Malang Posco Media – Setiap tanggal 22 April, komunitas dunia memeringati Hari Bumi. Dalam upaya konservasi dan penyelamatan sumber daya alam, Hari Bumi melengkapi peringatan hari-hari bertema lingkungan lain, seperti Hari Lingkungan Hidup, Hari Air, Hari Hutan, Hari Peduli Sampah, Hari Keanekaragaman Hayati dan hari-hari ekologis yang lain.
Peringatan Hari Bumi menemukan relevansi di tengah kondisi bumi yang kian parah. Krisis dan kerusakan lingkungan terjadi, seperti: penggundulan hutan, penyempitan ruang terbuka hijau, polusi, semakin kritisnya keanekaragaman hayati dan pemanfaatan berlebihan bahan bakar fosil.
Akibatnya, ancaman bencana hidrometereologi di depan mata. Curah hujan tinggi yang sulit diprediksikan menjadi bukti ancaman global warming tersebut. Hanya diguyur hujan selama 2 jam, wilayah-wilayah mulai tergenang.
Banjir bandang yang terjadi di Desa Bulukerto, 4 November 2021, angin puting beliung di Desa Sumberbrantas dan Desa Tulungrejo dan meluapnya Sungai Paron di Desa Bumiaji akhir-akhir menjadi monumen ekologis sosial tersebut. Akibat bencana hidrometereologis, hujan deras tidak bisa ditampung oleh ruang, konsekuensinya banjir bandang dan tanah longsor mengancam pemukiman.
Berangkat dari kondisi ekologi ini, kita butuh gerakan lingkungan untuk menyelamatkan bumi. Gerakan ini memberi contoh lapang bagi publik dalam upaya menyelamatkan sungai, hutan, sumber daya air dan pengelolaan sampah. Selain itu, gerakan ini memproduksi wacana ekologi global dan mitigasi bencana.
Mengapa Batu?
Basis argumen tulisan ini adalah pengalaman praktis dan teoritis penulis di Kota Batu. Sepanjang penulis berinteraksi dengan kota ini, Kota Batu berpotensi menjadi sentral gerakan penyelamatan bumi karena memiliki wilayah kaya sumber daya alam, lingkungan alamiah dan aktivitas-aktivitas kolektif gerakan sosial.
Dukungan sumber daya alam sejatinya melahirkan berkah materiil maupun non material yang tidak saja dinikmati oleh warga Batu, tetapi juga investor yang mengambil “keuntungan” bisnis alam dan lingkungan alamiah tersebut.
Sekalipun sumber daya alam bukan bahan baku tetapi pemilik hotel, pemilik kafe lebih memilih lokasi dengan pemandangan alam nan eksotik. Pengunjung berdatangan didorong keelokan alam tersebut dan akhirnya pundi-pundi cuan datang.
Dari karakter lingkungan ini tidak heran etika lingkungan terlembaga. Etika lingkungan memayu hayuning bawana mengajarkan pada warga untuk menjaga dan membuat alam kian membaik atau semakin bagus. Wingit atau menjadikan wilayah tertentu sakral dengan keyakinan ada penunggu dimana warga tidak boleh mengganggu. Begitu dekat dengan sumber daya air, warga meyakini bahwa air merupakan Gusti Allah kedua.
Etika lingkungan mendorong ritual tradisional dan ritual konservasi hari ini. Ritual modern kelanjutan ritual tradisional. Jika pendahulu menyelenggarakan nylameti banyu, maka anak-anak muda menyelenggarakan kegiatan seperti Festival Mata Air, Air Bicara, Tandur Banyu, Festival Sungai Brantas dan Sabers Pungli (Sapu Bersih Sampah Nyemplung Kali) merupakan ritual kekinian tersebut.
Uniknya, konservasi memiliki banyak variasi seperti konservasi level RT, level RW sampai isu perkotaan. Rata-rata organisasi mengangkat isu lingkungan yang melekat dengan sistem sosial dan adat. Organisasi-organisasi berbasis lingkungan berjasa besar dalam mengangkat ritual itu.
