spot_img
Saturday, May 18, 2024
spot_img

Cerita Relawan Advokasi Perempuan dan Anak; Dulu Penyintas Kekerasan, Kini Jadi Pendamping Korban

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Pernah jadi korban kekerasan, Ruci Primaharani berusaha bangkit. Kini warga Kecamatan Lowokwaru Kota Malang ini jadi relawan pendamping korban kekerasan. Perempuan 22 tahun itu kuat menghadapi jalan berliku.

Suatu hari, jelang tengah malam. Ponsel Ruci Primaharani berdering. Ia sigap menanggapi telepon itu. Peneleponnya seorang korban kekerasan seksual yang mengalami trauma.

Seketika segala perhatian langsung diberikan. Ruci serius menyimak sembari memikirkan upaya yang akan ditempuh. 

Begitulah  salah satu keseharian Ruci.

Dulu, ia korban kekerasan. Kemudian membawanya menjadi relawan pendamping korban kekerasan perempuan dan anak hingga kini.

Ruci volunteer di Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara di Malang, organisasi advokasi perempuan dan anak korban kekerasan. Tugasnya mendampingi korban kekerasan mulai dari meredakan trauma dan mengajak untuk bangkit mencari keadilan.

Cerita kasus kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kasus kekerasan pada anak kerap diketahuinya.

Aktivitas yang sama sekali tak mudah dihadapi dirinya yang merupakan seorang mahasiswi. Ia telah menikah dan kini Ruci masih merupakan mahasiswi tingkat akhir Ilmu Komunikasi di Universitas Brawijaya.

Aktivitasnya juga disibukkan dengan sesekali  menjadi pembicara di berbagai kajian. Terutama mengenai materi perempuan dalam marjinalisasi, Hak Asasi Manusia perempuan dan anak, hingga produk hukum terkait.

Kelahiran  tahun 2001 ini mengabdikan dirinya pada pembelaan isu perempuan dan anak. Ruci punya alasan kuat yang menjadikannya seperti sekarang. Tak lain karena pengalaman pribadi sebagai penyintas kekerasan. Ia menjadi korban hubungan tak sehat dengan kekasihnya dulu. Mengalami kekerasan dan merasa terpenjara dalam hubungan toksik. Namun  Ruci berhasil lepas dari jeratan itu dan memutuskan membela orang-orang seperti dirinya dulu.

“Sebenarnya ada pengalaman jadi korban kekerasan, istilahnya dalam sebuah hubungan toxic relationship. Hubungan itu sudah terlalu jauh jatuhnya saya terjerat selama bertahun-tahun hingga rugi material dan non material,” ceritanya.

Kekerasan dan hubungan tak sehat itu akhirnya membuat dirinya tak bisa maksimal beraktivitas. Ia sebelumnya lebih banyak berkecimpung dalam aktivitas sosial pemberdayaan masyarakat dengan organisasinya di kampus. Juga tak mendapatkan dukungan lebih dari teman-temannya karena hanya menjadi pendukung pelaku kekerasan yang mengatasnamakan hubungan asmaranya.

Kisah itu terputus oleh orang tuanya yang meyakinkan Ruci untuk melawan apa yang dialaminya. “Stigma sempat ada, dikatakan bahwa dia (pelaku kekerasan) berusaha melindungi saya hingga diatur. Dianggap saya tak mau diatur dan tidak realistis,” kata dia.

“Padahal itu semua menghalangi saya menggapai cita-cita saya. Sampai dicap sebagai monster di mata masyarakat tidak sesuai wanita kebanyakan dan sebagainya,” tambahnya.

Ruci mendapatkan dukungan orang tuanya untuk bisa tersadar dan lepas dari keterpurukan. Pasca peristiwa itu, ia juga membelokkan keinginan awalnya magang di DPR RI untuk mendalami isu perempuan di Women Crisis Center pada tahun 2020. Saat itu mulai belajar menjadi relawan pendamping korban kekerasan.

Mau tak mau, cerita korban demi korban dari berbagai kasus datang ke telinganya untuk didengar, dipahami dan dibantu untuk menyelesaikan. Korban-korban itulah yang semakin membuat Ruci meneguhkan hati untuk terus aktif dalam mendampingi korban.

Ia juga selalu diarahkan untuk mendapatkan pelatihan tambahan. Tujuannya menambah kapasitas dan kemampuan dirinya. WCC, tempat ia bernaung hingga kini menangani  ratusan kasus kekerasan baik kekerasan seksual hingga kekerasan anak dan KDRT.

Sementara Ruci yang terbilang muda sudah menghadapi belasan kasus yang korbannya dalam pendampingannya sendiri. Dia yang dulu kehilangan banyak teman jadi korban kekerasan dan impiannya terhambat, merasa tak ingin ada korban lain seperti dirinya.

“Di situ (WCC) saya banyak menemukan kasus yang lebih berat dari saya alami. Rasanya seperti ada hutang yang harus saya lunasi,” ucap Ruci.

