Malang Posco Media – Pada 17 Agustus 2045 Indonesia akan genap berusia 100 tahun. Untuk menyambut momentum tersebut, pemerintah menetapkan visi “Indonesia Emas 2045”, sebuah cita-cita ideal bagi Indonesia untuk menjadi negara berdaulat, maju, adil dan makmur pada tahun 2045.
Visi tersebut dirumuskan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dan diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2019. Presiden optimistis bahwa Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar keempat atau kelima di dunia pada 2045.
Indonesia diperkirakan menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2036 dan PDB terbesar ke-5 (USD 23.199 per kapita) pada tahun 2045. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif akan meningkatkan jumlah kelas pendapatan menengah menjadi sekitar 70 persen pada tahun 2045.
Kementerian PPN dan BPS memperkirakan Indonesia akan mengalami bonus demografi pada 2045, tepat saat Republik Indonesia berusia 100 tahun. Bonus demografi adalah kondisi di mana penduduk yang berusia produktif lebih banyak dibanding dengan penduduk usia tidak produktif.
Dalam laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 318,96 juta pada 2045. Dari jumlah tersebut, penduduk usia produktif (15-64 tahun) diperkirakan mencapai 207,99 juta (65 persen), sedangkan penduduk usia tidak produktif mencapai 110,97 juta (35 persen), terdiri 44,99 juta penduduk usia tidak produktif (di atas 65 tahun) dan 65,98 juta penduduk usia belum produktif (0-14 tahun). Berdasarkan data tersebut, angka ketergantungan (dependency ratio) penduduk Indonesia pada 2045 diperkirakan sebesar 53,35 persen, artinya 100 penduduk usia produktif menanggung beban 54 penduduk usia tidak produktif.
Keberhasilan mencapai visi Indonesia Emas 2045 sangat tergantung pada kemampuan bangsa Indonesia membentuk bonus demografi menjadi sumber daya manusia berkualitas. Pengalaman Singapura membuktikan bahwa kualitas SDM adalah penentu utama kemajuan suatu bangsa.
Meskipun berpenduduk hanya 5,5 juta jiwa dan tanpa sumber daya alam, Singapura berhasil menjadi negara paling maju (paling kaya dan paling kompetitif) di kawasan ASEAN dan sepuluh besar negara maju di dunia. Singapura merupakan negara terkaya di ASEAN dengan pendapatan per kapita USD 59.797 (sekitar Rp 885 juta) atau 15,5 kali lipat dibandingkan pendapatan per kapita penduduk Indonesia USD 3.869 (sekitar Rp 57 juta).
Kemajuan Singapura tersebut terjadi karena didukung kualitas sumber daya manusia yang unggul. Data IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Singapura tahun 2020 menempati urutan nomor satu di ASEAN, nomor dua di Asia dan nomor 11 di dunia, sedangkan IPM Indonesia pada urutan nomor lima di ASEAN, nomor 26 di Asia, dan nomor 107 di dunia.
Pemanfaatan bonus demografi sebagai modal dasar mencapai visi “Indonesia Emas 2045” menghadapi tantangan bernama “stunting.” Stunting didefinisikan sebagai kondisi anak usia 0–59 bulan, di mana tinggi badan menurut umur berada di bawah minus 2 Standar Deviasi dari standar median Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
BKKBN menyebutkan sebanyak 1,2 juta (24 persen) di antara 5 juta kelahiran setiap tahun dalam kondisi stunting yang diukur melalui ukuran panjang tubuh tidak sampai 48 sentimeter dan berat badan tidak sampai 2,5 kilogram.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita. Angka ini lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan WHO yaitu kurang dari 20 persen jumlah balita.
Persentase stunting Indonesia lebih tinggi dibanding sejumlah negara Asia Tenggara seperti Vietnam (23), Filipina (20), Malaysia (17), dan Thailand (16). WHO menempatkan status Indonesia berada di urutan keempat dunia dan urutan kedua di Asia Tenggara terkait jumlah balita stunting. Penurunan prevalensi stunting merupakan program super prioritas pemerintah dengan target 3-3,5 persen setiap tahun, sehingga maksimum 14 persen pada tahun 2024.
Stunting adalah masalah kurangnya asupan gizi dalam rentang waktu yang lama yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik anak, sehingga tinggi badannya lebih pendek dari standar usianya. Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, di mana dalam jangka pendek berpengaruh pada kemampuan kognitif.
Dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental dan rendahnya kemampuan belajar, sehingga mengurangi kapasitas untuk berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan bekerja dengan pendapatan lebih baik.
Anak stunting yang berhasil mempertahankan hidupnya, pada usia dewasa cenderung akan menjadi gemuk (obese), dan berpeluang menderita penyakit tidak menular (PTM), seperti hipertensi, diabetes, kanker, dan lain-lain. Stunting juga diyakini akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan.
Akar masalah stunting adalah kemiskinan yang kemudian berdampak negatif terhadap pendidikan dan kesehatan. Kasus stunting banyak ditemukan di daerah dengan kemiskinan tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah.
Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi stunting Jatim saat ini tidak terpaut jauh dari angka nasional, yaitu mencapai 26,91 persen. Ada 16 (42 persen) kabupaten/kota di Jatim yang termasuk zona merah stunting, yaitu Kabupaten Lamongan, Nganjuk, Trenggalek, Kabupaten dan Kota Kediri, Kota Batu, Kabupaten dan Kota Malang, Kabupaten dan Kota Probolinggo, Kabupaten Jember, Bondowoso, dan empat kabupaten di Madura yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Tujuh di antara 16 kabupaten/kota tersebut merupakan kabupaten termiskin di Jawa Timur. BPS Jatim (2019) mencatat persentase kemiskinan di 10 kabupaten termiskin masing-masing Sampang 20,71 persen, Sumenep 19,8 persen, Bangkalan 18,9 persen, Probolinggo 17,76 persen, Tuban 14,58 persen, Ngawi 14,39 persen, Pamekasan 13,95 persen, Pacitan 13,67 persen, Bondowoso 13,33 persen, dan Lamongan 13,21 persen.
Suatu daerah yang banyak penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, bisa dipastikan kualitas pendidikan dan kesehatan di wilayah tersebut kurang baik.
Hasil penelitian Rosha dkk. (2012) menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu memengaruhi kejadian stunting anak. Pendidikan ibu memengaruhi pengetahuan mengenai praktik kesehatan dan gizi anak sehingga anak berada dalam keadaan status gizi yang baik.
Judith dan Stand (1996) dalam penelitiannya di Filipina menunjukkan bahwa pendidikan ibu memengaruhi kejadian wasting (kurus) dan stunting. Semba dkk. (2008) juga menegaskan bahwa pendidikan ibu merupakan penentu kejadian stunting di Indonesia. Ibu dengan tingkat pendidikan SD memiliki peluang 1,56 kali memiliki anak dengan status stunting dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan SMP ke atas.
Ibu yang memiliki pendidikan SMP ke atas cenderung lebih baik dalam pola asuh anak serta lebih baik dalam pemilihan jenis makanan anak. Hal ini dikarenakan ibu dengan pendidikan SMP ke atas memiliki peluang lebih besar dalam mengakses informasi mengenai status gizi dan kesehatan anak sehingga pengetahuannya meningkat. Informasi tersebut kemudian dipraktikkan dalam proses perawatan anak yang berimbas pada status gizi dan kesehatan anak yang lebih baik.(*)