Malang Posco Media – Semula Kristiawan tak pernah mengenal dunia batik. Ia hanya bermodal semangat dan tekad. Karena ketekunan ia kini menjadi salah satu produsen batik. Bukan batik biasa namun Batik Peranakan.
Dalam sebulan Kristiawan bisa menghasilkan 10 hingga 20 lembar kain Batik Peranakan. Rentang harga dijual mulai Rp 250 ribu hingga Rp 2 Juta. Batik peranakan menurut dia belum populer di wilayah Malang. Namun bernilai jual. Apalagi esetetik budaya yang dimiliki tinggi.
“Makanya kebanyakan klien bukan dari wilayah Malang. Baru-baru ini saja saya dapat klien di wilayah Malang. Ada orang dinas (perangkat daerah di Kota Malang) yang tertarik. Sejak awal yang tertarik itu dari Jakarta, Medan, bahkan Papua,” papar Kristiawan saat dihubungi Malang Posco Media.
Batik Peranakan berbeda dengan motif batik umumnya di Jawa. Cirinya bermotif seperti Ikan Koi, burung, kupu-kupu hingga motif unik lainya. Dinamakan Batik Peranakan karena perpaduan budaya. Yakni budaya Jawa dan Tionghoa.
“Memang motifnya ini yang unik. Awalnya banyak berkembang di Pekalongan. Budaya Jawa dan Tionghoa dalam sebuah produk batik. Itulah yang namanya Batik Pernakan. Motifnya lebih ke mitologi-mitologi etnis Tionghoa. Misal Ikan Koi, Bunga Krisan, sampai Burung Phoenix. Tapi ada sentuhan corak Jawa juga,” papar pria asal Bunulrejo Kecamatan Blimbing Kota Malang ini.
Karena unik, kebanyakan pesanan datang dalam bentuk custom (pesanan khusus). Klien meminta motif khusus untuk dibikinkan. Inilah mengapa satu kain saja membutuhkan waktu minimal 14 hari untuk diselesaikan.
Hal yang membuat Batik Peranakan unik juga dalam proses pewarnaan dan teknik khusus. Kristiawan harus menggunakan pengering alami yakni sinar matahari untuk menyempurnakan proses pengeringan batik yang dibuat.
“Jadi tekniknya juga berbeda dengan Batik Solo, Batik Jawa biasanya. Canting yang digunakan memiliki beragam ukuran atau nomor. Dari 0-12. Jadi semakin kecil nomornya, motif semakin halus dan rumit. Paling lama saya pernah bikin batik sampai enam bulan. Memang agak susah,” kata dia.
Alumnus SMAN 4 Malang ini pernah membuat motif unik. Salah satunya motif “Buddha Tertawa” dan “Osiji”. Membuat dua motif tersebut terbilang cukup rumit. Terutama “Osiji”. Osiji adalah Ikon Kota Malang. Motif kain batik ini dipesan salah satu kepala perangkat daerah Kota Malang. Ia harus menggambarkan ikon Kota Malang yakni Singa dan Burung Manyar yang dikenal sebagai “Osiji”.
“Cukup rumit karena gambar awalnya itu kan dari kartun. Agak susah memadukan dengan motif klasik batik khas Jawa. Tapi bisa kok,” paparnya.
Menekuni Batik Peranakan ini, Kristiawan melakukannya secara otodidak pada tahun 2017 melalui tutorial via YouTube. Dia tekun karena memilih berwirausaha setelah meninggalkan posisinya sebagai HRD (Human Resource Department) di salah satu perusahaan makanan khas Jepang. Trial dan error dilakoninya selama satu tahun lamanya.
“Saya berhenti di tahun 2015. Nah tahun 2016 mulai usaha sendiri, nyoba makanan tapi tak berhasil karena manajemen buruk. Lalu saya dikasi tahu istri, dulu kan memang suka gambar. Kenapa tak coba bikin batik dengan motif unik,” cerita alumnus Jurusan Psikologi Universitas Wisnuwardhana Malang ini.
Saat itu modal yang ia miliki hanyalah Rp 1 juta. Karena sudah tidak memiliki apapun lagi, Krisitiawan nekat. Mulailah belajar sendiri secara otodidak mengenai batik. Bagaiamana cara membatik dan lainnya melalui YouTube.
Dirinya belajar secara otodidak mengenai batik klasik. Tetapi dalam perjalanannya, Kristiawan kemudian memilih mengembangkan Batik Peranakan yang menurutnya memiliki keunikan tersendiri.
“Semua saya belajar sendiri, karena mau ikut kursus biayanya juga cukup mahal. Jadi satu tahun pertama itu banyak trial and error dan belum menemukan pola yang tepat,” terangnya.
Titik balik dari upayanya tersebut terjadi pada tahun 2018. Saat itu salah satu batik buatannya yang berbentuk selendang dibeli seorang pembatik asal Pekalongan.
Dari situlah dia kemudian bertemu pembatik tersebut dan banyak membantu mengembangkan kemampuannya membuat karya. Bahkan kemudian pembatik tersebut menjadi mentor Kristiawan hingga kini.
“Saat itu dia bilang goresannya sudah khas. Dan banyak orang sebut batik saya ini Batik Peranakan. Saya pelajari dan memang iya. Saya mulai eksplorasi motif. Hingga akhirnya saya buat motif Ikan Koi dan Bangau. Ternyata ada orang Chinese yang suka dan minat. Dari situ kami akhirnya fokus ke Batik Peranakan,” imbuhnya.
Di situlah kemudian ia mulai menerima banyak pesanan. Bisnis Batik Peranakannya mendapat klien dari luar negeri. Ia pernah mengirim pesanan batik dari Singapura, Cina, Jepang hingga Amerika Serikat.
Kini fokus di rumah produksinya, ia juga dipercaya menjadi pembina warga Kelurahan Bunulrejo untuk pengembangan produk Batik Bunulrejo selama setahun belakangan ini. (sisca angelina/van)