.
Friday, November 22, 2024

Bentuk Negara

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si

MALANG POSCO MEDIA – Bila diperhatikan secara seksamanash shorihtidak menjelaskan secara implisit aturan seputar bentuk negara. Menurut Ibn Qoyyim (2007) bahwa bentuk negara merupakan persoalan siyasahyang secara teknis disesuaikan dengan kondisi, dengan memegang prinsip sekiranya lebih mendekatkan pada kemaslahatan dan menjauhkan dari kemadharatan.

Seandainya bentuk negara adalah bagian dari syariat tentu secara spesifik Alqur’an sudah menentukannya. Alqur’an berbicara tentang kisah para penguasa, seperti Namrud di masa Nabi Ibrahim as, Fir’aun di zaman Nabi Musa as, Dzulqarnain, Nabi Sulaiman as, Ratu Bilqis, Raja Jaluth dan Tholuth tetapi tidak ditemukan satu pun teks Alqur’an yang menyoal bentuk negaranya.

Alqur’an justru lebih fokus memberikan catatannya terhadap baik buruknya perilaku penguasa secara personal agar dapat dijadikan ibrahbagi umat-umat berikutnya. Sebagaimana Alqur’an, teks-teks hadits pun hanya menyoal kedisiplinan pemimpin dan tata hubungan sosialnya.

Suatu Ketika Nabi Muhammad SAW menyebut penguasa dengan kata Sultan (Raja), pada kesempatan lain dengan kata Imam(pemimpin, di lain kesempatan juga dengan kata al Mas’ul(yang dimintai pertanggung jawaban). Semua menegaskan persoalan bentuk negara merupakan bagian dari siyasahdi mana kaitan pembahasan ini adalah diserahkan kepada para fuqoha’ yang menginterpretasikan kandungan-kandungan Alqur’an dan al Hadits dalam mengkajinya.

Memegang Teguh Dasar Negara

          Rasulullah Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmatan lil ‘aalamindalam perjalanan dakwahnya baik di Makkah maupun di Madinah tidak pernah mengupayakan untuk mendirikan negara secara resmi sesuai ekspektasi beberapa kelompok tertentu. Beliau fokus pada pembenahan aqidah dan akhlak serta menjadikan kedua hal tersebut prioritas utama dalam ‘garapan’ dakwahnya.

Bahkan Buti (2016) dalam karya fenomenal Fiqhussiroh An Nabawiyah (kajian Fiqh yang diadopsi dari sejarah Sirah Nabawiyah) karya Muhammad Said Ramadhan Al Buti dijelaskan begitu kuatnya prinsip Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan “innamaa buitstu liutammima makarimal akhlak” (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlakul karimah umat semesta alam) pada saat beliau didatangi al Walid bin Mughirah serta ditawari beberapa penawaran yang menggiurkan dari harta, tahta dan wanita, semua itu ditolak mentah-mentah oleh Nabi SAW.

Jika direnungkan dengan seksama, andaikan Rasulullah SAW memiliki pola pikir seperti politikus masa kini naudzu billah, maka beliau pasti akan berpikir menerima tawaran Al Walid bin Mughiroh menjadi Raja di tanah Arab. Di mana setelah beliau berkuasa dapat dipastikan dakwah Islam akan dengan mudah disebarkan dengan kekuasaan dan pengaruh yang telah digenggam.

Namun hal itu tidak dilakukan oleh beliau, Nabi SAW memilih dakwah yang dimulai dari bawah, melakukan pendekatan-pendekatan persuasif, menyentuh hati umatnya dengan perilaku-perilaku mulia, karena beliau memahami bahkan meskipun memiliki tujuan semulia apapun tidak boleh lantas menghalalkan segala cara dalam mencapainya.

Meski pengikut saat berdakwah di Makkah sedikit tidak lantas membuat beliau berpaling dari jalan kebenaran. Sehingga  lahirlah kaidah Fiqhiyah (Baidhowi, 1991) “Tujuan sebaik apapun tidak lantas dapat menghalalkan segala perantara.”

Maka tidak ada yang salah dalam sistem negara yang tidak menganut khilafah. Justru mempertahankan NKRI sejatinya adalah mempertahankan eksistensi Islam. Karena dalam konteks ke Indonesiaan, agama dapat tegak bilamana masyarakatnya bersatu dan damai. Tidak mungkin bersatu-damai tanpa memegang teguh prinsip dasar negara yang telah disepakati seluruh bangsa Indonesia dan para pendahulu dengan segala kemajemukannya.

Mengisyaratkan Kedamaian; Kemaslahatan

Melestarikan serta menjaga NKRI yang merupakan bagian dari empat pilar bangsa, dengan sebutan PBNU (Pancasila, Bhineka tunggal ika, NKRI, dan UUD 1945) adalah sejatinya perwujudan siyasah syar’iyyahyang dapat dipastikan paling efektif guna mengakomodir kemaslahatan hidup beragama, berbangsa, dan bernegara di bumi nusantara dengan segala keberagamannya (Ghazali, 2010; Ibn-Alqayyim, 2007) disertai dengan mempertimbangkan hal-hal berikut.

Pertama, menghindari sikap pengkhianatan consensus bangsa, di mana consensus tersebut tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Pemeluk Islam dapat dengan leluasa mengekspresikan ritual keagamaannya sebebas mungkin tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.

Kedua,menghindari pertikaian antar pemeluk agama dan antar umat beragama dikarenakan secara faktual tidak dimungkinkan menjadikan seluruh warga Indonesia menganut satu agama atau satu faham agama tertentu. Ketiga, menghindari terjadinya perang saudara akibat perebutan kekuasaan yang dilakukan secara inkonstitusional, dan Keempat, menghindari adanya disintegrasi bangsa.

Dalam konteks ini para cendikiawan NU lintas generasi sepatutnya konsisten meneguhkan sikapnya terhadap eksistensi NKRI, sebagaimana Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama NO. 02/MNU-29/1994 tentang pandangan dan tanggung jawab NU terhadap kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Pertama, merujuk resolusi jihad 22 Oktober 1945, mempertahankan dan menegakkan NKRI menurut hukum Islam adalah wajib termasuk kewajiban bagi tiap-tiap muslim dan jihad fii sabilillah.Kedua, NKRI adalah usaha final dari perjuangan seluruh penduduk Indonesia termasuk mayoriats Umat Islam dalam mendirikan negara.

Ketiga,NKRI adalah satu konsep kenegaraan yang sah menurut hukum Islam yang menjadi wadah berkiprah melaksanakan dakwah yang akomodatif dan selektif serta bertaqwa sesempurna mungkin, tidak perlu mencari atau membuat negara baru karena akan menimbulkan mafsadahlebih besar dari mafsadah sebelumnya, jika sebelumnya ada konflik.

Dalam pemahaman Islam melestarikan dan menjaga persatuan bangsa merupakan perwujudan dari menjaga nikmat aman yang dianugerahkan oleh Allah swt untuk bangsa Indonesia, sebagaimana Alqur’an (2; 126)  “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.

Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”  

Jika diamati dengan seksama Nabi Ibrahim as. terlebih dahulu memohonkan kedamaian negeri baginya sebelum memohon serangkaian nikmat-nikmat lainnya. Menurut penafsiran Fakhruddin ar Razi (1981) hal ini mengisyaratkan kedamaian merupakan nikmat Allah yang paling agung dan kemaslahatan dunia akhirat dicapai tanpanya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img