Puasa itu menjalankan kebaikan, bukan keburukan. Tak dibenarkan kita berpuasa oplosan. Berpuasa dengan mencampur kebaikan dan keburukan. Puasa Ramadan itu menahan hawa nafsu, mengekang keburukan. Puasa bukan memperturutkan bisikan syetan. Puasa yang benar itu bukan puasa oplosan, yakni menjalankan puasa dengan melakukan kebaikan namun masih mengoplosnya dengan keburukan.
Kebaikan tak bisa dioplos dengan keburukan. Seperti halnya dengan BBM Pertalite yang dioplos jadi Pertamax. BBM yang dioplos tentu tak baik, karena bisa merusak mesin kendaraan. Minyak goreng untuk rakyat atau MinyaKita ternyata juga dioplos, bahkan dikurangi takarannya. Mengoplos keburukan di Ramadan yang mulia sejatinya hanya akan menodai bulan suci ini. Bulan suci, ladang menebar kebaikan tak bisa dikotori dengan aneka kejahatan.
Puasa (shaum), secara syar’i, bermakna menyengaja menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan niat dan syarat tertentu. Kalau soal tak makan dan minum mulai imsak hingga maghrib banyak yang lulus. Namun tak semua bisa menjalani puasa tanpa mengoplosnya dengan perbuatan tercela dan sia-sia serta dapat membatalkan puasa.
Apapun yang dioplos, sejatinya tindakan itu bakal menghilangkan kemurnian. Saat BBM Pertalite harus dioplos dengan bahan tertentu hingga jadi Pertamax maka akan jadi Pertamax tak murni alias Pertamax palsu. Demikian dengan kebaikan. Tak bisa ia dilakukan dengan cara yang keliru. Tentu tak bisa kita bersedekah dengan uang haram hasil korupsi misalnya. Bersedekah itu baik, namun tak bisa bersedekah dengan mengoplosnya pakai uang haram.
Mengorupsi Puasa
Bulan puasa Ramadan mengapa masih ada orang korupsi?. Bukankah korupsi itu sebuah kejahatan? Mengapa masih ada orang yang melakukan korupsi padahal mereka sedang berpuasa? Masih saja terjadi pagi dan siang orang terlihat berpuasa namun malamnya melakukan aneka kejahatan. Inilah perilaku orang-orang yang mengorupsi puasa yakni mereka yang melakukan kebaikan puasa namun mengoplosnya dengan perbuatan tercela.
Sebuah ironi Indonesia dengan jumlah muslim terbesar namun angka korupsinya masih tinggi. Padahal setiap tahun, dalam sebulan penuh di bulan Ramadan warga negeri ini dilatih menahan diri, hawa nafsu, dan melatih jiwa melalui ibadah puasa. Sepertinya ada yang salah dengan puasa para koruptor ini. Karena sejatinya jika puasanya benar maka mereka tak mungkin mengorupsi puasa dengan melakukan perbuatan tercela.
Puasa sejatinya adalah desain super cerdas dari Allah SWT untuk mengebiri nafsu duniawi, keserakahan, dan kesombongan. Namun saking korupnya bangsa ini, puasa pun bisa dikorupsi. Mestinya puasa bertabur kebaikan namun justru dikorupsi jadi ajang praktik kejahatan. Orang-orang yang mengorupsi puasa itu gagal membumikan pesan-pesan mulia syariat puasa.
Menurut Sabda Rasulullah, betapa banyak orang berpuasa namun tak mendapatkan apa pun, melainkan hanya rasa lapar dan dahaga. Syariat puasa sejatinya membawa hikmah yang luar biasa. Sayangnya justru banyak umat Islam yang mendekonstruksi dengan mengorupsi makna dan keagungannya. Bulan puasa mestinya berbeda dari sebelas bulan lainnya. Mestinya bulan puasa bisa jadi sarana memperbaiki diri. Hingga dampaknya, pada sebelas bulan berikutnya mereka dapat menjadi manusia yang bersih dan fitri.
Metamorfosis
Hidup memang pilihan. Setiap hari kita selalu dihadapkan pada aneka pilihan. Mulai bangun tidur hingga tidur lagi kita disuguhi aneka pilihan. Kita dituntut membuat keputusan untuk memilih. Aneka pilihan itu ada yang baik, ada pula yang buruk. Di sinilah kita harus berhadapan dengan pilihan kebaikan atau menuruti ajakan syetan. Tak jarang kita salah dalam menentukan aneka pilihan itu.
Manusia yang menang puasanya adalah mereka yang mampu bermetamorfosis dari ulat yang rakus menjadi kupu-kupu yang menawan. Manusia pasca Ramadan adalah mereka yang telah berubah dari manusia yang dipenuhi oleh syahwat dunia menjadi hamba yang membawa rahmat bagi alam semesta. Lapar yang dirasakan saat puasa itu akan jadi kesalehan sosial dan empati kaum miskin dan sesama manusia.
Puasa Ramadan sesugguhnya sebagai momentum untuk memperbaiki akhlak manusia yang merupakan cerminan akhlak suatu bangsa. Semakin tinggi tingkat keburukan suatu negara, menandakan akhlak dari bangsa tersebut sedang sakit. Dalam kaitan ini dibutuhkan peran para tokoh agama untuk memberikan pemahaman dan pendidikan mengenai ibadah puasa secara kaffah. Puasa tak diartikan hanya sekadar menahan rasa lapar, dahaga, dan menahan nafsu semata.
Bulan puasa Ramadan tak boleh dikorupsi dengan tidak menjalankannya. Padahal semua ulama sepakat menghukuminya sebagai fardhu ’ain (wajib), kecuali bagi mereka yang terhalang yang dibenarkan syariat. Sungguh memprihatinkan jika puasa serasa tak berbeda dengan sebelas bulan lainnya.
Menjaga kemurnian puasa mesti jadi prioritas semua yang menjalankannya. Mengoplos kebaikan dengan keburukan hanya akan menjadikan puasa itu sia-sia. Puasa Ramadan yang sejatinya adalah bukan puasa oplosan, namun puasa yang benar-benar menyingkirkan segala keburukan dan mengutamakan kebaikan sebagai amalan utama. Semoga puasa kita semua bukan puasa oplosan.(*)