Pemberitaan kasus bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri telah menjadi isu hangat di tengah masyarakat, khususnya warga Malang. Terbaru, Rabu (13/9) gadis remaja gantung diri diduga terkait asmara. Bulan Juli lalu, seorang wanita di Karangploso memutuskan mengakhiri hidupnya. Begitu juga di bulan Mei, hal itu dilakukan seorang remaja.
Satreskrim Polres Malang mencatat selama kurun waktu Januari 2021 hingga Mei 2023 ada sebanyak 43 kasus bunuh diri yang terjadi. Sedangkan di Kota Malang, mulai Januari hingga Mei 2023 saja, Satreskrim Polresta Malang Kota mencatat sudah ada tujuh kasus bunuh diri.
Kerap kali perspektif yang digunakan dalam merespon masalah kesehatan mental dan bunuh diri, baik dari sisi pemberitaan, tindakan, atau penerimaan masyarakat menggunakan sudut pandang yang kurang empatik.
Perlu diketahui bahwa bunuh diri adalah isu yang kompleks, dan ada berlapis masalah yang dapat menyebabkan seseorang berkeinginan, atau melakukan percobaan dan memutuskan mengakhiri hidupnya. Kita perlu mawas bahwa memang ada masalah kesehatan mental yang bisa jadi luput dari perhatian.
Respon Wali Kota Malang Sutiaji terhadap isu tersebut, salah satunya adalah dengan menguatkan nilai agama sebagai pondasi utama dalam pencegahan, selain menguatkan pengawasan kepada anak. Tanggapan tersebut tentu perlu dicermati kembali karena meski agama itu penting, namun persoalan kesehatan mental tidak hanya soal minimnya pengawasan dan pendalaman agama.
Persoalan Kesehatan Mental
Tanggal 10 September lalu adalah Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day). Isu tersebut menjadi perhatian global karena ia adalah persoalan kesehatan masyarakat yang sangat berdampak pada publik secara ekonomi, sosial, maupun emosional.
WHO merilis pada Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia 2022 lalu, tak kurang dari 703.000 orang melakukan bunuh diri tiap tahunnya. Jika dikalkulasi, kejadian bunuh diri di tingkat dunia dapat terjadi tiap menitnya. Angka itu tentu tidak menunjukkan kondisi perilaku bunuh diri (suicide behaviour) yang lain.
Dalam setiap informasi bunuh diri yang ada, akan ada orang yang melakukan imitasi dan percobaan; begitu pun munculnya ideationatau gagasan bunuh diri di kalangan lainnya. Sehingga persoalan bunuh diri adalah fenomena gunung es di mana persoalan yang kita ketahui dari media hanya menunjukkan pucuk dari persoalan kesehatan mental yang lebih luas.
Bunuh diri adalah problem yang mesti ditinjau tidak hanya dari sisi pelakunya. Selain ada stigma yang menaungi pelakunya ataupun orang yang melakukan percobaan, ada stigma dan beban psikologis berat yang ditanggung oleh penyintas dari kalangan keluarga maupun rekan dekat yang kehilangan, atau yang disebut suicide loss survivors.
Belum lagi tindakan bunuh diri, bisa memicu kondisi yang disebut copycat suicide atau meningkatnya potensi orang untuk melakukan bunuh diri bagi yang memiliki gagasan tersebut. Belum lagi masalah depresi yang menaungi generasi usia produktif.
Hari ini, isu kesehatan mental kerap dianggap hanya persoalan lebay-lebayangenerasi muda. Para kaum dewasa muda dan remaja (yang masuk klasifikasi generasi milenial dan generasi Z) dipandang terlalu berlebihan dalam memandang persoalan diri mereka dan menanggapi respon masyarakat.
Realitanya, generasi muda yang sangat ramah digital menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks, yaitu tekanan yang berlebih dari generasi sebelumnya yang lebih tua, tekanan kawan sebaya, relasi sosial yang tidak afirmatif terhadap kebutuhan mereka, atau tekanan dari media sosial. Belum lagi ketimpangan sosial ekonomi yang mendera juga memicu distres mental yang tidak setiap orang dapat mengakses bantuan atau pertolongan.
