.
Friday, November 22, 2024

Bisnis Kuliner Terpukul Migor, Restoran Bingung, Produsen Kerupuk Setop Produksi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA-Mahal dan minimnya stok minyak goreng (migor) bikin pusing pelaku usaha kecil di Malang Raya. Terutama bisnis kuliner maupun berbagai makanan olahan. Akibatnya menghentikan produksi. Pekerja mulai dirumahkan.

Kondisi ini paling banyak dialami industri rumahan yang memproduksi kerupuk hingga keripik tempe serta berbagai usaha kuliner. Di Kota Malang contohnya, industri kerupuk Doa Ibu di Gang 21 B Gadang memilih berhenti produksi. 

Pemilik Industri Kerupuk Doa Ibu, Zaenal Abjad menjelaskan sejak Jumat (18/3) kemarin usahanya resmi berhenti produksi. Itu dikarenakan ketidaktersediaan bahan baku. Sudah begitu migor kemasan pun kosong.

“Semua karyawan masih dirumahkan. Perkiraan akan berhenti produksi selama satu minggu. Menunggu ketersediaan bahan pokok dulu,” ujar Zaenal. Bahan pokok yang dikeluhkan yakni tepung tapioka dan migor yang harganya mahal serta sulit dicari. “Harga tepung tapioka sekarang juga naik. Sebelumnya per kwintal hanya Rp 980 ribu, kemarin terakhir beli sudah Rp 1.020.000 per kwintal,” katanya. 

Selain itu lanjut dia, berhenti produksi sementara bertujuan menghabiskan stok kerupuk. Kembali produksi setelah menentukan harga baru sesuai harga pokok. Prinsipnya mengambil untung sedikit asal usaha tetap berjalan.

Terpisah penggagas Paguyuban  Sanan Sentra Industri Tempe Ifan Kuncoro menjelaskan, hampir semua pengrajin tempe menurunkan jumlah produksi.

“Sebenarnya hal ini terjadi sejak awal pandemi. Tapi bahan baku semakin langka dan mahal untuk produk olahannya. Terpaksa harus menurunkan jumlah produksi,” ungkap Ifan.

Dari 400 lebih pengrajin tempe menurunkan produksinya sekitar 30 persen hingga 50 persen. Rata-rata 70 persen pengrajin memproduksi 50 kilogram per harinya.

“Harga produk juga tidak stabil, naik turun mengikuti harga bahan baku. Kripik dulu normalnya Rp 35 ribu per kilogram. Sekarang mencapai Rp 40 ribu hingga Rp 60 ribu per kilogram. Tergantung pengrajin,” kata dia. 

Pebisnis kuliner di Kota Batu juga mengaku pusing. Sebab mahalnya harga migor membuat pelaku usaha kuliner merogoh kocek lebih dalam dari biasanya.

Lonjakan harga migor ibarat hantaman baru setelah sebelumnya terimbas pembatasan selama pandemi. Padahal aktivitas pelaku usaha kuliner belakangan baru mulai bergeliat kembali.

Manager Gubug Makan Mang Engking, Galih Sari Palupi mengatakan beban kenaikan harga itu terasa berat bagi restorannya. Jika biasanya beli migor dengan kisaran harga Rp 14 ribu per liter, belakangan harus mengeluarkan Rp 23 ribu per liter di pedagang eceran.

“Memang dampak yang kita rasakan saat ini susah cari migor. Pengeluaran operasional untuk migor lebih banyak,” ungkap Galih.

Gubug Makan Mang Engking bisa menghabiskan sedikitnya 15 liter migor dalam sehari. Ia mencatat selisih pengeluaran migor dalam sehari bisa mencapai 80 persen dari harga sebelumnya.

Di sisi lain, para pedagang tidak bisa serta merta menaikkan harga dagangan. Alasannya persaingan bisnis kuliner sangat ketat. Mereka pun rela keuntungannya berkurang ketimbang kehilangan pelanggan.

“Terlebih hampir semua menu makanan kami membutuhkan minyak goreng. Seperti ayam, tahu, sayur yang ditumis, kentang dan masih banyak lagi,” katanya.

Hal serupa juga dialami produsen tahu di Kelurahan Temas Kota Batu, Sutrisno yang setiap hari menggoreng tahu hingga puluhan kilogram. Ia  menceritakan dampak kenaikan harga migor terhadap usaha yang dijalankannya.

“Namanya minyak goreng barang baku, harus ada, tidak boleh tidak ada. Walaupun harganya naik, pelaku usaha yang penting ada. Memang bermasalah kalau harganya naik, pastinya mengurangi profit,” ujarnya.

Menaikkan harga kata dia, tidaklah mudah. Kini hanya bisa berharap kondisi ini hanya sementara. Karena jika menaikkan harga, pasti juga akan berpengaruh terhadap pembeli.

Sekarang hanya bisa berharap pemerintah segera turun tangan mencari solusi untuk pelaku UMKM, khususnya pedagang kaki lima. Misalnya menjual migor berharga murah khusus untuk pedagang.  

Keresahan serupa juga dirasakan pengusaha keripik buah di Kecamatan Pakis Kabupaten Malang. Kebutuhan migor industri keripik juga cukup tinggi. Jika harga migor meroket, mereka kesulitan produksi. Salah satu pabrik keripik buah di Sumberpasir Pakis Levina terancam berhenti produksi akibat harga migor meroket.  

Owner Pabrik Keripik Buah Levina, Yuliani mengatakan pabriknya masih mengandalkan stok migor dari sisa stok yang ada untuk menggoreng. Aktivitas produksinya diperkirakan berhenti sekitar dua pekan kedepan. Sehari mampu menghabiskan 72 liter migor untuk menggoreng 100 kilogram keripik.  

Industri dengan 20 karyawan itu keberatan dengan harga Rp 25 ribu per liter. “Naiknya hampir dua kali lipat, Rp 450 ribu untuk 18 liter. Dengan harga segitu kami tidak bisa produksi. Mungkin sekitar dua minggu kedepan berhenti sementara,” katanya.

Begitu juga produsen kerupuk di Kepanjen memilih berhenti produksi karena rugi. Seperti Surono, produsen kerupuk di Desa Penarukan Kecamatan Kepanjen.Terpaksa merumahkan pekerjanya akibat mahalnya harga migor.

Produsen kerupuk bermerk ‘Sahabat’ itu sudah tidak menggoreng lagi. Di pabrik rumahan miliknya, para pegawai hanya sibuk menjemur kerupuk. “Ya per hari ini (kemarin) sudah berhenti ini cuma menjemur saja, besok sudah dirumahkan” katanya.

Dia telah memantau harga migor di pasar langganannya. Per liter  seharga Rp 24 ribu.  Dua minggu terakhir saat migor langka dan harganya naik, pria asal Yogyakarta ini mengaku merugi Rp 30 juta. (nit/ran/tyo/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img