Sungguh tragis, kenapa tidak? Minggu pagi, 2 Oktober 2022 berbagai TV menyuguhkan berita pagi yang sangat mengagetkan “AREMA vs PERSEBAYA RUSUH, 127 Orang Tewas.” Versi berita di medsos malahan sudah menunjukkan angka yang lebih besar lagi yakni sekitar 153 orang tewas. Orang-orang yang tewas ini merupakan supporter Arema atau Aremania. Menurut berita dari salah satu TV Swasta nasional menyebutkan bahwa jumlah supporter Arema yang tewas bisa jadi bertambah mengingat banyak korban yang belum terindentifikasi.
Tragedi ini merupakan dampak dari kerusuhan yang dipicu oleh kekalahan tim Arema FC dari Persebaya, dengan skor 2-3. Pertandingan sepakbola antara Arema vs Persebaya ini merupakan rangkaian pertandingan Liga 1 BRI pekan ke sepuluh.
Kekalahan tim Arema dari Persebaya ini menimbulkan kekecewaan pada Aremania yang kemudian menyebabkan terjadinya peristiwa kerusuhan antara Aremania dan petugas keamanan. Sebenarnya pertandingan antara Arema vs Persebaya berjalan dengan lancar dan relatif “fair play.”
Aremania pernah mendapatkan penghargaan sebagai klub supporter terbaik di Indonesia. Dalam setiap pertandingan, khususnya saat pertandingan di kandang yakni di stadion Kanjuruhan, para supporter Arema secara umum menunjukkan perilaku yang relatif santun dan terkendali. Aremania dikelola dengan sangat baik sebagai klub supporter sepakbola modern. Para tim tamu yang datang bertanding di stadion Kanjuruhan pun merasa aman dan nyaman karena Aremania memberikan “social guarantee” (jaminan sosial).
Lalu mengapa terjadi kerusuhan yang menyebabkan tragedi memilukan ini? Maka untuk bisa memahami mengapa peristiwa ini terjadi, kita bisa mengkajinya dalam perspektif Psikologi Sosial. Dalam perspektif Psikologi Sosial paling tidak ada dua pendekatan teoritik yang bisa digunakan, yakni teori psikologi massa dan teori frustasi-agresif.
Teori Psikologi Massa
Menurut teori psikologi massa, ketika seorang individu menggabungkan diri dalam suatu massa (kerumunan) maka identitas pribadi individu tersebut melebur dalam identitas massa. Menurut Gustave le Bon, salah satu psikolog massa, menyatakan bahwa massa itu mempunyai sifat-sifat psikologi tersendiri.
Orang-orang yang bergabung dalam suatu massa akan berbuat sesuatu, yang perbuatan tersebut tidak akan dilakukan ketika individu tersebut di luar massa. Sehingga massa itu akan mempunyai daya melarutkan sifat-sifat individu ke dalam sifat massa, jiwa individu larut dalam jiwa massa.
Dalam suatu massa terdapat suatu collective mind (pikiran kolektif), adanya kesamaan (conformity) tidak saja hanya dalam pikiran, kepercayaan, perasaan (feeling), tetapi juga dalam perbuatan yang menampak (overt behaviour).
Selain itu suatu massa juga memiliki sifat-sifat antara lain, yaitu: Pertama, Impulsif, yakni bahwa suatu massa akan sangat mudah untuk memberikan respons terhadap rangsang atau stimulus yang diterimanya. Karena sifat impulsifnya ini, maka massa itu ingin bertindak cepat sebagai reaksi terhadap stimulus yang diterimanya.
Kedua, suatu massa memilki sifat emosional (mudah sekali tersinggung). Karena massa itu mudah sekali tersinggung, maka untuk membangkitkan daya gerak massa diperlukan stimuli yang dapat menyinggung perassan massa yang bersangkutan.
Ketiga, suatu masaa memiliki sifat Sugestibel. Ini berarti bahwa massa itu dapat mudah menerima sugesti dari luar, daya pikirnya cenderung tidak rasional. Oleh karena massa itu sifatnya sugestibel, maka suatu massa dapat melakukan tindakan yang tidak rasional, dan mudah terpancing oleh sentimen-sentimen tertentu.
Dan Keempat, dalam suatu massa ada yang disebut social facilitation (fasilitas sosial), yakni suatu kondisi yang dapat mendorong suatu penguatan aktivitas, yang disebabkan karena adanya aktivitas individu lain. Dalam arti lain bahwa dalam suatu massa terjadi kondisi dan situasi dimana perbuatan individu yang satu dapat merangsang perbuatan individu lainnya yang tergabung dalam massa itu.
Meminjam konsepnya Gabriel Tarde, seorang psikolog sosial, yang menyatakan bahwa dalam situasi massa maka mudah sekali terjadi perilaku imitasi (peniruan) antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya ketika seorang supporter melempar botol minuman ke lapangan, maka yang lainnya akan mudah sekali untuk menirunya.
Teori Frustasi-Agresif
Selain perspektif teori psikologi massa, untuk memahami mengapa terjadi kerusuhan di stadion Kanjuruhan Malang, dapat juga menggunakan kerangka berpkiri teori Frustasi-Agresif (Frustation-Aggression Hypothesis). Teori ini menyatakan bahwa frustrasi menyebabkan berbagai kecenderungan, yang salah satunya adalah kecenderungan agresi, dan agresi timbul karena adanya frustrasi. Apabila frustrasi meningkat, maka kecenderungan perilaku agresi pun akan meningkat.
Secara psikologis, agresifitas berarti kecenderungan ingin menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat. Perilaku agresif biasanya ditunjukkan untuk menyerang, menyakiti atau melawan orang lain, baik secara fisik maupun verbal. Hal itu bisa berbentuk pukulan, tendangan, dan perilaku fisik lainya, atau berbentuk cercaan, makian ejekan, bantahan dan semacamnya.
Dalam konteks ini, maka kerusuhan massa yang terjadi di stadion Kanjuruhan Malang dapat dikategorikan sebagai perilaku agresif massa, yang dipicu oleh suatu stimulus yakni adanya kekecewaan dari Aremania atas kekalahan tim kesayangannya Arema FC oleh Persebaya. Rasa kecewa bercampur dengan perasaan kesal dan marah kemudian memunculkan perilaku agresif berupa kerusuhan massa.
Kombinasi atas dua perspektif ini, yakni perspektif teori psikologi massa dan teori frustasi-agresi yang dapat memberikan pemahaman kepada kita mengapa terjadi kerusuhan massa pada supporter Aremania di stadion Kanjuruhan Malang tersebut.
Pendekatan Persuasif
Menghadapi situasi massa, memang harus dilakukan secara persuasif, himbauan, atau ajakan. Cara-cara emotif dan reaktif dalam menghadapi situasi massa justru hanya akan memancing dan menjadi stimulator bagi munculnya perilaku agresifitas. Intinya pendekatan massa harus humanis yang dapat membangkitkan dan memperkuat munculnya kesadaran individu menjadi penting untuk mengimbangi kuatnya kesadaran massa.
Ketika terjadi tanda-tanda meningkatnya suasana “panas” dalam situasi massa, maka peran influencer yakni tokoh signifikan dalam massa, menjadi penting untuk menurunkan tensi massa. Oleh karena itu, bisa dipahami jika respon dari pihak aparat keamanan melalui tindakan kekerasan dan penggunaan gas air mata, justru menjadi stimulator bagi munculnya tindakan agresif massa supporter Aremania. Mudah-mudahan tragedi Kanjuruhan Malang menjadi pelajaran bagi kita semua.(*)