Bulan Ramadan bisa jadi ajang bertemunya budaya masjid dan budaya pasar. Saat Ramadan masjid jadi ramai orang salat tarawih, tadarus Al Qur’an, dan ibadah lainnya. Sementara itu, pasar, supermarket, mall, dan pusat-pusat perbelanjaan juga penuh sesak orang. Ramadan jadi ajang bertemunya religiusitas dengan konsumerisme. Budaya masjid yang religius harus berhadapan dengan budaya pasar yang profan.
Menurut Kuntowijoyo, ada dua budaya yakni budaya masjid dan budaya pasar. Budaya masjid menggambarkan religiusitas dan jauh dari sifat foya-foya, sementara budaya pasar adalah budaya yang penuh dengan tipu daya dan lebih mementingkan materi. Pengendalian nafsu saat Ramadan bertemu dengan pembiaran nafsu belanja yang tinggi. Terjadi paradoks antara agama dengan ruang konsumerisme.
Kapitalisme telah merasuk di bulan suci hingga bisa menodai pahala ibadah. Bulan puasa yang sejatinya bulan pengendalian diri namun yang terjadi justru pembiaran diri. Pembiaran untuk melakukan banyak hal termasuk dengan tak mengekang bisikan hawa nafsu konsumerisme. Puasa yang esensinya mengurangi konsumsi barang dan jasa, namun yang terjadi justru jadi konsumtif pada aneka produk yang dijajakan pasar.
Komodifikasi Ramadan
Komodifikasi merupakan cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital atau menyadari transformasi nilai guna jadi nilai tukar. Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan objek dan proses dan menjadi salah satu indikator kapitalisme global yang kini tengah terjadi. Komodifikasi merupakan bentuk transformasi dari hubungan hal-hal yang bisa diperdagangkan.
Agama dan hal-hal yang terkait dengan agama, seperti Ramadan telah menjadi sebuah komoditas. Seperti layaknya komoditas barang dan jasa, maka sebuah komoditas pasti mempunyai nilai jual yang bisa digunakan untuk mendapatkan keuntungan. Di sinilah Ramadan telah dipandang sebagai komoditas dan kapitalisme telah melakukan komodifikasi atas agama dan Ramadan.
Budaya konsumtif justru muncul pada bulan yang mestinya diisi dengan tirakat ini. Terjadi paradoks antara nilai-nilai di bulan suci dengan pesan-pesan iklan dan promosi aneka produk kapitalisme. Di satu sisi Ramadan mengajarkan untuk hidup sederhana dan tak bermewah-mewah, sementara pada kesempatan yang sama tak sedikit masyarakat yang memborong aneka produk barang dan jasa.
Perayaan Idul Fitri atau dikenal sebagai hari raya Lebaran punya kaitan yang erat dengan konsep “serba baru” dalam budaya dan tradisi masyarakat di beberapa wilayah. Setiap Lebaran banyak orang biasanya juga mendapatkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) yang merupakan tunjangan yang diberikan kepada karyawan sebagai bentuk penghargaan dan dukungan untuk merayakan hari raya Idul Fitri.
Uang THR selalu dinanti orang untuk dibelanjakan aneka barang serba baru demi merayakan Lebaran. Dalam kaitan ini budaya pasar biasa mendominasi aktivitas masyarakat terutama di minggu-minggu akhir jelang hari raya. Pasar, supermarket, dan pusat-pusat perbelanjaan diserbu banyak orang demi berburu aneka kebutuhan perayaan Idul Fitri. Pada situasi ini, tak sedikit masyarakat yang cenderung konsumtif.
Bujuk Rayu Promosi
Promosi dan konsumerisme saat Ramadan dan Idul Fitri punya kaitan erat karena promosi adalah salah satu strategi pemasaran yang digunakan oleh perusahaan untuk mendorong konsumen agar membeli produk atau layanan mereka. Promosi dapat melibatkan berbagai jenis aktivitas pemasaran, seperti iklan, diskon, hadiah gratis, kontes, program loyalitas, dan sebagainya, yang bertujuan untuk menginformasikan, memengaruhi, dan menggugah minat konsumen untuk melakukan pembelian.
Konsumerisme merujuk pada sikap atau pandangan masyarakat yang cenderung fokus pada konsumsi berlebihan, pencapaian materi, dan kepemilikan barang sebagai ukuran keberhasilan atau kebahagiaan. Konsumerisme seringkali mendorong konsumen untuk terus membeli barang dan jasa, terkadang di luar kebutuhan sehari-hari mereka, dalam upaya untuk memperoleh status sosial, memenuhi harapan masyarakat, atau memuaskan keinginan pribadi.
Bujuk rayu promosi Ramadan dan Idul Fitri dapat mendorong orang melakukan pembelian impulsif, di mana orang membeli barang atau jasa tanpa pertimbangan yang matang mengenai kebutuhan atau anggaran mereka. Hal ini dapat mengarah pada konsumerisme yang berlebihan, di mana konsumen sering kali membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Sering pembelian impulsif (impulsive buying) terjadi karena bujuk rayu diskon besar-besaran, penawaran terbatas waktu, atau hadiah gratis.
Industri juga terus berusaha meningkatkan ekspektasi konsumen. Promosi yang berfokus pada pencapaian materi, status sosial, atau kepuasan pribadi dapat meningkatkan ekspektasi konsumen terhadap produk atau layanan yang ditawarkan. Hal ini dapat mendorong konsumen untuk terus mencari produk yang lebih baik atau lebih mahal, dalam upaya untuk memuaskan keinginan mereka, dan pada akhirnya meningkatkan konsumerisme.
Budaya masjid dan budaya pasar itu bertemu saat Ramadan. Ini pilihan yang serba sulit karena antara dua budaya tersebut saling bertolak belakang. Tak jarang nilai ibadah puasa Ramadan jadi ambyar gara-gara tak kuasa turuti bujuk rayu kapitalisme Ramadan dan Idul Fitri. Sungguh tak mudah perang lawan godaan syetan saat Ramadan juga godaan bujuk rayu konsumerisme.(*)