Dimas masuk lima nominator yang terpilih menjalani voting. Hasil desainnya pun menjadi saah satu yang dijagokan untuk terpilih. Namun Dimas mengaku sebenarnya latar pendidikan desainnya relatif minim. Ia bahkan sempat tidak diterima saat mendaftar kuliah jurusan desain.
“Mulai suka gambar sejak SMA kelas 1, ya gambar-gambar biasa. Mulai edit foto terus ngulik sendiri di Photoshop, ya edit foto dan edit teks. Lalu baru tahu ketika mau lulus ada kuliah itu jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV),” katanya.
“Akhirnya masuknya di jurusan D3 Informatika Politeknik Malang,” sambung warga Singosari, Kabupaten Malang ini. Ia sempat tak diterima di jurusan DKV salah satu PTN di Malang.
Kendati mimpinya belajar desain grafis kandas, Dimas mengaku tidak masalah. Sebab jurusan Informatika dinilai relatif banyak menggunakan perangkat komputer.
Artinya di sela belajar ‘coding’ dan sebagainya seperti layaknya kuliah informatika, ia masih tetap bisa mengulik Photoshop, Illustrator ataupun Corel Draw.
Dimas kemudian melanjutkan pendidikan D4 di ITB jurusan Animasi pada tahun 2014. Dari yang awalnya sekadar suka menggambar, Dimas bisa lebih produktif membuat desain gambar.
Saat itu untuk masalah desain, sebenarnya ia belum mengetahui ilmu dasar desain grafis. “Bisa dibilang kalau saya kenal dunia desain ini ya otodidak. Saya belajar otodidak, sukanya ini, ya dipelajari. Waktu masuk D4 ternyata desain itu harus mempelajari anatomi dan lain- lain. Jadi ya sambil kuliah sambil belajar basic desain,” kenang Dimas.
Ketika kuliah animasi, dia sudah menerima orderan desain dari kawannya. Dimas ingat pertama kali yang dibuat adalah sebuah logo desain untuk produk kemasan.
Barulah ketika lulus kuliah dan bekerja di salah satu studio grafis, Dimas benar-benar bisa mengetahui desain grafis sepenuhnya. Ia pun juga mengenal jenis-jenis desain grafis seperti lettering atau typografi hingga kaligrafi.
Makin diasah ketika diterima kuliah lagi S2 Magister Desain di ITB. Dia kemudian freelance desainer dan juga sambil berkuliah.
“Saat itu benar-benar tahu konstruktif seni desain. Saya harus struggle mengejar ketertinggalan keilmuan desain,” kata dia.
Sederet pesanan desain berdatangan kepada Dimas. Ia pernah dipercaya membuat desain mural untuk Coworking Space milik Tempo di Jakarta. Lalu pesanan desain untuk cover novel buku hingga logo-logo kemasan produk. Ia bersyukur karena merasa karya desainnya sudah makin dikenal lebih luas.
“Pernah juga dipercaya membuat logo Karisma Event Nusantara dari Kemenparekraf. Dari luar negeri juga pernah beberapa kali, tapi fokusnya untuk desain lettering, untuk t-shirt dan merchandise. Mereka kontak lewat Instagram saya,” cerita Dimas.
Akan tetapi yang paling monumental dan berkesan ketika lolosnya karya logo IKN. Dimas harus bersaing dengan ratusan desainer. Karena saat itu ada 500 portofolio desain logo IKN.
Pembuatan logo IKN versi karyanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Yakni sekitar tiga tahun. Proses desainnya sangat sulit.
“Susahnya ya menerjemahkannya. Kalau tahu budayanya, tahu bagaimana kotanya, lebih mudah. Nah IKN ini kan dari nol. Desainnya juga tidak boleh condong ‘destination branding’ dan juga tidak boleh ke pemerintah banget. Harus bisa mengakomodir keduanya dan secara visual tidak boleh menjurus suku manapun,” beber dosen vokasi Universitas Brawijaya ini.
Dengan kata lain, proses desain logo IKN miliknya yang sulit adalah bagaimana menerjemahkan hingga nantinya menarasikan karya logonya. Menurut Dimas ini penting karena dari situlah justru pesan suatu desain lebih bisa diterima oleh masyarakat luas. Proses ini tidak mudah. Butuh serangkaian riset yang panjang, menghimpun informasi hingga mengaplikasikannya dalam sebuah gambar. Bahkan dalam desain yang simpel sekalipun, butuh riset yang panjang.
“Itu akhirnya penting. Semua orang bisa bikin desain bagus, tapi tidak semua bisa menceritakan desain dengan baik,” tegasnya.
Maka dari itu, Dimas mengaku hasil dari sayembara logo IKN nanti dia yakin merupakan yang terbaik. Ia sudah siap menang dan kalah.
“Sejujurnya saya tidak menganggap ini kompetisi. Karena saya menganggap sama-sama belajar. Dari 10 yang terpilih, memang semuanya dari studio yang sudah punya nama. Tapi saya ‘nothing to lose’ saja. Karena lolos lima besar itu saja saya sudah ngga menyangka. Siapapun yang terpilih, memang yang paling pas menjadi identitas visual logo IKN,” tutur Ketua Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI) chapter Malang ini.
Terlepas dari itu, Dimas begitu mengapresiasi konsep sayembara yang melibatkan partisipasi publik seperti yang dilakukan dalam sayembara logo IKN. Sebab hal ini diyakininya bahwa iklim dunia desain di Indonesia makin bergairah. Terutama juga di wilayah Malang Raya yang disebutkan Dimas punya segudang talenta desainer grafis yang potensial.
“Kota Malang potensinya banyak. Kita saja punya banyak kampus DKV, ada lima. Artinya demand-nya banyak. Studio desain juga banyak. Jadi iklimnya oke, tinggal hub (penghubungnya) saja yang perlu ditingkatkan sehingga makin kelihatan. Jadi pada akhirnya sumbangsih industri desain nanti supaya diperhitungkan nasional dan internasional,” yakinnya.
Dimas pun berharap makin banyak ruang ruang diskusi, pameran hingga studio-studio desain. Di daerah lain seperti Jakarta dan Bandung, hampir tiap seminggu atau dua minggu sekali diadakan ruang diskusi desain hingga pameran.
“Ini juga jadi PR kami di ADGI Malang untuk mulai bikin inisiasi ruang diskusi dan pameran. Sesama pelaku industri saling kenal akhirnya masyarakat makin tahu tentang dunia desain. Ini yang sedang kami siapkan. Bisa bikin event bareng, sehingga iklim bisa semakin ramai dan semarak,” tutupnya. (ian/van/mpm)