Tanah Air. Dari pondok ini lahir santri-santri hebat yang mendirikan pondok-pondok pesantren yang jauh lebih besar dari Pondok Bungkuk sendiri.
Menurut salah satu cucu KH Mohammad Thohir yakni KH Moesif Nachrowi, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama (NU) sempat nyantri di Pondok Bungkuk. Meskipun masa dan waktunya belum diketahui secara pasti.
Dua Menteri Agama Republik Indonesia juga dilahirkan (alumni) dari pondok ini. Yaitu KH. Masykur menjadi Menteri Agama selama empat kali periode di era Presiden Soekarno. Dikenal juga sebagai Panglima Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah, dalam perjuangannya mengusir penjajah. Sehingga tahun 2019 dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
“Kedua adalah Prof Dr KH Tolchah Hasan, Menteri Agama di Kabinet Persatuan Nasional era Gus Dur. Yang juga menjadi sosok penting dalam pengembangan Yayasan Sabilillah Malang dan Universitas Islam Malang (Unisma),” ujarnya.
Kemasyhuran dan kharisma Pondok Bungkuk Singosari tidak lepas dari sosok legenda, dua tokoh kharismatik yang merintis dan mendirikan pesantren tersebut. Yakni Kiai Hamimuddin dan anak mantunya KH Mohammad Thohir.
Pada tahun 1830 saat Kiai Hamimuddin masuk ke Singosari, masyarakat belum memeluk Islam. Kawasan Singosari masih kental dengan budaya peninggalan Kerajaan Singhasari. Kiai Hamimuddin secara perlahan mengenalkan Islam. Pada awalnya mendirikan surau kecil atau musala pada tahun 1835. Dari musala itu, Sang Kiai menyampaikan nilai-nilai Islam Rahmatan Lil Alamin.
Kala itu di Singosari tergambar adanya perlakuan diskriminatif di tengah kehidupan masyarakat. Hadirnya Islam yang dibawa Kiai Hamimuddin memberi dampak yang luar biasa terhadap budaya dan kebiasaan hidup yang mengakar kuat.
Agama Islam yang mengajarkan kesetaraan. Tidak membeda-bedakan derajat manusia. Menjunjung tinggi toleransi, saling menghormati dan menghargai.
“Islam mengajarkan bahwa semua manusia itu sama. Yang membedakan derajat mereka di sisi Allah, hanyalah ketakwaannya. Spirit itu yang diajarkan oleh Kiai Hamimuddin,” terang KH Moensif Nachrowi.
Nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan keharmonisan yang diajarkan Islam, membuat masyarakat Singosari tertarik. Sedikit demi sedikit penduduk mulai belajar agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Apalagi metode dan cara Kiai Hamimuddin mengajarkan Islam tetap mengindahkan budaya dan kearifan lokal. Bukan dengan cara frontal.
Sehingga masyarakat semakin tertarik dan mulai banyak yang memeluk agama yang dirisalahkan kepada Nabi Muhammad SAW ini. “Saya kira beliau (Kiai Hamimuddin) sendiri tidak mengira ajaran Islam diterima begitu cepat oleh masyarakat,” katanya.
Meski demikian, lanjut Moensif, hingga saat ini belum ada survei yang menerangkan secara pasti dari mana titik mula Islam tersebar di bagian selatan Pulau Jawa. Hanya saja kalau di daerah Malang, hampir bisa dipastikan bermula dari Bungkuk.
“Daratan pantai utara lebih dulu tersentuh Syiar Islam, dari wilayah Aceh hingga diteruskan oleh para Wali Songo. Di bagian selatan baru masuk abad 18, sedangkan bagian utara Islam masuk mulai pada abad ke-16,” tuturnya.
Yang jelas, jasa-jasa dan pengabdian Kiai Hamimuddin dan KH Mohammad Thohir tidak akan lekang oleh waktu. Meskipun jasad keduanya telah terkubur di sebelah barat Masjid At-Thohiriyah, Masjid Pondok Pesantren Miftahul Falah atau Pondok Bungkuk. Di komplek pesarean itu juga dua Menteri Agama RI, KH. Masykur dan Prof. Dr. KH. Tolchah Hasan dimakamkan . Bersama keluarga Pondok Bungkuk yang lainnya. (hud/van/bersambung).