Friday, October 24, 2025
spot_img

Bila Perjanjian Perkawinan Mengharuskan Mengabaikan Mertua

Berita Lainnya

Berita Terbaru

TANYA: Assalamu’alaikum. Mohon pentunjuk, bolehkah perjanjian perkawinan dengan mempersyaratkan yang pertama tidak ada kewajiban merawat mertua atau orangtua pasangan. Yang kedua harta isteri adalah milik isteri dan harta suami adalah milik suami tanpa ada harta bersama dan keluarga masing-masing tidak boleh mewarisi harta pasangannya. Terima kasih
Anis Fuad   +62 812-4977-xxxx

JAWAB: Wa’alaikumussalam. Perjanjian perkawinan secara umum diperkenankan, namun ulama memberikan beberapa ketentuan bila persyaratan tersebut berada pada rangkaian aqad/fishulbil ’aqdi.  a. Jika dalam perjanjian tersebut tidak sampai menghalang-halangi suami istri untuk mendapatkan hak-haknya maka perjanjian itu tidak berpengaruh pada keabsahan aqad nikah. b. Jika menghalangi salah satu pihak untuk mendapatkan haknya maka dengan adanya perjanjian itu pernikahan justru menjadi batal. Bila persyaratan tidak dimasukkan dalam rangkaian akad nikah maka tidak berpengaruh sama sekali terhadap keabsahan aqad pernikahan.

-Advertisement- HUT

Kewajiban Merawat Mertua dalam Islam


HUT

Islam sangat menekankan pentingnya berbakti kepada orang tua sebagai hak tertinggi. Mertua, meski secara status berada di bawah orang tua kandung, juga memiliki posisi penting yang harus dihormati dan dirawat dengan baik oleh menantu.

Dari hadits Rasulullah SAW, disebutkan bahwa yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan kasih sayang secara berurutan adalah ibu, ayah, kemudian keluarga dekat lainnya, termasuk mertua sebagai kerabat dari kedua orang tua yang harus diutamakan dalam berbakti dan penghormatan “mushoharoh”.

Karenanya bila persyaratan nikah itu mempersyaratkan untuk tidak saling merawat orang tua dari pasangan/mertua. Persyaratan yang dimasukkan dalam perjanjian perkawinan ini otomatis tertolak dan tidak harus dilaksanakan.

Memisahkan Harta Suami dan Isteri

Harta suami dan istri dalam pandangan syariat Islam memang seharusnya dipisah. Pemisahan ini memudahkan bila saat salah satu meninggal dunia untuk memilah mana yang boleh diwaris dan siap saja yang boleh mendapatkan warisan.

Menurut fiqih Syafi’iyyah dan pendapat ulama Hanafiyyah, apabila harta suami istri bercampur dan tidak dapat dibedakan, serta tidak ada kesepakatan pemilahan, maka pembagian akhir dilakukan dengan cara dibagi dua setelah masing-masing menyumpah kepemilikan harta tersebut. Ini menegaskan bahwa kepemilikan harta adalah individual, bukan bersama secara otomatis akibat perkawinan.

Dalam hukum Islam, tidak dikenal istilah harta gono-gini seperti yang lazim dalam adat atau hukum positif, melainkan setiap pasangan memiliki harta masing-masing yang berasal dari usaha pribadinya. Bila ada harta bersama, biasanya karena sengaja disatukan, maka hak kepemilikannya tetap harus dibedakan dengan perjanjian yang jelas, agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari.

Oleh karena itu, dalam Islam, harta suami dan istri harus diperlakukan sebagai milik terpisah, kecuali ada akad atau kesepakatan yang menggabungkannya secara sah. Jika terjadi perbedaan atau perselisihan, prinsip pembagian dua dan sumpah menjadi solusi akhir, sehingga keadilan dan kepastian hukum tetap terjaga sesuai ajaran Islam.

Kesimpulannya, perjanjian pernikahan diperkenankan dengan ketentuan tidak melanggar syariat. Bila persyaratan melanggar syariat seperti mempersyaratkan tidak boleh meminta nafkah atau kalau meninggal, hartanya tidak boleh diwariskan pada anak bawaan masing-masing meski secara tata urutan ahli waris dia berhak. Ketentuan seperti ini otomatis tertolak karena menghalangi hak seseorang  dan tidak harus dipatuhi secara fikih. Semoga dipahami wassalam. (*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img