Oleh: Aditya Prastian Supriyadi
Dosen Hukum Ekonomi
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Gig Economy mungkin masih terdengar asing bagi masyarakat Indonesia. Namun sebut saja Gojek dan Grab, masyarakat Indonesia pasti paham. Gig Economy merupakan salah satu transformasi ekonomi modern, dimana orang bekerja dengan fleksibel tanpa terbatas oleh jam kantor, melainkan bekerja melalui platform digital. Gojek, Grab, dan platfofm digital lain merupakan hasil dari perkembangan Gig Economy. Orang yang bekerja pada platform tersebut, dikenal sebagai “Gig Worker.”
Terdapat anomali menarik menyangkut Gig Worker di Indonesia. Sejak pertama kali muncul, Gig Worker sebenarnya hanya sebatas pekerjaan sampingan. Namun, Gig Worker kini justru telah menjadi profesi pekerjaan utama bagi banyak orang.
Tidak sedikit pekerja formal banting setir memilih Gig Worker, seperti driver transportasi online (ojol). Waktu pekerjaan diatur sendiri, target pendapatan sesuai performa, dan tidak ada aturan pelik yang mengikat pekerja, menjadi daya tarik alasan migrasi pekerja terjun ke dalam industri ini.
Survei Litbang Kompas (2014) menunjukkan pendapatan seorang Gig Worker ojol dalam 1 bulan bisa mencapai Rp 10 juta. Tak hanya itu, laporan INDEF menegaskan pesatnya perkembangan industri Gig Economy berhasil menyelamatkan banyak pekerja muda dari pengangguran akibat disrupsi teknologi.
BPS (2023) mencatat Gig Economy berkontribusi signifikan menurunkan angka pengangguran terbuka mencapai 6,8 persen. Fenomena ini menunjukkan Gig Economy berperan penting dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan di era digital. Namun, paradoks Gig Worker kini mulai tampak jelas. Nasib kesejahteraan mereka sedang dipertaruhkan. Semakin hari, para Gig Worker memikul beban pekerjaanya yang tidak seimbang dengan pendapatan.
Puncaknya, pada 29 Agustus 2024 lalu, ribuan ojol melakukan gelombang protes memperjuangkan nasibnya. Banyak kebijakan platform yang memberatkan. Para ojol merasa beban kerja semakin berat. Beban target pekerjaan semakin bertambah dengan intensitas durasi waktu singkat menimbulkan tekanan dan stres tinggi bagi mitra. Di sisi lain, kebijakan tarif yang sering kali dianggap tidak proporsional membuat pendapatan mereka berada di bawah standar yang layak.
Fenomena di atas membuka tabir masalah Gig Worker yang membutuhkan perhatian serius. Hingga kini, pasca demonstrasi Ojol belum ada perhatian responsif dari negara. Pembukaan UUD 1945 terpampang jelas bahwa negara bertanggungjawab soal kemakmuran rakyat.
Pancasila harus dikedepankan dalam mewujudkan ekonomi yang berkeadilan, termasuk bagi para pekerja di sektor Gig Economy. Tujuannya agar adaptasi negara menampung Gig Economy dapat menghindari setiap masalah yang ada di dalamnya.
Mitra Tanpa Payung Hukum
G. Friedman (2014), seorang akademisi University of Massachusetts Amherst menerangkan Gig Worker memiliki karakteristik yang erat kaitannya dengan pekerjaan berbasis proyek melalui platform digital. Atau biasa dikenal Freelance. Jenis pekerjaan ini melibatkan kontrak jangka pendek.
Dalam artikel Friedman berjudul, “Workers without employers: Shadow corporations and the rise of the gig economy”, kemunculan Gig Worker telah merubah hubungan ketenagakerjaan antara pimpinan dan pekerja. Gig Worker tidak memiliki hubungan formal dengan pimpinan, tetapi bekerja langsung kepada konsumen melalui perantara platform. Karakteristik itu menjadikan Gig Worker tidak memiliki status pekerja tetap, yang secara otomatis tidak terikat hak perlindungan sosial.
