Pernah tidak saat membuka Instagram, tiba-tiba muncul unggahan produk yang baru saja kita cari di Google? Itu bukanlah sulap maupun sihir, tetapi hasil dari peranan big data yang mengidentifikasi pola kita setiap saat.
Berbagai informasi yang didapat dari aktivitas sehari-hari dikumpulkan oleh Big Data, kemudian dimanfaatkan untuk berbagai hal, baik oleh pengguna internet maupun penyedia layanan. Termasuk untuk memberikan rekomendasi produk di aplikasi.
Banyak orang menilai, hadirnya big data memberikan kemudahan bagi berbagai pihak untuk mengakses data maupun informasi yang digunakan untuk keuntungan serta kemanfaatan. Salah satunya adalah mereka yang bergelut di bidang politik.
Apalagi melihat banyaknya pengguna internet dan media sosial di indonesia. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia, ada lebih dari 210 juta pengguna internet aktif di nusantara yang sebagian besar akrab dengan media sosial.
Kehadiran internet dan media sosial juga dirasa mampu mewadahi aspirasi masyarakat melalui berbagai unggahan dan komentar. Sehingga akan memudahkan partai dan calon kandidat yang maju dalam pemilu untuk memetakan strategi dan cara memenangkan suara. Apalagi beberapa bulan ke depan, tepatnya 2024 nanti, Indonesia akan merayakan pesta demokrasi secara besar-besaran. Maka, penggunaan data ini akan sangat menentukan hasil akhirnya. Namun, sejauh mana peranan big data dalam kampanye? Tantangan apa yang akan dihadapi dan bahaya apa yang sedang mengintai?
Strategi Kampanye
Contoh kesuksesan big data dalam pemilu dapat kita lihat dari pemilu Amerika Serikat pada 2016 lalu. Saat itu, tim Donald Trump mampu memanfaatkan data—termasuk data pribadi—yang ada dan memenangkan pilihan presiden dengan angka yang tinggi. Donald Trump menggunakan data penduduk, kemudian menganalisisnya untuk mengetahui minat masyarakat di setiap wilayah.
Hasil analisis itu lalu dijadikan dasar dalam menentukan strategi politik. Mulai dari memberi pengaruh di televsi, radio, bahkan juga media sosial. Upaya itu terbukti sukses dengan kemenangan Donald Trump yang pada akhirnya menjadi presiden terpilih.
Kembali Ke Indonesia, penggunaan big data dalam kampanye juga terjadi pada pemilu 2019. Informasi yang didapatkan dengan mudah dari media sosial bisa langsung dipetakan oleh calon kandidat berdasarkan umur, gender, ketertarikan, wilayah dan lain sebagainya. Sama seperti di AS, data itu juga menjadi dasar mereka untuk bergerak dan melaksanakan strategi kampanye.
Perang data tidak bisa dielakkan pada pemilu 2019. Banyak konsultan dan masing-masing tim sukses menggunakan big data analysist. Kampanye digital juga dinilai lebih efisien dan efektif ketimbang kampanye konvensional, mengingat saat itu pengguna internet sudah mencapai 156 juta atau sekitar 56 persen dari total penduduk Indonesia.
Adapun pada pemilu 2019, partisipan aktif dalam pemilihan diduduki oleh mereka yang tergolong milenial yang berada di kisaran 30-40 persen dari total pemilih. Maka, berbagai strategi kampanye di media digital menjadi pilihan yang tepat kala itu. Memanfaatkan data yang mudah diakses dan menggunakannya dengan maksimal.
Pencurian dan Kebocoran Data Mengintai
Kemenangan Donald Trump di pemilu AS 2016 sayangnya diwarnai dugaan isu tidak mengenakkan. Ia diduga mendapatkan data secara ilegal dari salah satu perusahaan, Cambridge Analytica. Tidak tanggung-tanggung, ada lebih dari 50 juta data yang disedot dengan ilegal yang kemudian digunakan untuk kampanye.
Adapun data-data itu diambil dari para pengguna sosial media, termasuk informasi pribadi yang seharusnya tidak disebarkan dengan tidak bertanggungjawab. Kebocoran data ini tentu memberikan banyak kerugian, baik pengguna media sosial maupun para calon presiden yang telah dicurangi.
Sementara di Indonesia, kasus kebocoran maupun pencurian data banyak menghiasi media. Mulai dari bocornya jutaan data pelanggan internet hingga belasan juta data Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bahkan menurut perusahaan keamanan siber asal Belanda, SurfShark, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan kasus kebocoran data terbanyak.
Terkait pemilihan umum, sayangnya data sebagian masyarakat Indonesia diduga bocor. Ada 105 juta lebih data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bocor dan bahkan dibanderol dengan harga Rp 74,4 juta saja di salah satu forum. Adapun data tersebut meliputi nomor induk kependudukan, nomor kartu keluarga, nama lengkap, serta keterangan status disabilitas.
Disahkannya Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada akhir 2022 lalu mungkin jadi salah satu jawaban. Namun, pelaksanaannya dinilai kurang efektif karena belum adanya lembaga khusus yang berwenang, kuat dan independen untuk mengurus aspek ini.
Padahal lembaga tersebut memiliki peran strategis untuk menjalankan amanah UU PDP. Satu di antaranya yakni merumuskan dan menetapkan kebijakan. Pun dengan penyusunan strategi sebagai pengendali serta prosesor data pribadi. Maka, perlu adanya kebijakan konkret pemerintah agar keamanan data bisa lebih terjamin, khususnya untuk mewujudkan pemilu yang sehat di 2024 nanti.
Masyarakat Cakap Digital
Tanggung jawab besar bukan hanya dipangku oleh pemerintah dengan mengeluarkan regulasi, namun juga setiap warga negara Indonesia. Masyarakat harus paham cara menjaga data pribadi agar tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak seharusnya.
Apalagi melihat kenyataan sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih bingung cara membuat email, mengirim gambar di Whatsapp, dan atau mengganti kata sandi. Padahal kegiatan itu merupakan hal mendasar dalam menggunakan gawai.
Maka, langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan membangun masyarakat cakap digital. Perlu adanya pemahaman kepada masyarakat, khususnya yang berusia lanjut tentang kecakapan dalam menggunakan gawai.
Anak muda juga harus turut serta dengan mengajari bagaimana menggunakan telepon genggam, merahasiakan password, dan bermain media sosial dengan aman. Memang perlu kesabaran dalam memberikan edukasi, namun semua itu akan sangat bermanfaat agar data pribadi tidak tersebar sembarangan. Pun bagi anak-anak yang sudah terpapar teknologi sejak dini. Perlu adanya penanganan khusus agar cakap digital saat dewasa nanti.
Dengan kerjasama berbagai pihak ini, diharapkan pelaksanaan pemilu di 2024 nanti bisa berjalan lancar dan fair. Tidak ada kasus dugaan kebocoran data pribadi hingga kecurangan data untuk strategi memenangkan pemilu. Regulasi juga harus jelas agar tidak ada peluang-peluang untuk berbuat buruk dalam proses kampanye hingga pemilu.(*)