MALANG POSCO MEDIA, MALANG- Di sebuah rumah di Jalan Padepokan Desa Sengguruh Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang, Riang biasa pulang usai menonton Arema FC bertanding di Stadion Kanjuruhan. Gadis berusia 20 tahun itu bernama lengkap Riang Ambarwati. Kini, Riang tak lagi riang sesuai namanya. Dia tak pulang dengan selamat usai menonton Arema FC menjamu Persebaya pada Sabtu (1/10) lalu. Nyawa Riang raib terenggut menjadi korban kerusuhan Tragedi yang menewaskan 125 orang itu.
Ayahnya, Aris Budi, 42 tahun, masih tersisa kepedihan kala mendengar kabar anaknya meninggal dunia. Waktu itu, kata Aris, tak seperti biasanya. Riang pulang tengah malam juka selesai menonton pertandingan. Tetapi langkah kaki dan suara pintu yang dibuka oleh Riang tak lagi terdengar malam itu.
Sosok Aris tak menyangka hari itu merupakan hari terakhir berjumpa dengan Riang, putri keduanya. Saat itu, Riang memang berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk menyaksikan laga Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan.
“Berangkatnya pamit. Saat itu bilangnya mau dijemput temannya. Tapi temannya tak kunjung datang. Jadi, dia (Riang) minta diantar. Ya kami antar berdua sama ibunya,” ujar Agus saat ditemui di kediamannya, Senin (3/10).
Aris mengaku, saat hendak berangkat, tidak ada perasaan apa pun jika akan terjadi peristiwa tersebut. Sebab, menurut Aris, Riang memang gemar menyaksikan pertandingan Arema langsung dengan datang ke stadion. “Biasanya juga memang suka lihat (pertandingan) Arema. Dia (Riang) itu selalu pamit. Ke mana pun pamit,” imbuhnya.
Namun, dalam beberapa hari terakhir, ada perbedaan yang ia rasakan pada sikap putrinya. Menurut Aris, sikap Riang cenderung lebih dewasa, mandiri dan lebih periang daripada hari-hari sebelumnya. Sementara itu, saat kejadian, ia mulanya hanya mendapat kabar bahwa Riang mengalami kecelakaan. Dirinya pun sebenarnya berniat berangkat ke Stadion Kanjuruhan untuk menjemput putrinya.
“Awalnya saya kira seperti itu, lalu saat saya mau jemput, ternyata sama pihak (pemerintah) desa bilangnya sudah ditangani mereka (pemerintah desa). Di sini saya kok merasa ada yang janggal,” ungkap Aris yang sempat heran.
Beberapa saat setelah itu, baru ia mendapat kabar bahwa putrinya sudah meninggal setelah terdampak insiden seusai pertandingan Arema FC vs Persebaya. Aris pun tidak dapat berbuat banyak begitu mendengar hal tersebut. “Akhirnya semua yang menangani pihak desa. Kami hanya dihubungi agar bisa melakukan persiapan di rumah,” imbuh Aris sembari retina matanya berkaca-kaca.
Saat itu, Riang memilih untuk tidak pergi ke mana pun saat insiden terjadi. Termasuk saat gas air mata mulai banyak ditembakkan oleh petugas keamanan yang bertugas di Stadion Kanjuruhan. “Saat itu, Riang ditemukan sepupunya dalam kondisi sedang bergandengan tangan bersama temannya. Namun, kami tidak mendapat kabar lanjut tentang temannya itu,” kata Aris.
Dia tak langsung menerima informasi bahwa anaknya meninggal dunia. Kepala desa setempat lah yang datang ke rumah untuk berbicara dan mengantarkan Aris dan Istrinya Kariyah ke rumah sakit.
Putrinya itu dikenal kalem dan ramah. Biasanya pintu rumah tidak terkunci saat pertandingan. Hal itu untuk memudahkan Riang pulang ke rumah. Tapi hari itu lain cerita. Riang pulang hanya tinggal nama. Disebut bahwa dirinya meninggal dalam perawatan di rumah sakit. Menurut dokter gangguan pernapasan yang diakibatkan gas air mata menyebabkan ia tak tertolong.
Duka yang dirasakan Aris sangat mendalam. Sebab, putra pertama Aris, kakak Riang, ternyata juga telah tiada. Kakak Riang meninggal setelah terlibat sebuah kecelakaan di sekitar Stadion Kanjuruhan. Aris hanya berharap agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. Apalagi, berdasarkan informasi yang ia terima, saat itu kericuhan tidak terjadi antarsuporter.
“Harapannya tidak ada lagi kejadian. (Aparat) keamanan ini kalau bisa melindungi penonton, suporter bukan (menjadi) pemicu. Jelas kami kecewa. Mereka (suporter) ini bukan sedang demo. Banyak yang berlarian juga karena ingin menghindar,” tandas Aris, sembari mengusap air mata. (tyo/bua)