.
Thursday, December 12, 2024

Budaya Malu dan Seksualitas Sejak Dini

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Nyaris setiap waktu kita disuguhi berita, banyaknya anak–anak yang menjadi korban kekerasan seksual maupun pencabulan dari orang–orang yang tidak beradab. Berapa banyak pelaku kejahatan seksual yang selalu mengorbankan anak–anak lainnya, khususnya anak-anak yang rentan terkait pengetahuan seksualitas.

         Mayoritas sekolah sudah menerapkan dalam pengetahuan seksualitas kepada peserta didik, dari tingkat TK–SMA/MA. Akan tetapi masih banyak yang menganggap bahwa mengajarkan hal seksualitas pada anak adalah hal yang tabu. 

         Dilansir dari laman situs kompas.com (4/3/2022), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Data tersebut berasal dari laporan yang didapatkan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA).

         Dengan data yang diperoleh dalam kurun waktu satu bulan saja, sudah 797 anak yang terdampak dengan kekerasan seksual, ini menunjukkan kurangnya kampanye seksualitas sebagai pengetahuan yang dapat diterima oleh anak, demi menjaga dirinya dari orang–orang yang memang mengedapankan nafsu belaka.

         Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan seksual merupakan semua tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh tindakan seksual atau tindakan lain yang diarahkan pada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban (WHO, 2017).

         Kekerasan seksual ini harus diperingatkan sejak dini kepada semua anak di Indonesia untuk preventif diri bagi anak. Orang tua maupun sekolah, tidak perlu takut lagi untuk mengajarkan hal yang memang sangat penting dan bukan hal yang tabu lagi.

         Tidak perlu menunggu anak memiliki umur yang sesuai, atau mengalir begitu saja, mengikuti perkembangan umur, melainkan harus diajarkan sedini mungkin, agar anak juga mendapatkan suatu wawasan pengetahuan seksualitas dalam menjaga tubuh yang dimilikinya.

         Sekolah harus bekerja sama dengan orang tua, dalam mengajarkan hal yang berbau seksualitas, anak akan memahami jika dari sisi lingkungan rumahnya juga mengajarkan hal yang sama yang ada di sekolah. Guru maupun orang tua harus bekerjasama dalam mendidik anak dari segi yang mendasar dalam seksualitas.

         Hal yang utama yang harus diajarkan kepada anak adalah anggota tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Anak–anak pastinya akan memiiki rasa curiousity yang lebih besar dari orang dewasa. Perlu diajarkan pula adanya perbedaan dua jenis kelamin yang ada, yaitu perempuan dan laki–laki.

         Dari dua jenis kelamin ini, dikenalkan bagian tubuh yang ada di dua kelamin tersebut. Dari perbedaan yang dimiliki oleh perempuan dan laki–laki menjadikan hal mendasar untuk mengajarkan hal seksualitas dari kedua jenis kelamin, yang memiliki perbedaan di setiap tubuhnya.

         Misalnya, perempuan memiliki vagina yang berhubung dengan rahim, hal ini kadang juga hal yang mendasar untuk menjelaskan bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak terkait bagaimana dirinya bisa terlahir ke dunia maupun adiknya yang tiba–tiba ada muncul di dunia.

         Perempuan juga memiliki payudara yang kelak akan membesar seiring waktu, dan dapat menyusui bayi atau memberikan asi yang hanya dimiliki oleh Ibu. Kemudian laki–laki yang memiliki penis sebagai alat vital dalam organ kelamin dan laki–laki memiliki payudara yang tidak akan membesar apalagi tidak dapat memberikan asi kepada bayi.

         Dua hal ini, harus diajarkan kepada anak sedini mungkin. Dari perbedaan alat kelamin saja, pastinya akan memunculkan pertanyaan–pertanyaan yang membuat takjub. Dari pertanyaan–pertanyaan inilah, jawaban dapat dianalogikan agar mudah dipahami anak. Guru maupun orang tua tidak perlu takut untuk mengajarkan istilah-istilah yang harus diketahui anak. Seperti penggunaan kata rahim untuk tempat pertumbuhan janin.

         Setelah mengajarkan dua hal yang berbeda pada kedua jenis kelamin, ajarkan pula budaya malu pada anak. Ketika budaya malu diimplementasikan pada anak, anak akan memahami bahwa bagian tubuh itu tidak sembarang diperlihatkan kepada orang lain. Misalnya ketika berganti pakaian, harus diketahui adanya dua tempat yang dibedakan.

         Pelbagai hal yang sudah diajarkan kepada anak, bagaimana pentingnya menjaga diri dari pelaku kekerasan seksual merupakan pembelajaran seksualitas yang mendasar bagi anak. Anak juga harus diajarkan dengan cara melaporkan atau dengan istilah menceritakan kegiatan–kegiatan yang dilakukan maupun mengungkapkan perasaan yang dimilikinya.

         Misalnya, menanyakan bagaimana hari ini di sekolah? Apa saja yang dilakukan tadi di sekolah? Kegiatan apa yang tadi mengasyikkan yang kamu lakukan? Ada kejadian apa di sekolah hari ini? Dari pertanyaan–pertanyaan inilah, anak dapat mengungkapkan rasa yang dialami dan dijalaninya.

         Dari komunikasi yang intens inilah orang tua juga dapat menjalin hubungan erat dengan anak dan mengetahui setiap kegiatan yang dilakukan sang anak. Sehingga bila ada hal–hal yang aneh dan mencurigakan segera bisa diketahui sejak dini.  

         Disahkannya RUU TPKS (Rancangan Undang–Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) menjadi UU disambut gembira masyarakat. Pemerintah mengedepankan untuk segala perbuatan kekerasan seksual, yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 RUU TPKS yakni:

         “Setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.”          Bagaimana pemerintah juga turut andil dalam segala upaya untuk mencegah terjadi kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual.

         Dalam RUU TPKS, pelaku kekerasan seksual tidak akan bisa menggunakan pendekatan restorative Justice yang mana akan menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan pelaku dengan mengedepankan kata keadilan dan keseimbangan, ataupun dengan kata lain untuk mencegah terjadinya penyelesaian kasus dengan cara upaya kekeluargaan ataupun dengan penyelesaian dengan uang.

         Kekerasan seksual bisa diminimalisir bahkan dihindari dengan pemberian pembelajaran seksualitas kepada anak. Bukan sebagai hal preventif saja, tetapi sebagai pengetahuan mendasar seksualitas dari segi untuk mengenalkan bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img