spot_img
Saturday, December 21, 2024
spot_img

Bumbung Kosong Pilkada

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang

          Orang Jawa menyebutnya bumbung kosong, sementara secara umum bisa disebut kotak kosong. Istilah bumbung kosong atau kotak kosong ini muncul untuk melukiskan pelaksanaan kontestasi politik di mana sang kandidat bertarung tanpa ada lawan. Maka bumbung kosong alias kotak kosong itulah yang dianggap sebagai lawan politiknya. Fenomena bumbung kosong ini muncul dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di sejumlah tempat, termasuk kemungkinan di beberapa daerah di Jawa Timur.

          Sejak lama, misalnya dalam pemilihan kepala desa, kalau sang kandidat hanya tunggal dan tak ada lawan, maka kontestasi pemilihan di tingkat desa itu dihadirkan bumbung kosong sebagai lawan sang kandidat. Seiring berkembangnya waktu, ternyata dalam kontestasi yang lebih besar, dalam Pilkada contohnya, juga muncul bumbung kosong. Fenomena ini mestinya dihindari karena saat kandidat hanya melawan bumbung kosong sepertinya tidak ada orang lain yang layak dipilih jadi pemimpin padahal sebenarnya banyak yang mampu.

          Mengutip tulisan Bivitri Susanti di harian Kompas (8/8/2024) lalu, bahwa sejatinya warga bukanlah kotak kosong. Dalam demokrasi substantif, warga bukanlah obyek, melainkan subyek. Munculnya fenomena kotak kosong sesungguhnya yang dirugikan adalah warga. Bagi politikus, jabatan adalah sumber kekuasaan dan peluang memupuk kapital. Padahal, bagi warga, pemimpin yang dipilih karena kualitas dan integritasnya mutlak diperlukan karena mereka yang akan mengelola sumber daya untuk memenuhi hak-hak warga.

Demokrasi Bumbung Kosong

          Mengutip pernyataan Winston Churchill yang mengatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk kecuali jika dibandingkan dengan sistem lainnya. Kata Chruchill, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang buruk, tetapi jika dibandingkan dengan bentuk pemerintahan yang ada, demokrasi tetap yang terbaik. Artinya, tidak ada pilihan lain kecuali demokrasi.

          Namun dalam praktiknya, tak jarang demokrasi hanya digunakan sebagai alat mendapatkan legitimasi. Demokrasi dengan segala kelemahannya sering dimanfaatkan oleh para pemburu kekuasaan yang hanya memakai demokrasi sebagai baju hiasan sekadar untuk pantas-pantasan. Sementara dalam praktiknya, mereka yang biasanya mengatakan paling demokratis justru menunjukkan perilaku yang tak demokratis.

          Merujuk Kompas (6/8/2024), jumlah Pilkada dengan kotak kosong kian meningkat. Dari hanya di tiga daerah pada Pilkada 2015, meningkat menjadi sembilan daerah pada Pilkada 2017, lalu 16 daerah pada Pilkada 2018, dan terakhir 25 daerah pada Pilkada 2020. Umumnya yang menjadi pemenang dalam Pilkada lawan bumbung kososng adalah mereka calon tunggal. Sejauh ini satu-satunya kemenangan bumbung kosong tercatat pada pemilihan walikota Makassar 2018.

          Fenomena bumbung kosong dalam Pilkada akan menjadi umum dalam beberapa tahun ke depan kalau rakyat tidak melakukan konsolidasi dan perlawanan. Pencalonan tunggal yang semula tak biasa sekarang justru diperbolehkan dan jadi kelaziman. Jangan atas nama kebebasan dan demokrasi lantas membiarkan calon tunggal bertarung sendirian tanpa saingan.

          Bumbung kosong sejatinya bisa membunuh demokrasi. Munculnya bumbung kosong disebabkan sejumlah faktor, salah satunya terkait dengan ambang batas pencalonan. Seperti tertuang dalam UU Pilkada bahwa syarat dukungan calon independen atau nonpartai dinaikkan dari 3 persen sampai 6,5 persen menjadi 6,5 persen sampai 10 persen.     Demikian halnya untuk calon dari partai politik persyaratan koalisi pencalonannya dibuat menjadi 20 persen kursi atau 25 persen suara sah hasil pemilu DPRD terakhir. Ambang batas pencalonan ini membuat hampir tak mungkin ada partai politik yang bisa sendirian mengusung pasangan calon.

Putusan MK Terbaru

          Mahkamah Konstitusi (MK) pada, Selasa (20/8/2024) membuat keputusan baru yang final dan mengikat yang membawa angin segar bagi demokrasi dan Pilkada serentak. MK mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 60/PPU-XXII/2024 terkait UU Pilkada. MK memutuskan mengubah ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah. Keputusan MK ini bisa berimplikasi dapat mengurangi munculnya bumbung kosong dalam Pilkada.

          Kalau keputusan MK ini diberlakukan maka akan dapat membuka kesempatan yang besar bagi banyak calon yang diusung parpol bisa mendaftar dalam kontestasi Pilkada. Keputusan MK ini memungkinkan lebih dari satu pasangan calon di setiap daerah. Artinya, kemungkinan kotak kosong bisa semakin kecil. Keputusan MK ini bisa bermakna kemenangan rakyat melawan oligarki politik.

          Implikasi lain kalau syarat pencalonan hanya sekitar 7,5 persen maka bisa jadi beberapa parpol yang sudah berkoalisi akan pecah. Koalisi yang terbangun dari sejumlah parpol besar sebelum tanggal 27 Agustus saat pendaftaran calon bisa lepas dari ikatan koalisi dan mereka bakal mengusung calon dari parpolnya sendiri. Kalau ini terjadi maka sangat mungkin kontestasi Pilkada akan berlangsung dengan banyak kandidat. Hal ini tentu bagus bagi demokrasi karena rakyat akan disuguhi calon pemimpin yang lebih beragam.

          Pilkada adalah proses politik untuk mencari pemimpin. Rakyat tentu berharap mendapat pemimpin terbaik sesuai harapan. Kontestasi Pilkada tak ideal jika mengarah pada munculnya calon tunggal dan tak memberi alternatif pilihan yang beragam. Calon tunggal yang hanya akan melawan bumbung kosong tak baik bagi demokrasi dan rakyat. Putusan MK terbaru tentang ambang batas pencalonan yang diturunkan berpeluang menepis munculnya bumbung kosong. Semoga demikian.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img