MALANG POSCO MEDIA – Sehari lagi, kita akan bertemu kembali dengan Hari Raya Idul Adha. Berbicara hari raya ini, selain identik dengan penyembelihan hewan kurban, tentu mengingatkan kita akan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Sebuah kisah yang menjadi sejarah abadi Hari Raya yang juga dikenal sebagai Idul Qurban.
Kisah yang menjadi pesan simbolik agama. Sebuah nilai intrinsik tentang esensi berkurban yang sangat luas untuk dimaknai dalam kehidupan. Tak hanya soal mampu berbagi karena lebih dalam hal material. Bukan soal sekadar mampu membeli hewan kurban. Bukan.
Lebih dalam, misi perjalanan yang diteladankan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail untuk mentaati perintah Allah SWT membawa kita untuk kembali merefleksikan makna cinta dalam prinsip hubungan secara vertikal hablumminallah (hubungan dengan Tuhan) dan horizontal hablumminannas (hubungan sesama manusia).
Pengorbanan yang diteladankan Nabi Ibrahim ini mengandung ketulusan dan kerelaan tingkat tinggi dalam mencapai ketaatan kepada Allah. Ketauhidan seorang hamba kepada Tuhannya. Merelakan putra yang telah lama diperjuangkan untuk didapatkannya, keturunan yang didambakannya. Yang ribuan kali telah dipanjatkan do’anya dan hal ini pun telah diabadikan pada QS. Ash-Shaffat Ayat 100.
Cinta dan ketulusan Nabi Ibrahim diuji. Perintah Allah kepada Ibrahim agar menyembelih putranya menjadi sebuah momentum pembuktian cinta sejatinya kepada Sang Pencipta melebihi jiwa raganya. Keikhlasan yang dimiliki Nabi Ibrahim menyadarkan kita bahwa segala sesuatu adalah titipan. Maka sesungguhnya yang dikurbankan Nabi Ibrahim adalah bukan putranya tetapi rasa kepemilikannya terhadap Ismail.
Cinta kepada Penciptanya harus mengatasi segalanya, membuat yang harus direlakan tidak menjadi berat, tidak menjadi beban. Setiap Ibrahim memiliki Ismail, sama halnya dengan apapun yang kita miliki di dunia ini, keluarga, seseorang yang dicinta, harta, jabatan. Semua hanya titipan.
Maka wajib bagi kita belajar ikhlas sepanjang hayat, semua harus kembali pada pemiliknya. Tugas kita menjaga, merawat yang ada sebaik mungkin selagi masih diberi titipan. Menyadarkan kita untuk kembali menjaga arah dan meningkat kualitas iman. Hal inilah membuat ketaqwaan kita semakin kokoh, melahirkan ibadah penuh kerelaan tanpa menuntut dan mendikte Sang Pencipta atas segala yang kita inginkan. Kemuliaan terlahir dari pengorbanan. Pengorbanan yang diisi cinta.
Teladan Nabi Ismail juga patut menjadi contoh. Tak hanya sebuah bakti pada orang tua tetapi ada iman taqwa kuat untuk sebuah ketaatan dan cinta kepada Pencipta. Ada kualitas jiwa yang hebat di sini. Jiwa yang hebat lahir dari dari didikan orang tua yang hebat pula.
Kisahnya menjadi gambaran cinta. Cinta kepada orang tuanya, hormat dan berbakti pada orang tua. Terbentuknya karakter ini tak lain adalah hasil peran asuh Nabi Ibrahim dan Ibu Ismail, Siti Hajar sebagai orang tuanya. Dan wujud cinta kepada orang tuanya disempurnakan dengan Cinta kepada Allah sebagai pondasi utama.
Melaksanakan perintah Allah untuk menguatkan iman.
Segala bentuk cinta yang kembali pada Penciptanya. Melalui Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar, kita juga melihat sosok keluarga penuh asih, asuh dan keikhlasan.
Kisah teladan ini membawa semangat Idul Qurban untuk membentuk karakter pribadi dengan kualitas iman yang baik, mengasah kepekaan sosial sehingga penuh empati dan kesadaran diri, mampu mengendalikan diri dan mampu menempatkan diri dalam segala situasi.
Sosok Ibrahim juga menjadi teladan yang menggambarkan sosok pemimpin yang tangguh dan tidak goyah dalam setiap ujian. Pemimpin bagi umat, keluarga, dan Ayah yang hebat bagi putranya. Tentu, teladan pengorbanan itu bisa diwujudkan dengan berbagai jenis bentuk amal perbuatan yang baik.
Berbagi kebaikan dengan sesama, menghargai orang lain, berbakti pada orang tua, melapangkan syukur segala yang telah dimiliki, berbagi dalam saat dilapangkan dan diluaskan rezeki. Dan belajar ikhlas dan sabar sepanjang hayat untuk segala bentuk kehilangan, kesusahan, maupun ujian hidup.
Hikmah berkurban menjadi sebuah pembelajaran yang perlu sekali dipahamkan sejak dini. Banyak kita tahu bahwa berbagai peristiwa penting pada Idul Adha menjadi rangkaian pembelajaran agama yang dipelajari sejak di bangku sekolah. Melakukan manasik haji, penyembelihan, berbagi daging kurban, dan mendengarkan kisah teladan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Tentu, lebih jauh ini tidak hanya dibiarkan berhenti hanya sebagai sebuah kegiatan peringatan saja, tapi mampu menstimulus pembiasaan anak untuk mengasah kepekaan sosial dan memahami hakikat cinta kepada Allah dan Rasul, Cinta Orang Tua, Cinta Sesama, Cinta Alam Sekitar, dan cinta yang ditumbuhkan menjadi akhlak yang baik dan benar.
Tak luput juga bagi yang dewasa, hakikat kurban adalah ibadah yang luas seperti samudra, bukan sekadar mampu penyembelih hewan kurban, tapi sebagai sarana memperbaiki hubungan dengan sesama, meningkatkan kualitas diri dan mendekatkan diri pada sang Pencipta. (*)