Malang Posco Media – Belum banyak yang budidaya anggrek. Padahal bisnisnya menjanjikan. Dedek Setia Santoso membaca peluang emas itu. Warga Jalan Marto Rejo Kelurahan Dadaprejo Kecamatan Junrejo Kota Batu itu kini sukses bisnis anggrek. Ia juga memberdayakan warga di sekitarnya.
Dedek memulainya dari hobi. Kemudian ditekuni sebagai bisnis. “Saya mulai serius bisnis budidaya anggrek tahun 2007,” cerita Dedek.
Pemilik DD Orchid ini butuh waktu dua tahun untuk memulai bisnis anggrek dari awalnya hobinya. Jalan kesuksesan yang sekarang dia rasakan sempat tidak didukung keluarga.
“Awalnya keluarga tidak mendukung karena latar belakang bapak saya buruh tani. Harapannya anaknya bisa kuliah dan tidak jadi petani,” kenangnya.
Ia mengawali bisnis budidaya anggrek dengan modal Rp 25 ribu. Modal itu didapatnya dari kerja serabutan di sela-sela kuliah. “Dulu aku kuliah juga kerja serabutan. Mulai dari ngarit (mencari rumput) sapi, nguli (buruh bangunan) dan bantu di catering,” kaya dia.
“Saat itu juga bersamaan dengan keinginan saya untuk berbisnis budidaya anggrek. Saya juga memungut gelas air mineral saat kerja di catering,” beber alumni FIA Universitas Brawijaya (UB) ini.
Seiring berjalan waktu, anggrek yang dibudidayakan mulai dipasarkan. Sasaran penjualan kala itu di Splendid atau Pasar Bunga Malang dan TR Selecta. Sistemnya laku baru dibayar.
Saat itu Dedek menitipkan bibit anggrek hingga anggrek yang berbunga. Melihat bisnis yang ia kerjakan berjalan, akhirnya makin berminat budidaya secara luas. Namun sempat terkendala lahan.
“Karena tidak punya lahan akhirnya saya bermitra dengan masyarakat sekitar rumah. Saat itu mulai tahun 2009 dan hanya ada satu sampai dua orang yang berminat. Empat tahun kemudian mulai banyak warga yang saya ajak, sekitar 25 dan hanya satu orang yang sukses,” terang pria kelahiran Batu, 21 Juni 1979 ini.
Seorang warga sukses jadi daya tarik bagi warga lainnya. Akhirnya banyak warga yang tertarik. Sehingga pada tahun 2018 terdapat puluhan orang ikut dan sukses. Puncaknya tahun 2020 saat pandemi, ada 108 warga kampungnya sebagai mitra binaan.
“Perlu saya sampaikan, saya menerapkan supply chain artinya rantai pasok kepada 108 petani mitra binaan. Untuk media hingga bibit, para mitra saya kasih gratis,” terangnya.
Para mitra hanya cukup merawat dan menyediakan tempat green house. Mereka cukup merawat usia 0-5 bulan kemudian diambil Dedek dengan harga Rp 4.000 per tanaman. Anggrek dengan masa tanam lima bulan kembali dititipkan di petani mitra binaan lainnya hingga dewasa. Untuk usia dewasa harga bervariasi. Tergantung usia dan jenis anggrek.
Bahkan untuk green house juga Dedek yang membangunkan. Petani bisa mengganti saat panen. Sehingga petani mitra binaan tidak merasa berat di modal awal. Rata-rata setiap petani mitra binaan memiliki luas green house 100 meter persegi dengan total biaya green house Rp 50-70 juta. Dengan manajemen tersebut setiap orang bisa fokus. Dedek fokus budidaya, petani fokus perawatan.
“Dari 108 petani mitra binaan, per bulan omzet yang mereka dapat rata-rata mencapai Rp 500 juta. Dengan perhitungan kebun seluas 300 meter persegi petani bisa dapat omzet Rp 10-20 juta per bulan. Saat pandemi 2020 lalu omzet yang didapat petani mitra binaan seluruhnya mencapai Rp 2 miliar per bulan,” ungkapnya.
Kini ia telah membudidayakan ratusan jenis silangan anggrek baru tiap bulan. Beragam kluster meliputi Cattleya, Dendrobium Phalaenopsis hingga Vanda. Harga jual juga beragam mulai dari Rp 35-50 ribu. Bahkan untuk anggrek kelas kolektor mulai Rp 350 ribu hingga jutaan rupiah. Jika anggrek menang lomba harganya pun makin mahal. Dedek pernah menjual anggrek seharga Rp 40 juta.
Perbedaan harga itu dinilai karena beberapa hal. Seperti spesies langka, memiliki karakter beda mulai warna, susunan bunga rapi, tingkat kerajinan bunga, kecerahan, tahan penyakit dan berbunga sepanjang tahun.
Tahun 2018 lalu, anggrek persilanganya meraih predikat tertinggi First Class Certificate (FCC). Penghargaan itu didapat dari Singapura. Ia tak berhenti pada budidaya anggrek saja. Tetapi juga mampu mendorong kampungnya menjadi Kampung Edukasi Anggrek.
“Karena memang dari awal berbisnis konsep saya pemberdayaan masyarakat. Maka untuk Kampung Edukasi Anggrek ini juga dikelola oleh Karang Taruna dan masyarakat Dadaprejo,” bebernya.
Di Kampung Anggrek Edukasi, wisatawan bisa mengikuti tour wisata Kampung Anggrek, membeli produk batik anggrek dan juga handicraft anggrek ada gerabah. Paket tour Kampung Anggrek Edukasi telah berjalan setiap dua kali dalam sebulan di hari Minggu.
Dari paket tour, wisatawan bisa belajar budidaya anggrek, snack, coffee break, makan siang dan tanaman anggrek. Setiap orang yang ingin ikut tour tersebut cukup membayar Rp 150 per orang. Rata-rata setiap kali tour minimal diikuti 60 orang dari berbagai daerah.
Tidak hanya itu, bersama Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI) Jatim, Dedek juga membuka sekolah anggrek. Ia bekerja sama dengan beberapa universitas seperti UMM, Unej Jember dan perguruan tinggi lainnya.
Alasan membuka sekolah anggrek karena di Indonesia belum ada sekolah yang khusus tentang anggrek. Baik budidaya hingga persilangan. Dengan adanya sekolah anggrek masyarakat terutama mahasiswa banyak yang tahu tentang anggrek.
Harapannya anggrek bisa mejadi sumber pendapatan karena anggrek di Indonesia 70 persen masih impor. Melalui sekolah anggrek tidak hanya berbagi ilmu tentang anggrek, tapi berwiraswasta dan mencukupi bibit anggrek nasional.
“Syukur-syukur bisa ekspor anggrek karena di Indonesia terkenal dan salah satu terbesar plasma nutfah atau sumber genetik terbesar di dunia,” pungkasnya. (kerisdianto/van)