Oleh:
- Wandi
- Moh. Zainol Rachman
(Dosen Poltekkes Kemenkes Malang)
wandi@poltekkes-malang.ac.id
Korupsi telah menjadi masalah kronis di Indonesia, merambah berbagai sektor dan tingkatan pemerintahan mulai di tingkat kementerian sampai ke tingkat Desa. Anekdot mengatakan bahwa korupsi di Indonesia meliputi seluruh wilayah baik darat, laut maupun udara. Kasus-kasus terbaru menunjukkan bahwa praktik ini masih merajalela dan memerlukan penanganan serius.
Salah satu kasus yang mencuat adalah skandal di tubuh Pertamina, di mana sejumlah pejabat terlibat dalam korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang antara tahun 2018 hingga 2023. Kejaksaan Agung menyebutkan bahwa kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 193,7 triliun pada tahun 2023, dan total kerugian selama lima tahun diperkirakan mencapai Rp 968,5 triliun. Ini hal yang sangat memprihatinkan karena disisi lain masih banyak masyarakat yang menderita sakit dan kelaparan.
Kasus lainnya melibatkan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang diproses atas tuduhan suap dan menghalangi proses hukum dalam kasus penunjukan anggota parlemen pada tahun 2019. Hasto diduga menyuap pejabat pemilu untuk mengamankan kursi parlemen bagi Harun Masiku, yang saat ini masih buron.
Korupsi di Indonesia bukan sekadar tindakan individu, melainkan telah menjadi bagian dari budaya yang mengakar. Faktor-faktor seperti keserakahan, kebutuhan, kesempatan, dan eksposur menjadi pemicu utama. Budaya malu yang seharusnya menjadi penghalang moral pun tampaknya mulai memudar, terlihat dari masih adanya pelaku korupsi yang dengan percaya diri tampil di hadapan publik tanpa rasa bersalah.
Seorang pencuri ayam saja bila diproses hukum berusaha untuk menutup wajahnya karena malu, tetapi seorang koruptor triliunan malah percaya diri tampil di hadapan publik.
Pencegahan korupsi memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Salah satu langkah strategis adalah melalui pendidikan antikorupsi yang dimulai dari lingkungan keluarga.
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran dan integritas sejak dini. Pedidikan budaya anti korupsi telah diajarkan di bebagai jenjang pedidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai di perguruan tinggi baik berdiri dalam satu mata pelajaran sediri maupun disisipkan pada mata pelajaran yang relevan.
Misalnya di Poltekkes Kemekes Malang berdiri sendiri sebagai mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi sebanyak 2 sks. Sejak adanya Mata Kuliah ini di Poltekkes Kemenkes Malang, budaya memberikan bingkisan, konsumsi pada saat ujian dan sejenisnya yang diberikan oleh mahasiswa kepada dosen tidak ada lagi. Hal ini adalah sebagai aplikasi dari Pendidikan Budaya anti korupsi.
Selain pendidikan anti korupsi, penguatan budaya organisasi dan kode etik di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) juga krusial. Edukasi dan sosialisasi nilai-nilai integritas perlu dilakukan secara intensif, disertai dengan sistem reward and punishment yang jelas untuk mendorong perilaku antikorupsi.
Program Desa Antikorupsi yang digagas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menjadi inisiatif penting dalam membangun integritas dari tingkat desa. Program ini melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengawasan dan pengelolaan tata kelola desa yang bersih dan transparan.
Dari uraian tadi dapat disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia merupakan tantangan besar yang memerlukan upaya bersama dari seluruh elemen masyarakat. Pendidikan antikorupsi sejak dini, penguatan budaya organisasi, serta partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan menjadi kunci dalam membangun budaya antikorupsi yang kuat. Hanya dengan komitmen dan kerja sama yang konsisten, Indonesia dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. (*)