Malang Posco Media – Mendengarkan percakapan sekelompok orang dalam forum penulis melalui media virtual omong-omong.com pada bulan Maret Tahun 2022 lalu membuat keprihatinan tersendiri. Begitu banyak kasus kekerasan kepada perempuan baik kekerasan verbal, kekerasan fisik, kekerasan psikis dan yang lebih buruk adalah kekerasan seksual. Percakapan tersebut membicarakan tentang siasat perempuan menghadapi kekerasan. Kekerasan yang dibicarakan dialami oleh perempuan saat menjadi mahasiswa, menjadi aktivis dan ibu rumah tangga.
Kekerasan yang terjadi pada perempuan tidak memandang berapapun usianya. Sampai hari ini jumlah korban kekerasan tertinggi masih pada perempuan. Kasus kekerasan adalah fenomena gunung es yang tetap akan menjadi gunung es dari waktu ke waktu. Mengapa akan tetap menjadi gunung es?, karena tidak semua korban mau dan berani melaporkan diri sebagai korban kepada pihak yang berwenang. Kasus kekerasan kepada perempuan yang terekspos di media massa telah dilaporkan kepada yang berwajib dan kemudian ditangani.
Saat duduk di Sekolah Dasar, salah satu teman mengajak untuk mengikuti latihan pencak silat. Saya berpikir untuk apa perempuan memiliki kemampuan bela diri?. Bahkan ketika saya menyampaikan kepada orang tua, saya ditolak mentah-mentah. Orang tua menganggap bahwa untuk apa perempuan ikut beladiri?, harusnya ikut seni tari.
Pandangan orang tua saya yang masih kolot menganggap bahwa perempuan seharusnya feminin, beladiri hanya untuk laki-laki saja. Apakah kesan feminin pada perempuan yang membuat stigma masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan layak diberi kekerasan oleh laki-laki?.
Kesempatan Memutar Waktu
Sepasang pengantin yang menyambut pernikahan memiliki perasaan yang bahagia dan menginginkan perayaan yang meriah agar dapat menjadi momen yang berkesan. Biaya pernikahan dikeluarkan begitu banyak untuk mampu mewujudkan sebuah pernikahan yang diinginkan.
Tidak ada calon istri yang telah mempersiapkan diri secara fisik dan psikis mampu menghadapi kekerasan. Tidak ada seorang pun yang mampu memprediksi kekerasan yang akan diterimanya setelah pernikahan terjadi. Kalau saja semua perempuan mengetahui bahwa selama berumah tangga akan mengalami kekerasan maka sudah dapat dipastikan semua perempuan memiliki kemampuan beladiri atau kemampuan apa saja yang bisa digunakan untuk mempertahankan diri.
Bisa saja perempuan yang sudah menikah akan merasa menyesal telah melalui pernikahan kalau hanya akan mendapatkan kekerasan di dalam rumah tangganya. Bisa saja perempuan yang belum menikah akan berpikir dua sampai tiga kali untuk menikah kalau yang terlihat di lingkungan sekitar bahwa berumah tangga adalah bagian dari ruang untuk menghancurkan diri secara perlahan. Jika saja setiap pelaku kekerasan mengingat kembali bagaimana momen-momen indah dan bahagia saat awal pernikahan tentunya kekerasan pada perempuan bisa dihentikan dan bersama untuk memutar waktu.
Anak juga menjadi korban
Pada tahun 2021, Komisi nasional perempuan mencatat terdapat 338 ribu kasus kekerasan pada perempuan dan ini mengalami peningkatan sebanyak 50 persen dari tahun 2020. Apakah pernah pelaku kekerasan pada perempuan memikirkan dampaknya kepada orang-orang di sekitar korban.
Hampir setiap tahun, saya berhadapan dengan anak yang merasa tidak nyaman berada di rumahnya sendiri kemudian lari keluar rumah dan tidak pulang hanya karena melihat orang tuanya bertengkar dan mengalami kekerasan. Anak-anak yang dianggap bermasalah di sekolah rata-rata memiliki masalah berat di rumah. Anak-anak berharap sekolah menjadi tempat yang nyaman untuk bisa melupakan sejenak masalah di rumah, tapi terkadang tidak semua guru melihat lebih jauh, hanya untuk memenuhi tuntutan kewajiban di sekolah. Sehingga jangan disalahkan ketika anak-anak tidak merespon sesuai yang guru inginkan jika di rumah anak-anak mengalami masalah yang lebih berat.
Bagaimana sumber daya manusia yang kita harapkan di tahun-tahun yang akan datang menjadi manusia yang memiliki kesehatan emosional yang baik, jika dalam masa sekolahnya anak mengalami trauma dari lingkungan keluarganya sendiri.
Pernahkan terpikirkan oleh pelaku kekerasan, bagaimana anak-anak itu akan menjalani kehidupan rumah tangganya suatu hari jika keluarga seharusnya bisa menjadi teladan bagi anak adalah neraka yang harus dihadapi sehari-hari. Anak adalah pencerminan orang tua, perilaku anak adalah perilaku orang tua.
Anak tidak bisa memberikan reaksi melawan saat mengetahui orang tuanya sebagai korban dan pelaku kekerasan. Mereka hanya mampu melampiaskan rasa marah, cemas dan sedihnya di luar rumah. Anak dengan kondisi kekerasan dalam rumah tangga jarang memiliki komunikasi yang baik dengan kedua orang tuanya. Berkomunikasi saja sudah sulit dan hanya kekerasan saja yang sering terlihat.
Kekerasan dalam rumah tangga juga membawa dampak yang begitu banyak. Selain trauma fisik, stres, ketakutan, kecemasan, gangguan mental, temperamen, dan kesulitan mengendalikan emosi. Kekerasan dalam rumah tangga juga akan berujung pada perceraian. Anak dari keluarga yang bercerai memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang memiliki orang tua yang utuh. Kehamilan tidak diinginkan juga menjadi penyumbang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga karena ketidaksiapan secara mental menjadi orang tua, ketidaksiapan secara ekonomi menjadi celah pemicu pertengkaran yang berujung pada kekerasan secara verbal dan fisik.
Korban kekerasan lebih banyak menyimpan diam, karena menurut korban banyak risiko yang akan muncul jika masalah tersebut diungkap ke permukaan. Korban lebih banyak memilih berteriak dalam diam. Beruntung jika korban mampu menyalurkan pengalaman yang dialaminya menjadi karya, baik berupa tulisan atau karya visual.
Bagaimana bagi korban yang tidak tahu harus bersikap seperti apa dan tidak tahu kepada siapa berharap untuk bisa keluar dari masalah yang dihadapinya. Semoga banyak perempuan menyadari bahwa perempuan memiliki hak yang sama dalam masyarakat, dan banyak perempuan bangkit dari perlakuan yang tidak seharusnya didapatkan dari orang lain.(*)