Berangkat dari kondisi tersebut, Kota Batu memiliki kecukupan modal sosial dalam mengampanyekan penyelamatan bumi. Namun, perlu diwaspadai bahwa mindset modernisasi, pengejaran pertumbuhan ekonomi dan hingar bingar kontestasi politik yang merasuki pemikiran para pengambil kebijakan dan elit-elit lokal.
Industri pariwisata berbasis kapital besar terbukti melahirkan alih fungsi lahan dan pemanfaatan sumber daya alam berlebihan di tengah miskinnya evaluasi dan pengendalian yang dilakukan pemerintah. Akibatnya, elit dan pengambil kebijakan masih menganggap lingkungan dalam kondisi baik, sementara itu di masyarakat krisis aktivis konservasi. Konsekuensinya, perubahan lingkungan fisik kota rentan melahirkan bencana ekologis yang berisiko menghilangkan watak asli kota.
Penyelamatan Bumi
Batu sebagai arena penyelamatan bumi menjelaskan kontribusi warga kota dalam mencegah global warming. Kontribusi ini didukung dengan gerakan konservasi lingkungan dan sumber daya alam baik yang dilakukan pemerintah, organisasi bisnis dan masyarakat sipil.
Penyelamatan bumi perlu diperkuat dengan komitmen ekologis. Lingkungan fisik seperti tanah, air dan batu bukan penentu segalanya, konstruksi sosial atas sumber daya alam tersebut jauh lebih penting. Logika masyarakat bukan sekadar mengambil keuntungan sumber daya alam itu, tetapi menganggap sebagai bagian kehidupan kita yang perlu dijaga. Penyelamatan air dan hutan misalnya, bukan mengejar kepentingan pragmatis bagi warga kota saja, tetapi sejatinya ia menyelamatkan umat manusia.
Setelah itu, penguatan partisipasi dan sekaligus kontrol kebijakan. Bisnis dan investasi tidak boleh mengorbankan kepentingan ekologis dan tata sosial. Pemerintah menjadi fasilitator dan dinamisator.Kegiatan-kegiatan konservasi yang menambah kualitas lingkungan diapresiasi dan pelanggaran kebijakan ditindak tegas.
Secara material kita menyadari bahwa potensi sumber daya alam dan lingkungan trademark Batu. Namun demikian, keberlanjutan merupakan pertaruhan yang perlu diperhatikan. Untuk itu, butuh partisipasi warga kota berbasis kerelawanan dan bukan karena proyek atau insentif. Anak-anak muda yang tersentuh pendidikan modern dan cenderung kurang dekat dengan alam dan lingkungan perlu dikader menjadi aktivis peduli lingkungan.
Tidak lupa penyelamatan bumi diperkuat model kebijakan yang menaungi konservasi sungai dan forestasi. Event-event nasional dan internasional yang mendorong penyelamatan bumi ramai diselenggarakan. Dengan potensi industri pariwisata dan potensi pendidikan Malang Raya, peluang ke sana terbuka lebar. Tinggal pengeloalan kolaboratif dimainkan.
Berangkat dari hal itu, di sinilah kita perlu memikirkan pelaksanaan kebijakan ke depan. Bagaimana mengawali penyelamatan bumi? Dari titik mana dilakukan, siapa aktor-aktor yang terlibat, apakah masyarakat murni, kerja sama masyarakat dengan pemerintah atau aktor-aktor lain? Dan bagaimana strategi dipilih, apakah insidental, rutin atau gabungan keduanya?
Kita menunggu langkah kongkret ke arah sana. Apakah banyak pihak yang sudah menyadari? Ataukah, pernah melakukan langkah ini tetapi gagal kemudian tidak mencoba lagi? Atau masih konsisten mencoba sampai penyelamatan ini benar-benar menjadi kerja-kerja berkontribusi?(*)