Memaknai ritual puasa di bulan suci Ramadan 1446 H ini, dapat dilakukan dengan beragam cara. Ramadan selalu menghadirkan nuansa spiritual nan kontemplatif yang mengajak kita untuk terus memperbaiki kualitas diri menuju insan bertakwa. Momentum yang tepat untuk terbebas dari distraksi (gangguan pengalihan fokus) serta untuk meneguhkan kembalinya tradisi detoksifikasi, baik secara fisik maupun mental.
Detoksifikasi, diilustrasikan sebagai serangkaian proses fisiologis dan psikologis di mana tubuh mengidentifikasi, menetralkan, dan menghilangkan zat beracun, limbah metabolik, termasuk kebiasaan dan pola. Proses ini sangat diperlukan ketika tubuh terpapar gaya hidup yang tidak sehat dan cenderung berlebihan.
Racun bisa berupa stimulasi berlebihan dari smartphone, kurangnya hubungan spiritual, hilangnya makna dan tujuan hidup, serta asupan “antinutrisi” seperti sirup jagung tinggi fruktosa, lemak trans, dan makanan olahan (David Rakel, Integrative Medicine, 2018).
Digital Minimalism
Untuk mewujudkan diri sebagai pribadi yang lebih berkualitas selepas Ramadan, kita harus menjalani dengan khusyuk setidaknya dua ritual detoksifikasi penting. Pertama, digital detox melalui digital minimalism untuk mendapatkan waktu yang lebih berkualitas, produktif, sehat fisik dan mental, serta terhindar dari paradoks media sosial (medos), yakni terhubung tapi tetap merasa kesepian.
Kedua, culinary detox, momen ketika tubuh beristirahat dari rutinitas pola makan yang tidak sehat dan berlebihan, di tengah melimpahnya hidangan berbuka maupun sahur.
Cal Newport (2019) menjelaskan bahwa digital minimalism adalah filosofi penggunaan teknologi dengan fokus pada aktivitas online yang selektif dan bermanfaat. Ia menyarankan puasa dari medsos paling toxic selama 30 hari karena dampak teknologi digital. Medsos sengaja didesain agar pengguna terus menggulir tanpa batas waktu (infinite scrolling), lalu tersita perhatiannya untuk kemudian dimonetisasi melalui iklan (attention economy).
Sementara itu, saking pentingnya digital detox, Stonyfield, perusahaan yogurt di AS, pernah menawarkan hadiah total 100.000 dollar AS (setara Rp 1,6 miliar) untuk 100 orang yang bisa puasa medsos selama Oktober 2024, jelang pemilihan presiden AS. Program Toxic Free Challenge ini bertujuan untuk mengembalikan kendali diri atas medsos serta mengurangi dampak negatifnya yang sudah laksana racun dalam kehidupan sehari-hari.
Selama ini, medsos kerap dituding menjadi sumber “Infobesitas”, sebuah kondisi ketika individu dibanjiri informasi yang sangat berlebihan (Infobesity: The Enemy of Good Decisions, Paul et al., 2013). Sekarang ini siapapun bisa membuat konten dan berita tanpa adanya proses kurasi, moderasi, dan verifikasi.
Namanya juga banjir, semuanya terbawa, baik informasi berfaedah ataupun informasi sampah (junk information) layaknya racun. Sangat berbahaya menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menggulir konten receh berkualitas rendah di medsos tanpa berpikir, sebab bisa merusak kemampuan kognitif, intelektual, dan fokus, sering disebut sebagai brain rot (Binswanger, 2024).
Meskipun teknologi dan medsos dominan dalam kehidupan modern, namun hubungan manusia yang nyata dan bermakna lebih berharga daripada interaksi digital yang acap kali dangkal dan sesaat. Christian Lous Lange, penerima Hadiah Nobel Perdamaian, mengungkapkan “Technology is a useful servant but a dangerous master.” Gunakanlah teknologi sebagai alat bantu dengan bijak, agar kita tetap menjadi pengendali, bukan yang dikendalikan.
Seberapa jauh interaksi digital, terutama medsos, menjadi “racun”? Vivek Murthy (2024) dalam “Warning Label on Social Media Platforms” menyatakan bahwa menggulir medsos lebih dari tiga jam sehari meningkatkan risiko kecemasan dan depresi.
Infinite scrolling sesungguhnya merupakan jebakan medsos. Segera alihkan ke aktivitas Ramadan sarat makna dan pahala, seperti berolahraga, membaca buku, menambah hafalan Al Qur’an, berzikir, i’tikaf, atau mendatangi kajian.
Detoks Kuliner
Terdapat sebuah adagium menarik dalam khazanah toksikologi, “The dose makes the poison”, sesuatu bisa berubah menjadi racun apabila takarannya berlebihan. Para toksikolog menegaskan bahwa pengujian dengan dosis tinggi dapat mengungkap potensi masalah kesehatan yang mungkin muncul akibat paparan pada dosis rendah. (Myers and Hessler, “Does the Dose Make the Poison?”, 2007).
Selaras dengan ungkapan bijak dari Jalaluddin Rumi, sufi Persia terkemuka, “Apapun yang melebihi kebutuhan kita adalah racun.” Cinta, kekuasaan, kekayaan, atau apapun saja, tentu termasuk interaksi digital dan makanan.
Dalam konteks bulan puasa, binge-eating atau konsumsi berlebihan saat berbuka dan sahur dapat memperburuk risiko kesehatan. Faktanya, orang Indonesia masih terlalu banyak mengonsumsi sumber karbohidrat sebagai energi utama seperti beras, gula, dan terigu, sebab rasanya lezat, mudah didapat, dan lebih murah ketimbang makanan sumber protein.
Akibatnya jumlah gula dalam darah meningkat secara berlebihan (hyperglycemia), yang akhirnya mewujud menjadi semacam “racun” bagi tubuh. Selain menyebabkan diabetes melitus tipe 2, hiperglikemia juga memperberat kerja pankreas penghasil insulin, kerja ginjal, hati, dan jantung. Dalam jangka panjang memicu terjadinya peradangan, kerusakan, hingga penyumbatan pembuluh darah yang berakibat fatal seperti stroke dan serangan jantung.
Meningkatkan kesadaran akan pola makan seimbang di bulan Ramadan mendukung culinary detox. Kemenkes RI dan WHO merekomendasikan minimal 0,8 g protein per kg berat badan per hari, serta 250 g sayur dan 150 g buah per orang per hari untuk rasa kenyang lebih lama dan imunitas tubuh yang lebih baik.
Semoga di akhir Ramadan, kita lebih sehat dan kuat karena terbebas dari distraksi, serta teguh menjalani dua ritual detoksifikasi. Ramadan Mubarak! (*)