Hari Peduli Sampah Nasional diperingati oleh bangsa Indonesia setiap 21 Februari. Momen peringatan ini sangat penting mengingat sebagai persoalan lingkungan, sampah mengkhawatirkan dan sama memprihatinkan dengan persoalan agraria, krisis sumber daya air dan perubahan iklim. Tumpukan sampah masih menjadi permasalahan bersama yang sampai sekarang masih diatasi warga dunia.
Secara ekologis, sampah dianggap barang tidak berguna dan dijauhi. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan, sampah merupakan barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Barang atau benda ini produk atau sisa aktivitas manusia, karena itu selayaknya dijauhkan dari kehidupan manusia. Secara naluriah saja semua warga tidak suka dengan kampung kotor yang dipenuhi dengan sampah. Jelas wilayah yang bersih, asri dan tidak ada bau sampah lebih disukai. Tidak heran, jika sampah rumah tangga terlambat diambil petugas pasti warga geger.
Untuk menanggulangi permasalahan sampah, warga dunia sudah mengampanyekan konsep pengurangan (reduce), pemanfaatan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle) atau kerap disingkat 3R. Zero waste dikampanyekan dengan menambah mengganti (replace) dan menanam kembali (replant). Sekalipun demikian persoalan sampah belum usai.
Kesadaran masyarakat tentang permasalahan sampah belum terlihat nyata. Kita jauh dari langkah inovatif dan kreatif pengelolaan sampah, akibatnya target masyarakat bebas sampah kian menjauh.
Tanggung Jawab Semua
Penanganan sampah harus melepaskan diri dari persoalan sosiologis, ekologis dan ekonomis. Secara sosiologis sejatinya persoalan sampah terletak pada gaya hidup konsumtif yang sulit ditinggalkan. Kita sering menemui warga membuang sampah di jalan dan di sungai.
Kesadaran mengurangi pemanfaatan barang dan memilah-memilah sampah masih minim. Di sinilah kita butuh perubahan perilaku sosial tidak pro sampah menjadi peduli sampah.
Secara ekonomis permasalahan sampah juga tidak kalah penting. Aktivitas ekonomi yang mendorong produksi sampah domestik maupun sampah perusahaan masih mendominasi. Pengejaran keuntunganlah yang akhirnya melegalkan produksi sampah baru yang memenuhi bumi.
Atas nama pelayanan pada konsumen industri memanjakan konsumen. Seperti, pengepakan yang rapi memang secara estetik menarik dan praktis, tetapi memproduksi sampah baru.
Dinamika masyarakat dan pandemi membuat peningkatan kuantitas dan kualitas sampah. Fenomena dominan hari ini Industri menjanjikan kemasan produk yang baik dan enak dipandang, maka akibat kemasan, lahir sampah-sampah baru.
Budaya konsumen mendukung hal tersebut, semakin banyak kemasan semakin banyak sampah yang diproduksi. Konsumen senang namun tidak menyadari bahwa sesungguhnya ia menghasilkan sampah-sampah yang menumpuk.
Kondisi pandemik juga semakin menambah repot masyarakat. Jika sebelumnya masker bukan penyuplai sampah, tetapi kini ia menjadi penambah sampah yang sulit diurai. Belum lagi secara ekologis berton-ton masker telah mengotori jalan, sungai laut dan mengganggu keseimbangan ekologis.
Selama ini pengelolaan sampah identik dengan tanggung jawab negara. Selain mengandalkan pengelolaan TPS3R, pemerintah menginisiasi pengeloalan sampah berbasis komunitas. Desentralisasi berlaku pada kelompok-kelompok swadaya masyarakat dan bank sampah yang membuat beban negara terasa lebih ringan.
Namun demikian, persoalan belum usai. Mengandalkan negara saja tidak cukup. Jumlah pengelola yang kian terbatas berpacu dengan volume sampah yang semakin meningkat. Dalam logika sederhana TPS3R rajin mengelola sampah, sementara masyarakat tidak henti memproduksi, lama-lama negara kewalahan.
Lokasi pengelolaan sampah yang over capacity membutuhkan tempat pengelolaan yang lebih luas. Dalam mencari lahan lain sebagai penambah lokasi, akan dihadapkan masalah sosial berupa benturan dengan pemangku wilayah.
Sindrom Not In My Backyard (NIMBY) menyatakan bahwa tidak ada daerah yang bersedia dijadikan sebagai tempat penampungan sampah, terlebih menimbulkan bau dan bukan sampah warga tersebut. Belum lagi, permasalah sampah yang cukup rumit seperti peningkatan pasokan sampah setiap hari, bahaya sampah yang tidak terurai dan jumlah tenaga pengelola sampah yang kian terbatas.
Gaya hidup dan Inovasi
Kampanye lingkungan sudah banyak disuarakan. Misalnya, paradigma zero waste yang mengampanyekan hidup nol sampah. Paradigma reduce, reuse dan recycle yang kemudian ditambah replace dan replant. Reduce yaitu mengurangi penggunaan sampah, reuse yaitu pemanfaatan kembali sampah, recycle merupakan langkah daur ulang, replace penggantian dan replant berarti penanaman.
Secara tagline kalimat 3R atau 5R memang menarik dan secara normatif tidak ada persoalan, namun jika kita melihat praktik realitas sosial, nanti dulu. Seberapa jauh ia menjadi kenyataan akan kita uji bersama. Kenyataan tidak hanya klaim tetapi juga kenyataan sosial, ekologis dan out put dan out come kebijakan.
Pengelolaan sampah seharusnya dimulai dari perubahan cara pandang atau gambaran (image) sampah. Bahwa sampah bukan sesuatu yang negatif dan harus dijauhi. Seperti yang sering disosialisasikan, jika diolah dengan baik sampah akan membawa berkah.
Misalnya, sampah kering bisa dipertukarkan dengan uang dan selain itu, tempat pengelolaan sampah bisa dijadikan sebagai tempat wisata edukasi yang sejajar dan kompetitif dengan destinasi wisata lain.
Setelah image positif berhasil dibangun maka berikutnya membangun inovasi aktor pengelola. Di sini diperlukan penggabungan kesadaran dan pemberian insentif. Kesadaran merupakan kondisi ideal (gagasan) sebagai basis tingkah laku sedangkan insentif merupakan basis material pelengkap ranah ideal.
Pada konteks inilah penulis menyetujui kapitalisasi sampah. Maksudnya pengelolaan sampah sebagai kegiatan konservasi lingkungan digabungkan dengan pendekatan ekonomi. Pekerjaan mengelola sampah sesungguhnya pekerjaan sangat berat. Karena ia pekerjaan selamanya yang tidak berhenti.
Satu kali terjun tidak boleh mundur. Sampah yang tidak dibersihkan sehari saja, menjadi persoalan untuk hari-hari berikutnya. Untuk itu inisiatif para pejuang ini perlu diberi insentif besar. Terlebih ketika mereka mampu berinovasi dan berhasil mengelola komunitas peduli sampah dan melahirkan berbagai prestasi diakui berbagai level, maka penghargaan dinaikkan.
Di sini, butuh keberpihakan riil semua pada konservasi sampah. Keberpihakan ini dimulai dari para pemimpin yang tidak hanya sekadar mengapresiasi lisan saja, tetapi memback up melalui kebijakan dan aksi-aksi nyata.(*)