MALANG POSCO MEDIA – Dok ! dok! suara ketok palu dan tatah terdengar sejak memasuki pelataran dan teras rumah sederhana di Dusun Jetak Lor, Desa Mulyoagung Kecamatan Dau Kabupaten Malang, Selasa (6/6) kemarin.
Misenun sibuk dengan meja kerjanya di rumah tersebut. Pria berusia 66 tahun ini sesekali beristirahat. Begitulah kesehariannya sebagai pengrajin wayang di rumahnya itu.
Dia bukan lulusan sekolah seni. Juga bukan berasal dari sanggar-sanggar ternama di Kabupaten Malang. Modal Misenun tekun dan terus belajar secara otodidak.
Pria ramah ini juga terbuka terhadap siapa saja yang ingin tahu lebih dalam soal wayang. Baginya apa yang menjadi kemampuannya itu harus disalurkan ke siapa saja. Terutama generasi muda yang datang. “Ya,kalau tidak dipelajari nanti lupa budayanya,”ucapnya.
Misenun sejak kecil memang menyukai seni. Namun yang agak berbeda dulu waktu ia belia sangat tertarik dengan keunikan tokoh-tokoh wayang yang banyak ditemui di pertunjukan. Ia juga mendalami kesenian lain, baik oleh tubuh hingga suara. Ketika beranjak remaja misalnya, Misenun mengikuti berbagai kelompok ludruk dan ketoprak. Juga aktif di pencak silat.
Sosoknya yang mudah bergaul menjadikannya orang yang cukup dipercaya di lingkungannya sebagai anggota Karang Taruna. “Saat pergantian kepengurusan di Karang Taruna saya mengundurkan diri tidak jadi pengurus lagi. Tapi ternyata masih dimintai pendapat. Diajak terutama saat agenda-agenda kesenian,” ceritanya.
Padahal, kata Misenun, saat itu usianya 30 tahunan. Ia yang mengaku putus sekolah sejak kelas empat SD itu lalu sehari-hari membantu mencari nafkah dengan menjadi kernet beberapa jenis angkutan umum hingga usianya hampir paruh baya. Di usia itu rasa penasarannya untuk bisa membuat karya wayangnya sendiri menguat.
Misenun saat mencoba belajar dari membuat wayang menggunakan triplek. Terlebih setiap tahun terdapat gelaran kebudayaan dan kesenian di dusunnya. Ia mengambil kesempatan untuk memamerkan kebolehannya dengan karya wayang untuk keperluan pentas dan pajangan.
“Waktu awal belajar dengan triplek, ya dari wayang yang sudah sempat saya lihat dari kelompok dalang. Belajar bentuk-bentuknya lalu saya gambar, belajar sendiri,” katanya.
Kala itu rentang waktu tahun 1984 – 1987, gelaran kebudayaan setiap Agustus menjadi agenda rutin. Karyanya menjadi favorit banyak kalangan untuk dibeli dan dikoleksi atau sekadar jadi mainan anak. Ia lalu mencoba belajar membuat dengan kulit ternak seperti pakem wayang kulit yang seharusnya.
“Saya dapat bahan dari pengrajin terbang (rebana) yang di Tunggulwulung Kota Malang. Sampai sekarang saya beli di tempat pengrajin,” katanya.
Namun semula yang ia beli adalah kulit basah. Tidak terproses dengan baik seperti pada umumnya. Harus menjemur dan mengerok kulit kambing sendiri untuk dijadikan wayang. Hasilnya tentu tak sebagus proses yang dilalui dari pengrajin terbang.
“Karena waktu itu lebih murah beli kulit basah. Lama kelamaan saya beli yang setelah proses bersih dari pengerokan sampai samak (proses pembersihan total),” tuturnya.
Pria kelahiran tahun 1957 itu mendapatkan gambaran dari wayang-wayang yang ia pinjam di beberapa kalangan dalang dan kelompok wayang di Malang Raya. Tak jarang harus menempuh perjalanan jauh untuk mengetahui dan meminjam karya wayang asal berbagai daerah. Di Malang misalnya bisa temukan di Pagak dan beberapa wilayah Malang Selatan.