Menurut Small Bussines Lab (2022), hampir 50 persen usaha kecil di Amerika memanfaatkan Gig Worker karena lebih menguntungkan akibat Perusahaan tidak menanggung jaminan sosial seperti, asuransi dan perlindungan tenaga kerja lainnya.
Karakteristik di atas menjadi pangkal masalah yang menimpa para Gig Worker, khususnya driver ojol di Indonesia. Tidak ada landasan hukum yang mengakomodasi status Gig Worker. Akibatnya, pekerja Gig hanya dianggap sebagai mitra. Kedudukan mitra memiliki perbedaan signifikan dengan pekerja formal. Mitra tidak memiliki hak perlindungan sosial, layaknya pekerja formal berdasarkan hukum ketenagakerjaan Indonesia. Padahal intensitas kerja ojol semakin bertambah dan memiliki risiko besar terhadap kecelakaan, penipuan, dan kesehatan, akan tetapi tidak ada timbal balik yang sewajarnya.
Ketiadaan dasar hukum yang kuat berpotensi platform semakin digdaya mengeksploitasi mitra. Platform secara leluasa dapat mengambil keputusan penting sepihak sesuai selera tanpa memperhatikan kondisi mitranya. Jangankan dilibatkan pengambilan keputusan. Serikat pekerja saja tidak diakui secara formal hukum.
Akibatnya, tidak ada ruang sebagai perantara penyelesaian masalah hubungan industrial antara mitra dengan platform. Platform dapat dengan mudah mengendalikan prilaku mitra melalui instrumen bonus, penilaian konsumen, maupun dengan ancaman sanksi.
Krisis Perlindungan Sosial
Carut marut nasib yang menimpa Gig Worker secara berkepanjangan menjadi dasar negara harus hadir mengatasi. Sebagaimana negara Uni Eropa telah bergerak aktif dalam mengatur perlindungan Gig Worker yang lebih adaptif dengan zaman. Hasil riset K. Tanel & A. Kajander (2022) berjudul “Gig Economy Workers In The European Union: Towards Changing Their Legal Classification”, menunjukkan beberapa negara Uni Eropa telah mengubah klasifikasi hukum Gig Worker, agar berdampak terhadap akses hak pekerja, seperti upah minimum, perlindungan sosial bahkan perlindungan dari PHK sepihak.
Para Pemangku Kepentingan di Indonesia harus menyusun kebijakan ideal untuk mengatasi persoalan Gig Ekonomi yang kurang bersahabat dengan pekerjanya. Laporan Fair Work Project (2021) menilai layanan transportasi online dinilai kurang ideal berdasarkan the five global principles of fair work dalam mewujudkan jaminan Keadilan bagi pendapatan mitra.
Artinya, pekerja ojol sangat rentan mendapatkan pengupahan yang tidak sepadan dengan beban kerja. Survei Kemenhub menunjukkan saat ini pendapatan yang diterima ojol hanya sekitar Rp 3-4 juta per bulan. Atau turun hampir 60 persen dibanding Tahun 2014 yang mencapai Rp 10 juta per bulan. Bahkan sebagian hanya memperoleh Rp 2 juta per bulan. Ojol harus bekerja 12 jam per hari, atau hampir 100 jam per minggu untuk memperoleh pendapatan yang hanya pas-pasan.
Uluran tangan Negara menjadi salah satu solusi dalam mengatasi kompleksitas kerja yang dialami pekerja Gig di Indonesia. Relevansi konsep difference princicple Raws dengan ketenagakerjaan mengamanatkan tanggung jawab Negara merancang kebijakan yang tidak hanya menjamin pekerja, namun harus memastikan kualitas kerja yang layak.
Kondisi Pekerja Gig yang sangat kompleksitas perlu diatur lebih adil sebagaimana pekerja semestinya. Sudah saatnya sektor pekerja Gig Economy memiliki perlindungan hukum yang sama dengan pekerja lainnya, terutama memperoleh jaminan perlindungan sosial untuk mengantisipasi risiko keuangan dan ketidakpastian bagi pekerja Gig, terutama dalam situasi darurat atau ketika menghadapi masalah kesehatan.(*)