.
Saturday, December 14, 2024

BERAKHIR DENGAN STUDENT WELLBEING

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Proses pembelajaran merupakan bagian penting dalam pembentukan karakter dan masa depan peserta didik. Agar terbentuk karakter yang baik sesuai dengan harapan, maka harus terjadi proses yang baik dan benar-benar mampu membentuk karakteristik peserta didik sebagai generasi penerus bangsa yang dapat diandalkan.       Dalam hal ini diperlukan perencanaan yang baik dan tertata sesuai dengan karakteristik peserta didik. Perencanaan yang baik tentu saja akan menghasilkan proses yang tertata. Untuk bisa membuat sebuah perencanaan yang baik seorang guru harus mengembangkan kompetensinya dengan sungguh-sungguh. 

Apapun model pembelajaran yang dipergunakan oleh seorang guru pada dasarnya memuat tujuan, proses atau langkah-langkah, dan evaluasi. Dalam pembelajaran berdiferensiasi seorang guru harus membuat langkah-langkah yang tepat sesuai dengan kebiasaan belajar dan kesiapan peserta didik dalam belajar.

Di sinilah luasnya wawasan dan pengalaman menjadi tolok ukur keberhasilan seorang guru dalam menyiapkan sebuah proses pembelajaran. Melalui proses pembelajaran inilah akan terbentuk profil generasi penerus sebagaimana harapan Profil Pelajar Pancasila.

Pembelajaran berdiferensiasi mengandung penanaman nilai-nilai yang bertujuan menciptakan manusia Indonesia yang cerdas secara spiritual, intelektual, dan berkepribadian. Penanaman nilai-nilai ini pada dasarnya dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat pendidikan progresivisme, konstruktivisme, dan humanisme.

Dalam ketiga aliran pendidikan tersebut dijelaskan perbedaan karakteristik yang mendasar tentang proses belajar. Aliran progresivisme berasumsi bahwa proses pembelajaran berpijak pada kreativitas dan aktivitas peserta didik berdasarkan pengalaman yang natural atau alamiah. Peserta didik akan dihadapkan pada permasalah-permasalahan yang memerlukan solusi (problem solving).     Hal ini sesuai dengan pernyataan Marzano (1992) dalam Purba (2021:10) bahwa dalam memecahkan masalah tersebut, peserta didik perlu memilih dan menyusun ulang pengetahuan dan pengalaman belajar yang telah dimilikinya. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa dalam hal tersebut akan terjadi proses berpikir yang terkait dengan “metakognisi”, yaitu proses menghubungkan pengetahuan dan pengalaman belajar dengan pengetahuan lain untuk menghasilkan sesuatu.

Sementara itu aliran konstruktivisme mengharuskan peserta didik untuk mengonstruksikan sendiri pengetahuannya. Pembelajar harus bisa membuat interpretasi yang benar berkaitan dengan apa yang sedang dipelajarinya. “Pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar, pengetahuan lebih dianggap sebagai proses pembentukan (konstruksi) yang terus-menerus, terus berkembang, dan berubah” (Purba, 2021:11).

Di sisi lain aliran humanisme melihat pembelajar atau peserta didik dari sudut pandang yang berbeda. Keunikan, potensi, dan motivasi yang dimiliki peserta didik merupakan hal yang menjadi dasar dari pengembangan aliran humanisme. Implikasinya dalam pembelajaran adalah adanya penyikapan yang berbeda terhadap masing-masing peserta didik. dalam hal ini layanan klasikal, kelompok, atau individu menjadi pilihan yang tepat.

Ketiga aliran tersebut mendasari layanan pembelajaran berdiferensiasi baik dalam Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka. Semua konsep progresivisme, konstruktivisme, dan humanisme harus dikuasai oleh guru sebelum merancang sebuah perencanaan pembelajaran yang memerdekakan peserta didik.

Hakikat memerdekakan peserta didik dalam proses belajar tentu saja bukan kebebasan tanpa dasar, melainkan dengan dasar yang sangat kokoh. Dengan dasar-dasar inilah pembelajaran sebagai proses pembentukan karakter generasi bangsa ini akan tercapai sesuai dengan tujuan yang dicanangkan. Namun terdapat satu hal penting yang tidak bisa ditinggalkan dalam proses ini adalah tercapainya student wellbeing.

Memerdekakan proses pembelajaran bukan berarti meninggalkan hal-hal prinsip seperti memperhatikan kondisi psikologis pembelajar atau peserta didik. Kondisi ini juga bisa dibentuk dengan lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan. Dengan lingkungan belajar yang berpusat pada murid, diharapkan dapat mewujudkan student wellbeing.

Berkaitan dengan hal tersebut, Sulistyowati dan Herlina (201: 4) menyatakan bahwa student wellbeingdidefinisikan sebagai sebuah kondisi yang menggambarkan mental dan fisik yang sehat, kuat, memiliki daya tahan untuk menjalankan fungsi dalam pekerjaannya maupun pribadinya. Hal ini bisa terwujud jika peserta didik bahagia dan nyaman selama belajar di sekolah.

Pembelajaran harus benar-benar berorientasi kepada peserta didik. Semua hal yang berkaitan dengan peserta didik menjadi prioritas utama. Kemampuan mengonstruksi pengetahuannya sendiri merupakan hal baru yang juga harus disadari sepenuhnya oleh peserta didik dan orang tua atau wali.

Perubahan paradigma pembelajaran ini sangat mungkin tidak dipahami oleh anak, apalagi oleh orang tua/ wali. Dalam hal ini sangat penting kegiatan pendampingan terhadap orang tua/ wali melalui parenting yang dilakukan oleh sekolah secara periodik.

Akhirnya tujuan tercapainya student wellbeing menjadi utama. Skala prioritas pengembangan sekolah berorientasi pada terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, aman, dan menyenangkan. Jika semua hal tersebut sudah terpenuhi maka secara ideal student wellbeing akan tercapai.

Namun kadang akan muncul kasus-kasus kasual yang justru disebabkan oleh pembelajar dan bukan oleh lingkungan sekolah yang sudah tertata dengan baik dan kondusif. Lingkungan di luar sekolah kadang juga sangat mempersuasi peserta didik, misalnya kondisi keluarga dan lingkungan pergaulannya.

Kadang lingkungan di luar sekolah inilah yang justru sangat memberikan warna pada karakterististik dan kepribadian anak. Dengan demikian sudah tidak saatnya lagi jika pembentukan moral anak dan peserta didik hanya dibebankan kepada guru dan sekolah. Realitanya lingkungan pergaulan dan keluarga juga sangat memberikan andil yang tidak kecil.

Berkaitan dengan hal tersebut, konsep pendidikan yang disampaikan Ki Hajar Dewantara yang dikenal dengan Tri Pusat Pendidikan benar-benar bukan sekadar pernyataan kosong. Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus benar-benar bersinergi agar harapan masa depan bangsa melalui generasi penerus bisa terwujud. Pada akhirnya harus dipahami dengan sadar bahwa student wellbeing tentunya tidak sekadar menjadi tanggung jawab sekolah.

Tercapainya student wellbeing tetap menjadi tanggung jawab semua unsur pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sekolah merencanakan proses pembelajaran dan lingkungan belajar yang kondusif, sementara keluarga dan masyarakat pun juga harus memberikan bantuan pengondisian yang baik dan mendukung.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img