Apakah problem gangguan mental hanya menimpa generasi muda? Kita lihat dari pemberitaan maupun berbagai riset, gangguan mental termasuk yang bertendensi bunuh diri tidak hanya dialami oleh orang muda. Siapa saja, dari strata kelas sosial dan ekonomi apapun, dapat memiliki gagasan, kecenderungan, serta problem kesehatan mental. Baik yang mengganggu fungsi sosial mereka, maupun yang mengarah pada kecenderungan ingin bunuh diri.
Kita tidak pernah tahu siapa orang-orang di sekitar kita yang mungkin saja memiliki kecenderungan ingin bunuh diri atau menyakiti diri sendiri (self harm), yang akan mengganggu kualitas hidup mereka. Belum lagi stigma yang bagi rekan-rekan yang membutuhkan bantuan ini, membuat mereka enggan mencari pertolongan. Stigma yang lahir di masyarakat pun juga mengikis kemampuan empatik, setidaknya untuk memberi dukungan dan kepercayaan.
Terbatasnya Akses Pertolongan
Dalam salah satu feature longread di media Inggris The Guardian berjudul “Busting the myth that depression doesn’t affect people in poor countries” – “Melawan mitos bahwa depresi tidak dialami orang di negara miskin” disebutkan bahwa seorang psikiater di Zimbabwe bernama Vikram Patel bertutur, “Kita harus mendefinisikan kembali apa yang merupakan intervensi kesehatan jiwa, mengakui bahwa bagi banyak orang, kesejahteraan psikologis mereka tertanam dalam dunia sosial mereka,” kata Patel.
“Nyaris tak mungkin bagi seorang pekerja kesehatan mental di India untuk mengatakan kepada seorang perempuan yang dipukuli suaminya: “Itu bukan urusan saya. Saya hanya peduli dengan pikiran negatif Anda.”
Dari kutipan di atas, kita akan melihat bahwa ada lapisan yang sangat mbulettentang apa yang sebenarnya terjadi pada para penyintas dan penderita gangguan kesehatan mental. Isu stressoryang tak mampu dan tak kuasa dihadapi hanyalah satu persoalan.
Faktor biologis, semisal rasa keputusasaan akibat sakit yang menurunkan rasa penerimaan diri, faktor ekonomi akibat ketimpangan yang dilanggengkan, maupun kondisi sosial bahkan di level keluarga yang memicu tendensi gangguan mental, jelas tak bisa dituntaskan sendirian.
Kita mengenal salah satu cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan adalah dengan melakukan kegiatan curhat kepada orang yang dapat dipercaya. Tentu akan sangat bermasalah jika dalam lingkup tinggal atau komunitas yang dihidupi para penyintas, benar-benar tak ada orang yang mampu mereka percaya lagi karena cibiran atau stigma. Seseorang akan sangat didera rasa kesepian dan kehilangan diri sendiri.
Problem lainnya adalah minimnya informasi maupun sulitnya akses kepada pertolongan kesehatan mental profesional. Ketika orang merasa sendiri dibalut stigma orang lain atau stigma pada diri sendiri (self stigma), pertolongan profesional sangat penting. Kita tahu bahwa pada kondisi yang menimbulkan disfungsi pada diri sendiri, opsi terbaik adalah mengakses konselor, psikolog atau psikiater.
Kita patut bersyukur bahwa di lingkungan pendidikan sekolah maupun universitas, layanan semacam ini mulai banyak mendapat perhatian. Begitu pun BPJS Kesehatan telah menanggung layanan gangguan kesehatan mental dengan kriteria tertentu.
Di sisi lain, layanan kesehatan mental lain masih terlampau mahal dan bagi sebagian orang, dipandang tidak mendesak. Alangkah demikian, tidak semua masyarakat tahu, sadar, dan mampu mengakses layanan tersebut, dan layanan yang sudah ada pun masih perlu memerlukan banyak perbaikan.
Sekali lagi, kesehatan mental tak bisa dilihat dari semata dari respon terhadap pikiran negatif yang mesti diobati atau dilawan. Ada persoalan lain dalam aspek sosial, ekonomi maupun budaya yang mesti ditinjau ulang oleh pihak yang memiliki kapasitas untuk itu. Dalam level individu, agaknya memperluas empati dan menghapus stigma adalah langkah awal mewujudkan kesejahteraan psikologis yang kita harapkan itu.(*)