Sang Bamboo, Cerita Pringga Bangkit Menembus Pasar Global
Hidup memang tak selalu mulus. Tapi bagi Pringga Aditiawan dan istrinya, Lumina Diass, jatuh bukan akhir segalanya. Pasangan asal Sawojajar, Kedungkandang, Kota Malang ini memilih bangkit dengan keyakinan dan kerja keras setelah usahanya di bidang kosmetik bangkrut saat pandemi Covid-19.
MALANG POSCO MEDIA, MALANG Alih-alih larut dalam kesedihan, mereka justru melihat peluang baru dari sesuatu yang tak banyak dilirik orang, bambu.
“Waktu itu pas Covid-19 itu kami bangkrut dari usaha kosmetik. Lalu saya melihat potensi-potensi yang ada di Kota Malang. Kemudian ada saudara yang membuka usaha tusuk sate dari bambu. Dari situ saya mulai tertarik kerajinan dari bambu,” kisah Pringga mengenang titik balik hidupnya.
Dari sekadar penasaran, Pringga menjelma menjadi pembelajar serius. Ia mempelajari seluk-beluk bambu, dari struktur hingga peluang pasar. Hasilnya membuatnya semakin yakin bahwa tanaman yang sering dianggap biasa itu memiliki potensi luar biasa.
“Istilahnya mulai dari bibit, sampai bangkainya, itu punya nilai jual. Akhirnya kami langsung melirik pasar kerajinan bambu. Saya dan istri memang melihat potensi usaha bambu di Kota Malang ini cukup bagus dan menjanjikan,” lanjutnya.
Langkah selanjutnya, Pringga dan Lumina mendaftar sebagai UMKM binaan pemerintah. Mereka tak ingin setengah-setengah. Tujuannya bukan hanya mengembangkan usaha, tapi juga membuka akses menuju pasar yang lebih luas. Usaha mereka pun mendapat dukungan.
Pemerintah kota melalui dinas terkait mendorong mereka membuat produk dengan kualitas ekspor. Tantangan itu diterima, dan Pringga mulai bereksperimen dengan berbagai teknik dan desain.
“Kebetulan dulu 2019 kami ada pengalaman ekspor, akhirnya ketemu lah marketnya. Ternyata produk yang cocok dengan permintaan ekspor itu kerajinan anyaman. Di usaha bambu ini kan ada kerajinan tusuk sate, kerajinan bubut, dan kerajinan anyam. Pasar terbesar itu ya yang kerajinan anyam,” terang Pringga.
Sejak itu, fokus usaha diarahkan pada kerajinan anyaman. Tak hanya dari bambu, mereka juga mulai mengolah serat alam lain seperti pandan, rumput rawa, batang pisang, dan rotan. Salah satu hasil inovasinya adalah tas dan sandal dari anyaman pandan, yang laris di kalangan perhotelan.
“Lalu kami juga buat box, sama kotak makanan itu kombinasi dengan rotan. Itu yang diminati pasar luar negeri,” tambahnya.
Usaha yang diberi nama Sang Bamboo kini telah menembus pasar internasional. Singapura, Maladewa, Abudhabi, hingga Australia menjadi tujuan ekspor tetap mereka. Sekali kirim, ribuan produk diberangkatkan.
“Pesanan paling banyak Singapura, Maladewa, Abudhabi, Australia. Ya kebanyakan negara ASEAN. Kalau market Eropa, kami sedang menjajaki permintaan mereka. Masih melihat apa yang mereka butuhkan terutama di anyaman bambu,” ujarnya.
Dengan harga bervariasi mulai dari Rp 25 ribu hingga ratusan ribu, Pringga mampu mengirim hingga 7.000 produk dalam satu pengiriman. Untuk memenuhi permintaan itu, mereka juga memberdayakan warga sekitar. Usaha ini pun bukan sekadar ladang bisnis, tapi juga ruang pemberdayaan komunitas.
Pasar dalam negeri pun tetap dijaga. Saat momen seperti Idul Adha, misalnya, mereka menerima pesanan khusus untuk besek dan tusuk sate.
“Alhamdulillah tiap Idul Adha sudah kirim semua. Biasanya kalau Idul Adha, ada salah satu rumah sakit pesan besek ukuran besar sekitar lima kilogram untuk wadah daging kurban. Kami juga mempromosikan karena kan sudah tidak boleh lagi menggunakan kresek warna hitam,” tutur Pringga.
Kini, Sang Bamboo bukan hanya simbol ketekunan, tapi juga bukti bahwa inovasi dan keberanian untuk bangkit bisa membuka jalan menuju pasar global. Dari kegagalan bisnis kosmetik, Pringga dan Lumina menemukan arah baru dan dari anyaman bambu, mereka menenun kembali harapan yang lebih kuat dari sebelumnya.(ian/aim)