Ia menemukan perjalanan kasus yang membuatnya semakin yakin akan jalan yang diambil sampai sekarang. Di antaranya tentang perjuangan korban kekerasan seksual yang merupakan mahasiswi salah satu universitas ternama di Malang. Korban yang dia dampingi mengalami kekerasan seksual dan trauma mendalam. Korban bahkan dikeluarkan dari universitas untuk menjaga nama baik kampus dan lingkungannya.

“Dia (korban) sampai dituntut dengan UU ITE. Di situ saya sakit hati sekali, WCC yang mendampingi sampai mau disuap salah satu kampus karena kasus. Korban sudah tersandung UU ITE meski dia sedang berjuang dengan kasusnya sendiri,” cerita  Ruci tentang pengalaman pendampingannya.

Tak jarang, korban yang dia dampingi sampai dirinya sendiri banyak mendapatkan ancaman berbagai hal. Teror media sosial hingga lingkungan rumah korban pernah dihadapi. Terutama oleh pihak pelaku yang merasa mempunyai kuasa lebih. Dalam penanganan kasus demi kasus ia terus belajar sembari tetap melakukan pendampingan korban berkala.

“Kasus yang saya dampingi itu  benar-benar menampar saya lebih keras. Akhirnya saya banyak sekali belajar soal gender, perempuan, sampai hukum. Dukungan senior memberikan saya banyak kesempatan belajar menjadi suplemen tambahan untuk lebih semangat,” katanya.

Dunia advokasi perempuan dan anak membuatnya semakin memperluas wawasan. Pengalamannya menjadikan dirinya mengenal banyak relasi kuat yang turut bergerak melakukan  banyak pembelaan. Tidak lagi suara sumbang yang dibicarakan, namun ilmu dan pengetahuan tentang apa itu hak asasi manusia, perempuan dan marjinalisasi yang dapat diserapnya.

“Kira-kira ada 15 kasus, semuanya kekerasan seksual, kekerasan verbal, non verbal, dan KDRT juga,” sebutnya.

Suka dan duka pun dirasakan. Terutama terpenuhinya rasa keadilan bagi korban yang didampinginya. Dan bangkitnya korban untuk bersuara bagai dopamin yang membuatnya semangat. Sekaligus menjadi kepuasan tersendiri. Melihat langsung korban bisa mendapatkan haknya, apalagi kasusnya menang di pengadilan adalah penyemangat Ruci.

Meski ia mengakui, menjadi relawan  pendamping korban sangat amat menguras energi. Tidak ada jeda jam pasti dan telinganya harus siap menjadi pendengar yang baik bagi setiap korban.

Ia sedih jika harus menerima kenyataan korban mundur dan tak bersemangat menuntaskan sebuah kasus. Seperti halnya penanganan kasus yang tak didukung keluarga korban dan harus kandas dalam perjalanan.

Kini Ruci dikenal rekan-rekan seperjuangannya sebagai Ruci yang berani dan tegas membela para korban kekerasan. Di keluarga, dia mendapatkan dukungan dari orang tua, meski tetap ada kekhawatiran yang diutarakan.

Ia menganggap wajar hal tersebut. Orang tuanya mendukung untuk terus aktif menjadi aktivis perempuan dan pendamping korban. Namun tak lupa dengan keselamatan dirinya sendiri.

“Sedikit dikenal, punya komunitas dan teman yang mendukung saya. Orang tua mempersilakan asal jangan lupa diri sendiri,” kata dia.

Ke depan, ia punya banyak impian yang ingin diwujudkan. Kembali lagi, Ruci mengaku pendampingan kekerasan selalu menguras energi, maka dari itu dia berharap semakin banyak orang yang bergerak membela korban seperti dirinya dan teman-temannya di WCC. Semakin banyak gerakan advokasi isu perempuan dan anak di banyak tempat. Ruci juga berkeinginan membangun organisasinya sendiri untuk bsia bergerak dalam bidang yang sama.

“Istilahnya saya ingin mendirikan WCC sendiri.

Dengan kebijakan dan tatanan yang diatur sesuai harapan saya. Saya juga ingin ada donatur untuk mendirikan TK bagi yang kurang mampu,” kata Ruci.

“Sebab sekarang banyak anak tidak bisa sekolah, orang tuanya menitipkan ke tetangga dan banyak terjadi kekerasan. Sehingga sekolah TK gratis ingin saya dirikan,” sambungnya.
Ruci pun juga punya keinginan terjun ke dunia politik. Baginya perlu untuk terlibat dalam pembuatan atau eksekusi kebijakan yang berpihak pada para korban perempuan dan anak. Hingga bisa menjadi tindakan nyata. Seperti halnya ia mencontohkan kehadiran UU TPKS yang selama ini banyak diperjuangkan kalangan aktivis perempuan dan feminisme.

“Bagi saya korban harus bersuara dan didukung sebagaimana mestinya. Mulai memandang kesetaraan gender bukan bualan semata tapi sudah menjadi penerapan kehidupan yang nyata, dan itu bisa dilakukan,” papar Ruci. (tyo/van)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img