Diah Rahmawati Wicaksananingtyas Duta Tani Milenial Kementan
Makin sempitnya lahan pertanian di perkotaan menjadi tugas berat Duta Tani Milenial Kementerian Pertanian (Kementan), Diah Rahmawati Wicaksananingtyas. Warga Kelurahan Cemorokandang Kecamatan Kedungkandang Kota Malang ini gigih mempopulerkan perantian.
Diah, sapaan Diah Rahmawati Wicaksananingtyas merupakan satu dari lima Duta Tani Milenial Kementerian Pertanian. Ia harus terus memutar otak lebih keras, mengajak kalangan milenial untuk mau bertani.
Kisah hidupnya yang penuh lika liku, membuat Diah tidak pernah Lelah berjuang. Terutama memberi manfaat luas kepada masyarakat. Termasuk dengan cara menggencarkan pertanian, khususnya sistem pertanian organik.
“Tahun 2013 itu saya kena penyakit Eklamsia, waktu itu saya sampai koma. Bersyukur saya masih diberi kesempatan yang luar biasa untuk tetap hidup karena sangat jarang yang selamat. Lalu saya berpikir untuk melakukan terapi, saya coba menanam tanaman organik di pekarangan. Ini yang menjadi pemicu untuk terus bertani dan mengajak sesama termasuk anak muda untuk bertani,” tutur Diah kepada Malang Posco Media.
Berawal dari pekarangan seluas hanya 2 meter x 3 meter, ia mulai menekuni pertanian organik. Yakni berupa sayur sayuran seperti bayam, wortel dan sawi. Singkat cerita, bergulirnya waktu, pertanian organik itu membuahkan hasil yang manis. Ia kemudian bisa meraup pundi-pundi ekonomi dari pertanian organik itu.
Berjalannya waktu, lahan pertanian yang ia kelola juga bertambah. Kini sudah ada sekitar 2.000 meter persegi. Dari sebelumnya hasil pertaniannya hanya menghasilkan beberapa varian saja, kemudian bertambah menjadi 50 varian, lalu tahun berikutnya menjadi 85 varian, dan terus bertambah hingga sampai saat ini mencapai 100 lebih varian.
Begitu juga dengan jumlah petani yang berhasil ia rangkul untuk kerjasama. Meski sudah banyak petani yang dirangkulnya, Diah menyadari ternyata di lingkungan terdekatnya, juga masih ada potensi petani milenial yang belum dirangkul.
“Waktu saya menjadi juri di seleksi Duta Tani Milenial tingkat kota, saya lihat ternyata masih ada petani itu dari Cemorokandang, daerah saya sendiri. Saya kaget, dia itu sebenarnya sudah bagus petani milenial tapi secara presentasi ini masih kurang sekali. Dari situ, sekarang saya mencoba merangkul mereka dengan membuat kolaborasi bareng,” beber Diah.
Program kolaborasi ini tentu bukan suatu hal yang mudah. Sebab, jika dengan milenial, ia ingin proyek kolaborasi ini tidak biasa-biasa saja. Dia kini menggagas dibangunnya Kawasan Pertanian Organik Padi bersertifikat.
Diah ingin agar tercipta suatu kawasan yang benar- benar menghasilkan lumbung pangan yang berkualitas. Tidak cukup hanya organik, tapi juga dibuktikan dengan adanya sertifikasi dari lembaga terkait. Yakni LeSOS (Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman).
“Jadi ini inisiatif pribadi, karena saya ingin juga Cemorokandang tidak hanya jadi lumbung pangan saja, tapi kawasan organik yang bersertifikat. Saya ingin membuktikan Cemorokandang ini juga bisa menjadi champion (pemenang) dalam bidang pertanian,” tegas dia.
Sejak dijalankan pada tahun kemarin, kini sudah ada tiga petani yang dirangkul untuk kolaborasi. Kini sudah dua kali panen dan dalam waktu dekat memasuki masa panen ketiga.
Jenis padi yang digarap dalam kolaborasi ini akan menghasilkan beras sehat. Yang kini sedang di proses sertifikasi organik. Yaitu jenis beras organik IR64, beras organik menthik wangi. Dalam waktu dekat, akan dihadirkan varian beras mentik wangi susu.
Untuk masalah pemasaran, Diah memberi jaminan kepada petani-petani milenial. Pemasaran akan sepenuhnya dibantu olehnya yang kini sudah mempunyai banyak jejaring. Baik di pasar umum, hingga pasar tertentu seperti di pondok pesantren atau lembaga-lembaga lainnya. Ini sengaja dilakukan oleh Diah, sebagai pengorbanan agar memberi motivasi dan kesemangatan bagi mereka.
“Saya pernah ikut programnya Pertamina Foundation. Di situ saya menyadari juga lahan pertanian di Indonesia ini berkurang banyak banget, termasuk di Malang. Lebih-lebih di Cemorokandang, yang sekarang sudah ada yang dibangun jadi jalan tol. Saya berpikir, salah satu cara mempertahankan lahan pertanian, ya harus ada kepastian bagi petani,” yakin Diah.
“Selama ini petani dihadapkan macam- macam tantangan. Selain kurangnya lahan, ada faktor cuaca, hama dan macam-macam. Kalau petani mendapatkan kepastian atas hasil pertaniannya, maka pasti mereka mau mempertahankan lahannya. Akhirnya saya coba masuk, saya bilang ke mereka untuk fokus pada produksi. Pasar kami serap agar mereka mau merawat lahan yang ada,” sambungnya.
Terlepas dari itu, Diah menginginkan agar saat ini para petani fokus pada pengembangan produknya. Ia bahkan menginginkan para petani bisa sampai menjadi ahli dan kemudian memperbanyak varian yang dikembangkan.
Jika sudah berhasil, ia berjanji akan terus merangkul dan mengajak petani-petani milenial lainnya. Menurut Diah, petani milenial menyimpan banyak potensi, meski terkadang juga perlu ada mindset yang perlu terus dikembangkan.
“Belajar dari kolaborasi ini, saya merasa berat membangun mindset. Harus dibangun mindset agar bagaimana mereka bisa merespon dan menyikapi teknologi untuk pengembangan pasar. Ini yang akan terus menerus kami bangun agar selanjutnya bisa memberi manfaat kepada masyarakat luas. Semakin banyak petani milenial yang mereka ajak untuk bertani,” kata alumnus SMAN 2 Ponorogo ini. (ian/van)