Oleh: Edi Sutomo
Staf Pengajar MAN 2 Kota Malang
Di antara beberapa pelaksanaan tahapan pilkada, tahapan kampanye seharusnya menjadi hal yang paling penting bagi rakyat. Melalui kampanye para calon kepala daerah memberitahukan kepada calon pemilihnya tentang apa yang akan dilakukannya jika kelak dirinya terpilih. Sebenarnya pada tahap ini ada sebuah tawar menawar dan proses memberikan pertimbangan bagi kedua belah pihak dalam penentuan pilihan pada hari pencoblosan kelak.
Fakta yang terjadi selama ini, tidak sedikit masyarakat yang memandang kampanye bukan lagi sebagai suatu dialog dalam penentuan nasib daerahnya. Bahkan hanya menganggap kampanye sebagai bagian dari tahapan pilkada yang tidak lebih dari sekadar rutinitas lima tahunan belaka dan belum pasti akan memberikan dampak langsung terhadap perbaikan kehidupan mereka.
Hal ini cukup bisa dimengerti karena banyak kepala daerah yang ketika terpilih tidak bisa menjalankan janji-janji selama kampanyenya. Bahkan belum sampai jabatan berakhir ada yang terkena kasus hukum atau pindah kepada kontestasi politik yang lebih tinggi dari pada menyelesaikan janjinya selama kampanye.
Di sisi lain dari setiap gelaran pilkada ada tren penurunan partisipasi masyarakat dalam setiap gelaran pilkada. Alasan utamanya masyarakat mulai sadar dan merasa hanya dibutuhkan suaranya saat pilkada. Program dan janji kampanye para kontestan pilkada hanya sebagai pemanis dan penggugur kewajiban sebagai calon kepala daerah.
Sehingga tidak heran bila tidak sedikit masyarakat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan dan berujung pada kekecewaan. Jika hal ini terus berlanjut, ada kekhawatiran akan muncul fenomena disconnected electoral yaitu adanya keterputusan relasi antara masyarakat dengan kepala daerah atau antara wakil dengan yang diwakili.
Janji Politik
Sebenarnya, bersilat lidah dalam dunia politik bukan lagi suatu hal yang baru meskipun ini tidak bisa dinormalisasi. Ada ungkapan dari Charles de Gaulle, mantan presiden Prancis, yang mengatakan “Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri, mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya.”
Dalam setiap kontestasi dalam demokrasi janji politik adalah sebuah keniscayaan. Janji politik akan memberikan arah dan roadmap yang jelas bagi kepala daerah terpilih sekaligus sebagai dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Tanpa janji politik, masyarakat tidak bisa melakukan review tentang keberhasilan seorang pemimpin.
Permasalahannya sekarang adalah, aneka janji politik yang sejatinya sebagai etika sosial dan komitmen kandidat untuk menyejahterakan rakyat dan menegakkan keadilan atau tidak melakukan sesuatu yang menyimpang, hanya dijadikan strategi guna memperoleh dukungan masyarakat.
Terlepas dari kompleksitas dunia politik, mulai dari tarik menarik kepentingan, manuver politisi, transaksi yang terjadi dalam dunia politik, lobi-lobi yang terjadi hal ini sedikit bisa dimaklumi mengingat realitas demokrasi di Indonesia masih dalam tahap transisi pasca reformasi 1998 (meski sudah hampir tiga dasawarsa) meskipun ini tidak bisa dijadikan pijakan mutlak.
Setidaknya para politisi jangan terlalu mengumbar janji politik yang cenderung tidak realistis yang justru akan merugikan dirinya. Terlebih lagi janji politik yang disampaikan para calon pemimpin kepada publik terkadang tidak terukur, tidak memiliki parameter, bahkan tidak bisa dibuktikan. Sebab, dalam politik juga harus memiliki etika.
Perlu diingat bahwa kondisi pemilih saat ini memiliki kedewasaan politik yang semakin baik sehingga bisa memilah mana janji yang realitis dan mana janji yang bombastis. Pemilih saat ini didominasi oleh anak muda, mereka cenderung melek teknologi dan tingkat literasi yang lebih baik dari sebelumnya.
Pada pelaksanaan pemilu 2024 saja jumlah pemilih muda (generasi Z dan milenial) yang berusia 17-39 tahun mendekati 60 persen dari total pemilih. Artinya tipikal pemilih muda yang dinamis, adaptif dan responsif, terutama pergeseran minat mereka pada isu-isu politik dan karakteristik kepemimpinan nasional menjadi variabel tersendiri pada pilkada 2024 ini.
Para calon pemimpin setidaknya harus memiliki data yang akurat terkait permasalahan yang ada di daerahnya. Mereka harus memiliki tim yang benar-benar paham masalah dan solusi apa yang harus dilakukan. Partai politik harus benar-benar mengawal terhadap calon pejabat publik yang diajukan. Sudah bukan zamannya lagi memberikan janji politik yang tidak bisa dievaluasi. Yang mengakibatkan semakin melemahnya kepercayaan masyarakat kepada pejabat publik yang ada.
Saat ini harus dipikirkan bagaimana generasi yang akan datang memandang proses politik sebagai suatu konsensus antara masyarakat dan pejabat publik. Sebuah kesepakatan publik yang sewaktu-waktu bisa ditagih dan bisa dirasakan manfaatnya.
Sudah bukan zamannya lagi pejabat publik menjadi “raja” yang selalu ingin dilayani. Partai politik terutama pejabat publik harus memberikan edukasi bagaimana menjadi pemimpin masa depan sebagai role model generasi mendatang. Hindari cara berpikir dan bertindak yang tidak substantif, politisi yang tak punya pijakan ideologi bernegara yang kuat yang hanya mengejar kemenangan dalam kontestasi politik. Ketika kemenangan itu sudah diraih, mereka lupa diri dan mengkhianati janji-janji politiknya seperti yang pernah dikumandangkan saat kampanye.
Masyarakat memerlukan sosok pejabat publik yang realistis dalam berucap dan berlaku yang mampu melihat kepada dirinya apakah mampu atau tidak untuk merealisasikan janji politiknya sehingga tidak lagi mengobral janji yang sebenarnya tidak akan mampu diwujudkan. Dengan demikian, janji kampanye akan benar-benar menjadi rujukan utama bagi rakyat dalam menentukan pilihannya dalam pemilu dalam rangka menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
Artinya, pilkada membutuhkan calon pejabat publik yang sadar diri. Karena hanya dengan cara demikian, pilkada di Indonesia tidak hanya akan menghasilkan demokrasi prosedural tetapi juga demokrasi substantif.(*)