Anggota Tentara Genie Pelajar (TGP) Malang, Lantip Soedarmadji dan Kisah Perjuangannya (1)
Masih sekolah, sudah angkat senjata melawan kolonial. Itulah Lantip Soedarmadji. Kala remaja menjadi anggota Tentara Genie Pelajar (TGP). Salah satu aksi TGP yang diingat sampai sekarang yakni bumi hangus di Malang dan sekitarnya. Itu salah satu upaya menolak sekaligus melawan Belanda sebagai penjajah.
MALANG POSCO MEDIA – Lantip Soedarmadji pejuang yang hidup di tiga zaman, kemerdekaan adalah segala-galanya. Jiwa nasionalismenya yang tinggi dan rasa cinta Tanah Air ia pupuk sampai akhir hayatnya.
Kisah hidup tiga zaman, yakni penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang dan Masa Kemerdekaan ia ceritakan kepada generasi penerusnya. Agar bisa menjadi pelajaran dan memupuk rasa nasionalisme. Begitulah yang dirasakan anaknya, Ninuk Hariyati Sri Rejeki.
“Bapak adalah sosok yang sangat cinta Tanah Air. Bahkan sampai di usianya yang tua. Ingatannya masih sangat jelas. Jika beliau diminta bercerita tentang masa penjajahan dahulu, bisa dari pagi sampai ketemu lagi lagi, saking semangatnya,” terangnya.
Lantip Soedarmadji lahir di Banyuwangi pada tahun 1930. Ayahnya seorang juru tulis di stasiun kereta api. Lantip kecil pernah bersekolah di Taman Siswa, namun kemudian harus pindah ke Holland Inlandsche School (HIS) karena ayahnya bekerja di pemerintahan Belanda.
Saat pemerintahan dibawa kendali Jepang tahun 1942, ia mendapatkan pelajaran tambahan berupa les Bahasa Jepang. Ia berhasil juara dua saat lomba pidato. Sejak saat itu ia sering didatangi oleh tentara Jepang.
“Berdasarkan cerita bapak, dulu setelah juara pidato Bahasa Jepang sering di datangi orang-orang Jepang. Awalnya mereka ingin belajar Bahasa Indonesia, kemudian lama-lama diajak ke markas dan dilatih menjadi Mata-Mata untuk Jepang. Nyatanya itu menjadi bekal bagi bapak untuk kedepannya,” cerita Ninuk.
Setelah tamat dari HIS yang kemudian berubah menjadi Sekolah Rakyat(SR) Lantip pergi menuju pusat Karesidenan yang kala itu berada di Malang. Ketika bersekolah di Sekolah Teknik inilah ia bergabung bersama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Saat itu ia masih pelajar, usianya sekitar 16 tahun.
Waktu itu BKR dari kalangan Sekolah Teknik mendapatkan perubahan nama, dari BKR Staf II menjadi Tentara Genie Pelajar (TGP). SMP Kristen di Jalan Semeru No. 42, Malang menjadi saksi kelahiran Kesatuan TGP pada Februari 1947. Belum genap satu tahun sejak TGP berdiri, Lantip harus dihadapkan dengan Agresi Militer I pada bulan Juli 1947.
“Menurut Bapak, Karena tidak ingin Malang dikuasai oleh para penjajah, akhirnya dilakukan pembumihangusan dan penghancuran gedung-gedung vital yang ada di Malang. Kemudian memindahkan markas ke daerah Sumberpucung,” ujarnya.
Berdampingan dengan TRIP, kesatuan TGP bersama pasukan lainnya bertugas untuk membumihanguskan Kota Malang ketika terjadi Agresi Militer I. Beberapa bangunan penting seperti pusat telekomunikasi, ruko-ruko di sepanjang kawasan Kayutangan, Gedung KNI, Kantor Karesidenan, Hotel Palaco dan lainnya dihancurkan sembari menghadang pasukan Belanda yang mulai masuk ke pusat Malang.
Di samping itu TGP juga bergerilya menghancurkan jembatan-jembatan penting. Tujuannya guna menghambat pergerakan pasukan musuh. Di antaranya Jembatan Gambirsari (Pasirian), Jembatan Kereta Kendalpayak, Jembatan penghubung di Kepanjen dan lainnya. Pada saat itu juga, markas TGP yang awalnya ada di Jalan Ringgit 5 kemudian dipindahkan ke daerah Sumberpucung untuk menghindari Belanda. Untuk Posko di Jalan Ringgit menjadi Posko terdepan, dan Posko Utama ada di Bululawang.
“Dari sana peristiwa masih sangat panjang. Dari cerita beliau, masih banyak gerilya yang dilakukan oleh para pejuang Indonesia. Bahkan sempat juga bapak tertangkap tentara Belanda dan dipukuli dengan berbagai jenis barang. Kalau tidak salah saat itu bapak barusan pulang ke Banyuwangi dan akan kembali ke Malang. Dari bekas pukulan yang diterima bapak waktu masih remaja, bapak tidak pernah merasa sakitnya. Baru kelihatan saat rontgen beberapa tahun lalu, terlihat tulang belakang bapak sudah bengkok,” terangnya.
Sempat bergerilya ke berbagai tempat seperti Blitar dan Kediri, akhirnya Belanda menyerahkan seutuhnya kemerdekaan Indonesia. Para pejuang ini kemudian demobilisasi oleh TNI. Ada yang melanjutkan sekolah, ada yang bekerja ada juga yang lanjut menjadi prajurit TNI. Sementara Lantip bergabung dengan ZENI AD selama empat tahun dan akhirnya memilih kembali ke Malang untuk melanjutkan sekolah di ST Negeri selama dua tahun. (adm/van/bersambung)