Detail wayang dari karya orang lain ia jadikan contoh untuk memahami pakem pembuatannya. Dan cara-cara terbaik menghasilkan wayang yang berkualitas.
“Saya lihat dan perhatikan sendiri untuk bisa belajar dari wayang yang sudah ada. Membuat bentuk karakternya bagaimana, membuat rambut bagaimana, harus dipelajari,” urai Misenun.
Ia lalu menawarkan ke beberapa kelompok dan kenalannya. Satu per satu kemudian memesan kepadanya. Baik untuk koleksi hingga kebutuhan pentas oleh dalang wayang kulit di berbagai wilayah. “Pernah juga dipesan orang Australia karena punya teman di sini namanya Pak Puji, akhirnya melihat wayang saya di rumahnya dan ingin pesan untuk dibawa pulang,” ceritanya.
Cerita pemesan dari luar negeri tak berhenti sampai di situ. Ia juga mendapatkan pesanan dari negara lain seperti Amerika dan Belanda karena rekannya yang memiliki teman hingga majikan kerja di negara tersebut. Misenun senang, karyanya dilirik banyak orang dari hasil kerja kerasnya belajar otodidak itu.
Minimal ada tiga pesanan dalam sehari yang harus dia kerjakan. Masing-masing pemesanan, dikatakannya tak selalu memesan hanya satu buah wayang. Melainkan beberapa karakter berbeda. Ia kerjakan dengan tekun namun tak bisa ditarget. Hal ini karena dirinya tak ingin hasil karyanya tak maksimal.
“Jadi kalau ada yang pesan akan saya hubungi kalau sudah selesai. Karena saya juga menggarap tidak full seharian. Ada kalanya istirahat, kalau sudah tidak malas ya digarap lagi,” ucapnya dengan kelakar.
Untuk membuat wayang satu lembar kulit kambing biasa ia beli dengan harga Rp 200 ribu. Yang mana menghasilkan banyak karakter atau beberapa gunungan wayang yang biasa dipakai untuk pentas.
Puluhan tahun berlalu, wayang telah menghidupinya hingga kini. Ada saja pesanan yang harus digarap setiap harinya. “Sampai kewalahan,” sebut Misenun.
Sedangkan untuk harga wayang yang dia buat mulai dari ratusan ribu hingga mampu terjual jutaan rupiah untuk pelanggan khusus. Ia juga memiliki langganan dari kalangan dalang.
“Ada juga yang datang membawa wayang rusak, lalu minta diperbarui,” ujar dia.
Ia menceritakan mulai meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai kernet angkutan umum sejak mulai berpenghasilan dari wayang. Selain itu karena faktor usia yang membuatnya merasa lebih baik banyak beraktivitas dan istirahat di rumah, ia memilih hidup dari kerajinan wayang.
Meski begitu dia tak pelit ilmu dan menerima siapa saja untuk belajar membuat wayang. “Sudah banyak, mahasiswa atau pemuda ke sini katanya mau belajar. Saya ajari sampai bisa.Saya selalu berpesan mereka yang saya ajari harus bisa membuat lebih bagus dari yang pernah saya bikin,” katanya dengan semangat.
Mahasiswa yang dia bimbing belajar buat wayang berasal dari berbagai daerah. Umumnya mereka kuliah di Malang.
“Ada yang dari Situbondo, sekitar dua bulan ke sini terus untuk belajar. Ternyata memang dia bisa membuat lebih baik dari saya pas ditunjukkan setelah pulang ke kampungnya. Saya senang,” ucap Misenun.
Ia sangat bangga dengan generasi muda yang dibimbing dan akhirnya mempu menelurkan karya seperti dirinya. Terlebih bisa menjamin kelestarian budaya tetap ada dari zaman ke zamannya.
Misenun tak ingat betul siapa saja dan sudah berapa mahasiswa atau pemuda yang dia bimbing. Namun, ia tetap semangat menjalani apa yang ia tekuni hingga kini. (m prasetyo lanang/van)