Menurut Kuntowijoyo, ada dua budaya yakni budaya masjid dan budaya pasar. Budaya masjid menggambarkan religiusitas dan jauh dari sifat foya-foya, sementara budaya pasar adalah budaya yang penuh dengan tipudaya dan lebih mementingkan materi. Praktik dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat kental dengan dua budaya ini saat Ramadan dan Idul Fitri. Komodifikasi Ramadan dan Lebaran telah menjadikan momentum agama berada dalam ruang profan dan hedonis.
Bulan Ramadan telah menjadi ajang pertemuan antara budaya masjid dan budaya pasar di lingkungan masyarakat. Beragam kegiatan yang bernuansa masjid seperti pengajian, sholat tarawih, ceramah agama, talkshow bertema Islam, kajian kitab dan hadist banyak dilakukan orang. Masjid, mushola, langgar, dan surau ramai dipadati orang beribadah. Namun, pada saat yang sama juga muncul budaya pasar lewat berbagai aktivitas berbelanja dan berburu promosi lebaran.
Perayaan Idul Fitri atau dikenal sebagai hari raya Lebaran punya kaitan yang erat dengan konsep “serba baru” dalam budaya dan tradisi masyarakat di beberapa wilayah. Setiap Lebaran banyak orang biasanya juga mendapatkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) yang merupakan tunjangan yang diberikan kepada karyawan sebagai bentuk penghargaan dan dukungan untuk merayakan hari raya Idul Fitri.
Uang THR selalu dinanti orang untuk dibelanjakan aneka barang serba baru demi merayakan Lebaran. Dalam kaitan ini budaya pasar biasa mendominasi aktivitas masyarakat terutama di minggu-minggu terakhir jelang hari raya. Pasar, supermarket, dan pusat-pusat perbelanjaan diserbu banyak orang demi berburu aneka kebutuhan perayaan Idul Fitri. Pada situasi ini, tak sedikit masyarakat yang cenderung konsumtif.
Bujuk Rayu Promo Lebaran
Promosi dan konsumerisme saat Ramadan dan Lebaran memiliki kaitan erat karena promosi adalah salah satu strategi pemasaran yang digunakan oleh perusahaan untuk mendorong konsumen agar membeli produk atau layanan mereka. Promosi dapat melibatkan berbagai jenis aktivitas pemasaran, seperti iklan, diskon, hadiah gratis, kontes, program loyalitas, dan sebagainya, yang bertujuan untuk menginformasikan, memengaruhi, dan menggugah minat konsumen untuk melakukan pembelian.
Konsumerisme merujuk pada sikap atau pandangan masyarakat yang cenderung fokus pada konsumsi berlebihan, pencapaian materi, dan kepemilikan barang sebagai ukuran keberhasilan atau kebahagiaan. Konsumerisme seringkali mendorong konsumen untuk terus membeli barang dan jasa, terkadang di luar kebutuhan sehari-hari mereka, dalam upaya untuk memperoleh status sosial, memenuhi harapan masyarakat, atau memuaskan keinginan pribadi.
Bujuk rayu promosi Lebaran dapat mendorong orang melakukan pembelian impulsif, di mana orang membeli barang atau jasa tanpa pertimbangan yang matang mengenai kebutuhan atau anggaran mereka. Hal ini dapat mengarah pada konsumerisme yang berlebihan, di mana konsumen sering kali membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Sering pembelian impulsif (impulsive buying) terjadi karena bujuk rayu diskon besar-besaran, penawaran terbatas waktu, atau hadiah gratis.
Industri juga terus berusaha meningkatkan ekspektasi konsumen. Promosi yang berfokus pada pencapaian materi, status sosial, atau kepuasan pribadi dapat meningkatkan ekspektasi konsumen terhadap produk atau layanan yang ditawarkan. Hal ini dapat mendorong konsumen untuk terus mencari produk yang lebih baik atau lebih mahal, dalam upaya untuk memuaskan keinginan mereka, dan pada akhirnya meningkatkan konsumerisme.
Tak sedikit masyarakat yang selalu berusaha mengikuti tren dan gaya hidup. Promosi yang berkaitan dengan tren, gaya hidup, atau citra merek dapat memengaruhi konsumen untuk membeli produk atau layanan sebagai ekspresi diri atau untuk mencocokkan diri dengan kelompok tertentu. Hal ini dapat memicu konsumerisme, di mana konsumen tergoda untuk terus mengikuti tren dan gaya hidup yang terus berubah, meskipun mereka mungkin tidak benar-benar membutuhkan produk atau layanan tersebut.
Flexing Kemewahan
Di beberapa budaya atau masyarakat di Indonesia, terutama di perkotaan, ada tradisi pamer kemewahan saat menjelang Lebaran. Beberapa orang atau keluarga mungkin ingin menunjukkan status sosial atau keberhasilan finansial mereka dengan cara memamerkan barang-barang mewah, seperti mobil baru, pakaian mahal, atau perhiasan saat merayakan Lebaran. Fenomena ini dikenal sebagai pamer (flexing) kemewahan.
Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi fenomena pamer kemewahan saat Lebaran di Indonesia. Salah satu faktornya adalah budaya konsumerisme yang semakin berkembang di masyarakat perkotaan Indonesia. Pendorong dari iklan, media sosial, atau lingkungan sekitar dapat membuat beberapa orang tergoda untuk membeli barang-barang mewah atau mengikuti tren konsumsi saat merayakan Lebaran.
Faktor lain pemicu munculnya fenomena pamer bisa jadi karena terjadinya kompetisi sosial. Perbandingan sosial atau kompetisi sosial juga bisa menjadi faktor dalam fenomena pamer kemewahan saat Lebaran. Beberapa orang mungkin merasa perlu untuk berkompetisi atau bersaing dengan orang lain dalam hal memiliki barang-barang mewah atau tampilan yang mengesankan.
Perlu diingat bahwa pamer kemewahan saat Lebaran bukanlah tradisi yang seharusnya dipromosikan, karena Lebaran sebenarnya merupakan waktu untuk bersyukur, bersilaturahmi, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Menunjukkan sikap rendah hati, tidak memamerkan kemewahan, dan mengutamakan nilai-nilai kebersamaan, kedamaian, serta kasih sayang adalah hal-hal yang lebih penting dalam merayakan Lebaran dengan bijaksana.
Sejatinya Idul Fitri bukanlah tentang pamer kemewahan tetapi lebih pada penyucian diri dan pembaruan batin. Sebagai perayaan agama Islam yang memiliki nilai-nilai spiritual, Idul Fitri seharusnya tidak terpengaruh oleh bujuk rayu kapitalisme atau konsumerisme. Namun, dalam praktiknya, ada beberapa faktor yang dapat membuat sebagian orang tergoda oleh gaya hidup konsumeristik yang mendorong konsumsi berlebihan selama perayaan Idul Fitri.
Untuk menjalani Idul Fitri dengan bijaksana dan tidak terjebak dalam bujuk rayu kapitalisme memang perlu kesadaran dan kewaspadaan. Mengupayakan sekuat tenaga dengan lebih memrioritaskan budaya masjid ketimbang budaya pasar akan menyelamatkan masyarakat dari penetrasi kapitalisme dan konsumerisme yang merasuk lewat aneka bujuk rayu promosi Ramadan dan Lebaran. Sadarilah! (*)